Berdirinya Panti Karya
Mingggu 6 Desember 1959 tempat pertunjukkan di Kota Bandung bertambah dengan berdirinya Gedung Persatuan Buruh Kereta Api di Jalan Merdeka nomor 31. Gedung ini juga dinamakan dengan Gedung Panti Karya [2]. Gedung itu diresmikan oleh Menteri Muda Perburuhan Ahem Erningpradja dan dihadiri oleh Sanusi Hardjadinata, Panglima Siliwangi Kolonel Kosasih dan Dirjen Kereta Api R. Abu Prajitno, Oja Somantri.
Panti Karya dibangun pada 30 Mei 1958 dan batu pertamanya diletakan oleh Sanusi Hardjadinata. Gedung ini mempunyai tinggi 34 meter dan terdiri dari enam tingkat dengan luas ruangan seluruhnya 2203 M2. Gedung ini dilengkapi ruangan koneperensi dan kongres yang mampu menampung 400 orang bahkan 750 orang. Terdapat telepon otomat dengan 35 sambungan ditambah loud speaking. Bentuk bangunan unik dengan satu menara yang tinggi.
“Gedung ini bermanfaat bagi buruh kereta api dan merupakan gedung nomor tiga terbesar di Asia Tenggara yang dimiliki oleh Sarekat Buruh di seluruh dunia, “ ujar Erningpradja dengan bangga seperti dirilis Pikiran Rakjat edisi 7 Desember 1959.
Pada 9 Februari 1960 pada pukul 20.00, penari Indonesia terkenal Seti Arti Kailola tampil bersama Patrica Nave, penari Amerika Serikat dari Broklyn dan Kaufman Concert Hall. Karcis dijual dengan harga Rp55 untuk umum, Rp35 untuk anggota PBKA dan Rp20 untuk pelajar. Pertunjukkan ini diselenggarakan Panti Kesenian dan Yayasan Impresariat Indonesia.
Pro dan Kontra Lagu dan Dansa Rock n Roll, serta Cha Cha Cha
Menjelang akhir Oktober 1959 tersiar kabar bahwa lagu-lagu pilihan dari Barat tidak boleh lagi diperdengarkan di radio. Pelarangan itu merupakan kebijakan pemerintah, mendapatkan banyak kritikan di Bandung. Seorang warga Bandung di Jalan Wastukencana bernama Burhan Bachtiar mempertanyakan kebijakan itu kalau menyangkut ekses buruk. Karena Radio Australia (ABC) juga bisa diakses warga Bandung juga memperdengarkan lagu-lagu yang lebih hot. Kebijakan ini mengikuti pidato Bung Karno di Surabaya dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda bahwa “kita harus memberantas kebudayaan asing yang gila-gilaan”.
Pada akhir Oktober 1959 Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat Daeng Sutigna mengkritik kebijakan larangan tersebut tidak akan berarti jika tidak ditunjukkan apa yang harus dilakukan. Kalangan pemuda menyukai lagu-lagu Elvis Presley, cha cha cha, rock n roll mudah dipelajari, orang tidak memerlukan guru yang benar-benar ahli. Untuk mempelajari lagu-lagu Elvis Presley, para pemuda tidak perlu membayar dan bisa belajar pada temannya sendiri. Sementara untuk mempelajari musik bermutu tidak ada bukunya di Indonesia (masa itu).
Orang tidak mengerti musik bisa saja menikmati lagu Elvis Presley. Lagu-lagu itu menurut Daeang bukan untuk didengar melainkan ditonton. Lagu-lagu semacam Cha Cha Cha hanya berisi rhythm dan kurang atau tidak ada berisi melodi. Orang bisa mendengarkannya sambil bercakap-cakap. Lain halnya dengan lagu-lagu lain bermutu seni semacam lagu Bethoven, untuk bisa menikmati orang harus memusatkan perhatian. Hampir setiap sekolah di Bandung mempunyai band musik (rock n roll) tetapi hanya sedikit yang membimbing, itu sebabnya band menjadi liar.