Bila Anies Baswedan digantikan Muhadjir Effendy di pos Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengundang banyak pertanyaan dari cukup banyak netizen-termasuk saya-yang cenderung menyayangkan, maka masuknya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan cenderung diterima positif. Bahkan dari kalangan politisi yang berseberangan dengan Joko Widodo sekalipun masih memberikan respon yang tidak terlalu menentang. Kapasitas dan pengalaman mantan Executive Director World Bank ini dipandang pas untuk bidang ini, Target pengampunan pajak, menaikan pertumbuhan ekonomi, serta persoalan-persoalan keuangan negara dibebankan pada pundak alumnus jebolan Fakultas Ekonomi UI ini.
Politikus Gerinda Fadli Zon, misalnya termasuk yang tidak memungkiri bahwa Sri Mulyani memang sosok yang mengerti betul masalah keuangan, sekalipun ia mencoba krtisis bahwa tampilnya perempuan 53 tahun ini seabagi ekonom yang punya kebijakan yang bisa menguntungkan pihak asing. Harian Republika28 Juli 2016 yang biasanya suka kritis terhadap kebijakan Jokowi menulis berita yang mengakui bahwa pasar memang merespon positif. Buktinya Indeks Harga Saham Gabungan menguat. Nilai tukar rupiah pun terhadap dolar AS menguat, mungkin juga karena faktor Sri Mulyani.
Nah, saya membacanya begini. Sekalipun Jokowi dengan semangat “Revolusi Mental”-nya mengingatkan saya pada Bung Karno pada 1957 menjelang dia berkuasa dengan Demokrasi Terpimpinnya. Tetapi Jokowi sekalipun didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kerap menggunakan simbol-simbol Bung Karno, tetapi tidaklah seratus persen demikian. Bila Revolusi Mental era Bung Karno di antaranya menolak dominasi ekonomi asing bahkan budaya asing (baca Barat), maka Jokowi tampaknya tidaklah seratus persen menolak kehadiran asing dalam ekonomi Indonesia.
Sekalipun saya setuju dengan sebagian pandangan Fadli Zon soal kepentingan asing itu, tetapi saya juga sangsi seandainya Prabowo yang menjadi presiden berani menantang Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Negara-negara dunia ketiga yang ingin aman, ingin ekonominya tumbuh, menikmati gaya hidup (sekalipun hanya untuk sebagian orang) enak seperti di negara maju, ya harus kooperatif terhadap koorporasi-kooprorasi besar, seperti Freeport, Newmount itu.
Sekalipun masih bisa diperdebatkan jatuhnya Soekarno dahulu pada 1966 di antarnya andil dari AS dan sekutu-sekutunya dengan skenario mirip plot cerita fiksi thriller politik seperti terang benderang diungkapkan dalam novelis Denmark Peer Holm Jongensen dalam “The Frogotten Massacre”. Sebetulnya juga analis scenario ini, bisa dipakai untuk kejatuhan Soeharto 1998. Para pemimpin dunia ketiga yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan bisnis para koorporasi siap-siap didongkel dengan cara yang direkayasa seolah-olah “alami”.
Bisa sih melawan dominasi ekonomi Barat seperti yang dilakukan Republik Islam Iran (lepas dari soal ideologinya), tetapi bukankah rakyat Iran memang siap tidak harus bergaya hidup seperti orang-orang di dunia Barat. Orang-orang kaya di negeri mullah itu tetap bisa hidup dengan standar yang cukup baik. Bukankah Kuba (lepas dari ideloginya) bisa tahan banting dengan bersahaja. Dua negara ini merupakan contoh revolusi mental yang baik. Walaupun dua negara yang saya contohkan problem dalam masyarakatnya tidak serumit Indonesia.
Saya sangsi apakah orang-orang kaya di Indonesia mau melepaskan gaya hidup Baratnya? Termasuk juga para pengkritik anti asing itu. Buktinya saja ada orang kaya yang menyimpan dana di luar negeri. Buktinya lebih banyak orang kaya wisata di luar negeri (termasuk politisi yang katanya anti asing itu) daripada wisata di dalam negeri. Mereka juga banyak menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri, tepatnya di negara-negara koorporasi itu berkantor pusat.
Jadi kalau masih perlu investasi asing, masih perlu diterima di pasar global, masih ingin plesiran di luar negeri, masih ingin sekolahin anak di luar negeri, ya jangan seratus persen anti asing. Saya ingin mengatakan tidak seratus persen tunduk. Saya kira Jokowi dan timnya sejauh ini cukup bijak, masih tahu kapan harus bersikap keras, seperti yang dilakukan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti dan kapan harus bersikap kompromi. Dengan menyeimbangkan kebijakan yang akomodatif terhadap kehadiran investasi asing, pasar global, serta kepentingan integritas (dan harga diri) bangsa lewat menteri-menteri yang lain kehadiran Sri Mulyani saya kira tepat. Jokowi dan timnya mau tidak mau menerima bahwa Sri Mulyani memang pernah menjadi menteri di era SBY. Mengapa tidak?
Tentunya Jokowi dan tim-nya (yang menurut rumors banyak terdapat para aktifis jadi tim suksesinya dan penasehatnya) tahu soal cerita-cerita yang beredar soal Century atau apa saja yang negatif tentang Sri Mulyani. Bahwa ada rumor yang beredar belakangan menyebutkan Sri Mulyani kemungkinan digandeng sebagai Wakil Presiden untuk 2019 itu soal lain. Kalau pun itu benar belum tentu juga sekuat Jokowi-JK waktu 2014. Peta politik bisa berubah pada 2019 dan prediksi saya bukan lagi negara (termasuk media sosial yang membuat saya malas membuat status politik) seperti terbelah dua antara pendukung Jokowi dan Prabowo. Kontelasi politiknya berbeda dan partai pendukungnya juga akan berbeda. Kecil kemungkinan sama, melihat kecenderungan oportunisnya politisi di Indonesia.
Apa yang terjadi antara 2016-2019 menentukan. Apa iya, Megawati dan Prabowo terus menerus memimpin partainya? Bagaimana kalau partai seperti Golkar, atau partai tengah berbasis Islam seperti PAN, PKS, PPP atau PKB jatuh ke tangan sosok yang tidak diduga dan tidak diprediksi sebelumnya? Sorry sampai artikel ini ditulis saya tidak memperhitungkan Hanura maupun Nasdem, apalagi partai baru. Sekalipun ada partai baru dapat kursi saya ragu apakah akan menjadi penentu.
Bagi saya Sri Mulyani masih terlalu pagi dihubungkan dengan pilpres 2019 untuk memperkuat Jokowi sebagai cawapresnya. Walau kemungkinan itu ada. Termasuk kemungkinan Sri Mulyani sendiri bisa jadi nomor satu-karena dia punya potensi untuk itu dan pernah disebut-sebut dalam berapa media. Nah, yang terpenting sekarang itu apakah kehadiran Sri Mulyani dapat mengentaskan kemiskinan dan membuka lapangan kerja yang luas menekan pengangguran, ini yang lebih saya harap.