Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sri Mulyani, Koorporasi Global dan Rumor 2019

29 Juli 2016   16:46 Diperbarui: 29 Juli 2016   16:57 1506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sri Mulyani (kredit foto http://www.okterus.com/wp-content/uploads/2016/07/Sri-Mulyani.jpg)

Bila Anies Baswedan digantikan Muhadjir Effendy di pos Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengundang banyak pertanyaan dari cukup banyak  netizen-termasuk saya-yang cenderung menyayangkan, maka  masuknya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan cenderung diterima positif.  Bahkan dari kalangan politisi yang berseberangan dengan Joko Widodo sekalipun masih memberikan respon yang tidak terlalu menentang.  Kapasitas dan pengalaman mantan Executive Director World Bank ini dipandang pas untuk bidang ini,  Target pengampunan pajak, menaikan pertumbuhan ekonomi, serta persoalan-persoalan keuangan negara  dibebankan pada pundak alumnus jebolan Fakultas Ekonomi UI ini.

Politikus Gerinda Fadli Zon, misalnya termasuk yang  tidak memungkiri bahwa Sri Mulyani memang sosok yang mengerti betul masalah keuangan, sekalipun ia mencoba krtisis bahwa tampilnya perempuan 53 tahun ini  seabagi  ekonom yang punya kebijakan  yang bisa menguntungkan  pihak asing.  Harian Republika28 Juli 2016 yang biasanya suka kritis terhadap kebijakan Jokowi  menulis berita yang mengakui bahwa pasar memang merespon positif.  Buktinya  Indeks Harga Saham Gabungan menguat.  Nilai tukar rupiah pun terhadap dolar AS menguat, mungkin juga karena faktor Sri Mulyani.

Nah, saya membacanya begini. Sekalipun Jokowi dengan semangat “Revolusi Mental”-nya mengingatkan saya pada Bung Karno pada 1957 menjelang dia berkuasa dengan Demokrasi Terpimpinnya.  Tetapi Jokowi sekalipun didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kerap menggunakan simbol-simbol Bung Karno, tetapi tidaklah seratus persen demikian. Bila Revolusi Mental era Bung Karno  di antaranya  menolak  dominasi ekonomi asing bahkan budaya asing (baca Barat),  maka Jokowi  tampaknya tidaklah seratus persen menolak kehadiran asing dalam ekonomi Indonesia. 

Sekalipun saya setuju dengan sebagian pandangan Fadli Zon soal kepentingan asing itu, tetapi saya juga sangsi seandainya Prabowo yang menjadi presiden berani menantang Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Negara-negara dunia ketiga  yang ingin aman, ingin ekonominya tumbuh,  menikmati  gaya hidup (sekalipun hanya untuk sebagian orang)  enak seperti di negara maju, ya harus kooperatif terhadap  koorporasi-kooprorasi besar, seperti Freeport, Newmount itu.

Sekalipun  masih bisa diperdebatkan  jatuhnya Soekarno dahulu  pada 1966  di antarnya  andil dari AS dan sekutu-sekutunya  dengan skenario mirip plot cerita fiksi thriller politik seperti  terang benderang diungkapkan dalam novelis Denmark Peer Holm Jongensen  dalam “The Frogotten Massacre”.  Sebetulnya juga analis  scenario ini, bisa dipakai untuk kejatuhan Soeharto  1998.  Para pemimpin dunia ketiga yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan bisnis para koorporasi siap-siap didongkel dengan cara yang direkayasa seolah-olah  “alami”.

Bisa sih melawan dominasi ekonomi Barat seperti yang dilakukan  Republik  Islam Iran (lepas dari soal ideologinya), tetapi bukankah rakyat Iran  memang siap tidak harus bergaya hidup seperti orang-orang  di dunia Barat.  Orang-orang kaya  di negeri mullah itu  tetap  bisa hidup dengan standar yang cukup baik. Bukankah Kuba (lepas dari ideloginya)  bisa tahan banting dengan bersahaja.  Dua negara ini merupakan contoh revolusi mental yang baik.  Walaupun dua negara yang saya contohkan  problem dalam masyarakatnya tidak serumit Indonesia. 

Saya sangsi apakah orang-orang kaya di Indonesia mau melepaskan gaya hidup Baratnya?  Termasuk juga para pengkritik anti asing itu. Buktinya saja ada  orang kaya yang menyimpan dana di luar negeri.  Buktinya lebih banyak  orang kaya wisata di luar negeri (termasuk politisi yang katanya anti asing itu) daripada  wisata di dalam negeri.  Mereka juga banyak menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri, tepatnya di negara-negara koorporasi itu berkantor pusat. 

Jadi kalau masih perlu investasi asing, masih perlu diterima di pasar global, masih ingin plesiran di luar negeri, masih ingin sekolahin anak di  luar negeri,  ya jangan seratus persen anti asing.   Saya ingin mengatakan tidak seratus persen tunduk. Saya kira Jokowi  dan timnya  sejauh ini cukup bijak, masih tahu kapan harus bersikap keras, seperti yang dilakukan  Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti dan kapan harus bersikap kompromi.  Dengan menyeimbangkan kebijakan yang akomodatif  terhadap kehadiran investasi asing, pasar global, serta kepentingan integritas (dan harga diri) bangsa lewat menteri-menteri yang lain kehadiran Sri Mulyani saya kira tepat.  Jokowi dan timnya  mau tidak mau menerima bahwa Sri Mulyani memang pernah menjadi menteri di era SBY.  Mengapa tidak? 

Tentunya Jokowi dan tim-nya (yang menurut rumors banyak terdapat para aktifis jadi tim suksesinya dan penasehatnya)  tahu soal cerita-cerita yang beredar soal Century  atau apa saja yang negatif  tentang Sri Mulyani.   Bahwa  ada rumor yang beredar belakangan  menyebutkan  Sri Mulyani  kemungkinan digandeng sebagai  Wakil Presiden  untuk 2019  itu soal lain. Kalau pun itu benar belum tentu juga sekuat Jokowi-JK waktu  2014.   Peta politik bisa berubah pada 2019  dan prediksi saya bukan lagi negara (termasuk  media sosial yang membuat saya malas membuat status politik)  seperti terbelah dua antara pendukung Jokowi dan Prabowo. Kontelasi politiknya  berbeda dan partai pendukungnya juga akan berbeda. Kecil kemungkinan sama, melihat kecenderungan oportunisnya politisi di Indonesia.     

Apa yang terjadi antara 2016-2019 menentukan. Apa iya, Megawati dan Prabowo terus menerus memimpin partainya?  Bagaimana kalau partai seperti Golkar, atau partai tengah berbasis Islam seperti  PAN, PKS, PPP atau  PKB  jatuh ke tangan sosok yang tidak diduga dan tidak diprediksi sebelumnya?  Sorry sampai artikel ini ditulis  saya tidak memperhitungkan Hanura maupun  Nasdem, apalagi partai baru. Sekalipun ada partai baru dapat kursi saya ragu apakah akan menjadi penentu.        

Bagi saya Sri Mulyani masih terlalu pagi dihubungkan dengan  pilpres 2019 untuk memperkuat Jokowi sebagai cawapresnya.  Walau kemungkinan itu ada.  Termasuk kemungkinan Sri Mulyani sendiri bisa jadi nomor satu-karena dia punya potensi untuk itu dan pernah disebut-sebut  dalam berapa media.  Nah, yang terpenting sekarang itu apakah kehadiran Sri Mulyani dapat mengentaskan kemiskinan dan membuka lapangan kerja yang luas menekan pengangguran, ini yang lebih saya harap.    

 Irvan Sjafari

Sri Mulyani (sumber foto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun