Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Ketika Anak-anak Nyaris Kehilangan “Planetnya”

9 Juli 2016   16:33 Diperbarui: 9 Juli 2016   18:00 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak-anak menyanyi (kredit foto wastinadia.blogspot.com)

Bagaimana bisa menjauhkan anak-anak Indonesia (terutama di perkotaan) dari kecanduan pada game di gadget atau komputer di warnet, hingga yang lebih merusak seperti video porno, sementara anak-anak nyaris kehilangan dunianya? 

Lagu “Lelaki Kardus” yang membuat heboh karena dinyanyikan anak-anak bukan masalah sesungguhnya, karena anak-anak sekarang sudah terbiasa menyanyikan lagu-lagu orang dewasa yang setiap hari mereka dengar di televisi. Saya juga tidak habis pikir, mengapa si pembuat lagu “Lelaki Kardus” yang orang dewasa meminta anak menyanyikannya dan menyebarkannya.

Pada 1970-an lagu-lagu untuk anak-anak yang edukatif masih muncul dan dinyanyikan oleh anak-anak, seperti lagu karya AT Mahmud “Ambilkan Bulan Bu!”, “Amelia”, “Anak Gembala”, atau lagu seperti “Burung Kutilang”, “Peramah dan Sopan”, “Ruri adalah Abangku” dan sebagainya. 

Lirik dan iramanya benar-benar sesuai dengan jiwa anak-anak. Bahkan lagu-lagu untuk penyanyi cilik lebih pop pun seperti “Helly” atau “Taman Mini”, “Kelinciku”-nya Chicha Koeswoyo tetap pada koridor dunia anak-anak.

Pada 1990-an mulai terjadi perubahan. Anak-anak di perkotaan tidak lagi butuh libur ke desa, tetapi ke mal. Taman Mini kalah popular dengan Dunia Fantasi. Anak-anak mulai “digiring” (kalau tidak ingin dikatakan dipaksa) bergaya seperti orang dewasa. Apalagi pada era sesudah hingga sekarang. Kontes Idola Cilik dan sejenisnya tidak diimbangi dengan tersedia lagu untuk anak-anak. Sehingga mereka menyanyikan lagu-lagu orang dewasa, termasuk lagu cinta.

Memang ada perlawanan ketika Tasya berhasil mempopulerkan kembali lagu karya AT Mahmud dan Sherina muncul lagu anak-anak yang bergaya broadway, tetapi berapa anak seperti mereka? Seiring dengan dewasanya Sherina dan Tasya, maka anak-anak tergiring menjadi dewasa. 

Booming televisi swasta dan perkembangan teknologi lebih cepat berpacu menawarkan konten yang mengonstruksikan konten dewasa pada anak-anak. Saya percaya masih ada pencipta lagu anak-anak namun tidak punya media dan akses untuk memperkenalkan lagu ciptaan mereka.

Itu baru dari televisi dan gadget. Ketika orangtua mengajak si kecil pergi ke mal atau restoran, hampir semua toko memutar lagu-lagu yang tidak sesuai dengan perkembangan usia si kecil. Inilah yang membuat lagu-lagu anak sepertinya habis dan penyanyi cilik yang menyanyikan lagu anak pun tak lagi laku.

Problem di daerah sebangun. Staf pengajar di Departemen Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia, Dian Hendrayana mengakui sulit menemukan lagu anak-anak berbahasa Sunda seperti pada era 1970-an. Pada era itu Mang koko berhasil menyuguhkan “Kereta Mesin”, “Tukang Buah”, “Patani”, “Tokecang”, “Oray Bungka”, “Endeuk-endeukan”, “Gumbira”, dan sebagainya.

Pilihan tema Mang Koko hanya berlaku pada zamannya alias tak berumur panjang. Telah terjadi perubahan kebutuhan psikologi anak-anak. Pada masa sekarang kereta mesin, permainan endeuk-endeukan, berhadapan dengan gadget dan permainan dengan teknologi. 

Semakin jarang tukang buah yang berkeliling di kompleks-kompleks perumahan di kota-kota besar. Begitu juga dengan penggunaan alat musik kecapi, suling dan kendang berjarak dengan anak-anak generasi sesudah 1980-an.

Pada awal 1990-an Daya Seni Tradisi Sunda (Dasentra) mencoba melakukan terobosan menciptakan lagu anak-anak bergaya kekinian, seperti “Gedung Sate”, “Wajib Belajar”, “Anak Soleh”, “Bonbin” yang sempat diminati dan digemari anak-anak sekolah. Tetapi belum genap lima tahun sosialisasi secara menyeluruh di wilayah Jawa Barat terkendala mergernya Dinas P& K dengan Dinas Pariwisata. Program sosialisasi terbengkalai dan berhenti.

Itu baru pada lagu. Bagaimana dengan program acara televisi. Oh, sami mawon. Beruntung masih ada Upin dan Ipin yang cukup edukatif. Saya bersyukur keponakan saya berusia lima tahun mengenal mengaji dari Alif Ba Ta-nya Upin dan Ipin. Stok episodenya cukup banyak walaupun tidak cukup dan sering di re-run. Buatan lokal seperti Sapo, Jarwo dan Adit bisa menjadi alternatif, namun stok episodenya masih sangat terbatas. Karena biaya membuat serial animasi mahal.

Sinetron anak-anak sama saja dengan sinetron dewasa. Film layar lebar untuk anak-anak juga langka. Beberapa di antaranya sebetulnya bahkan mengulang pola Petualangan Sherina dengan penjahat bergaya badut dan slapstik sebangun juga sebangun dengan Home Alone. Mati kreatifitas produsen hiburan anak-anak. Televisi butuh rating dan iklan, mungkin bisa dijadikan dalih membuat mereka yang punya ide lebih edukatif buat acara anak-anak (termasuk juga lagu anak-anak) menjadi malas, putus asa dan akhirnya “bunuh diri” (dalam hal ini membuang atau mengubur idenya).

anak-anak di ruang publik (kredit foto Irvan Sjafari)
anak-anak di ruang publik (kredit foto Irvan Sjafari)
Bagaimana dengan kecanduan game? Ya, siapa suruh menggerus lapangan bermain untuk anak-anak. Dahulu sewaktu saya kecil masih banyak pilihan untuk main kasti, main bola, main bentengan, main galasin di Jakarta atau Bandung secara gratis. Kini demi investasi masuk maka mal dan tempat komersial mengusir kesempatan anak-anak beraktivitas lebih sehat di outdoor. Memang ada tempat main futsal, atau tempat bermain anak di mal tentunya dengan bayaran.

Jangan salahkan anak-anak sekarang kuat main game sampai lima jam di warnet atau depan gadget mereka daripada berolahraga dua jam. Jangan salahkan kalau tubuh anak-anak sekarang lebih tambun. 

Usia di atas anak-anak? Jangan salahkan anak-anak menyukai tayangan kekerasan dan menyanyikan lagu orang dewasa yang liriknya tidak sesuai denagn usia mereka, yang ada dan sering ditonton dan didengar itu? Saya mendefinisikan usia anak-anak di bawah akil balik, yaitu 11-13 tahun.

Perlu intervensi pemerintah juga seperti membangun lebih banyak ruang publik yang gratis untuk berekspresi fisik dan rohani secara sehat. Ruang publik yang gratis. Pemerintah perlu memberikan tekanan pada televisi swasta untuk membuka ruang bagi para pencipta lagu dan rogram cara ang sehat untuk anak-anak Hingga anak-anak punya planit sendiri. Rasanya memang intervensi pemerintah adalah satu-satunya jalan.

Irvan Sjafari

Referensi: Mengapa Kini Lagu Anak Makin Langka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun