Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Ketika Anak-anak Nyaris Kehilangan “Planetnya”

9 Juli 2016   16:33 Diperbarui: 9 Juli 2016   18:00 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak-anak menyanyi (kredit foto wastinadia.blogspot.com)

Pada awal 1990-an Daya Seni Tradisi Sunda (Dasentra) mencoba melakukan terobosan menciptakan lagu anak-anak bergaya kekinian, seperti “Gedung Sate”, “Wajib Belajar”, “Anak Soleh”, “Bonbin” yang sempat diminati dan digemari anak-anak sekolah. Tetapi belum genap lima tahun sosialisasi secara menyeluruh di wilayah Jawa Barat terkendala mergernya Dinas P& K dengan Dinas Pariwisata. Program sosialisasi terbengkalai dan berhenti.

Itu baru pada lagu. Bagaimana dengan program acara televisi. Oh, sami mawon. Beruntung masih ada Upin dan Ipin yang cukup edukatif. Saya bersyukur keponakan saya berusia lima tahun mengenal mengaji dari Alif Ba Ta-nya Upin dan Ipin. Stok episodenya cukup banyak walaupun tidak cukup dan sering di re-run. Buatan lokal seperti Sapo, Jarwo dan Adit bisa menjadi alternatif, namun stok episodenya masih sangat terbatas. Karena biaya membuat serial animasi mahal.

Sinetron anak-anak sama saja dengan sinetron dewasa. Film layar lebar untuk anak-anak juga langka. Beberapa di antaranya sebetulnya bahkan mengulang pola Petualangan Sherina dengan penjahat bergaya badut dan slapstik sebangun juga sebangun dengan Home Alone. Mati kreatifitas produsen hiburan anak-anak. Televisi butuh rating dan iklan, mungkin bisa dijadikan dalih membuat mereka yang punya ide lebih edukatif buat acara anak-anak (termasuk juga lagu anak-anak) menjadi malas, putus asa dan akhirnya “bunuh diri” (dalam hal ini membuang atau mengubur idenya).

anak-anak di ruang publik (kredit foto Irvan Sjafari)
anak-anak di ruang publik (kredit foto Irvan Sjafari)
Bagaimana dengan kecanduan game? Ya, siapa suruh menggerus lapangan bermain untuk anak-anak. Dahulu sewaktu saya kecil masih banyak pilihan untuk main kasti, main bola, main bentengan, main galasin di Jakarta atau Bandung secara gratis. Kini demi investasi masuk maka mal dan tempat komersial mengusir kesempatan anak-anak beraktivitas lebih sehat di outdoor. Memang ada tempat main futsal, atau tempat bermain anak di mal tentunya dengan bayaran.

Jangan salahkan anak-anak sekarang kuat main game sampai lima jam di warnet atau depan gadget mereka daripada berolahraga dua jam. Jangan salahkan kalau tubuh anak-anak sekarang lebih tambun. 

Usia di atas anak-anak? Jangan salahkan anak-anak menyukai tayangan kekerasan dan menyanyikan lagu orang dewasa yang liriknya tidak sesuai denagn usia mereka, yang ada dan sering ditonton dan didengar itu? Saya mendefinisikan usia anak-anak di bawah akil balik, yaitu 11-13 tahun.

Perlu intervensi pemerintah juga seperti membangun lebih banyak ruang publik yang gratis untuk berekspresi fisik dan rohani secara sehat. Ruang publik yang gratis. Pemerintah perlu memberikan tekanan pada televisi swasta untuk membuka ruang bagi para pencipta lagu dan rogram cara ang sehat untuk anak-anak Hingga anak-anak punya planit sendiri. Rasanya memang intervensi pemerintah adalah satu-satunya jalan.

Irvan Sjafari

Referensi: Mengapa Kini Lagu Anak Makin Langka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun