Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bandung 1959 (9) Ketika Jakarta Memburu Gula Bandung : Menjelang Sanering Agustus 1959

11 Juni 2016   12:52 Diperbarui: 11 Juni 2016   22:06 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilsutrasi Warung kelontong di Bandung tenpo dulu (Kredit foto https://www.pinterest.com/kurniasariwdd/bandoeng-east-indies/)

Pepatah bilang ada gula ada semut. Pepatah  ini  benar-benar  bukan kiasan  terjadi di kota kembang pertengahan 1959.  Warga Bandung sejenak menikmati kelimpahan gula dengan harga yang ditetapkan pemerintah (sebagian karena tindakan keras militer Jawa Barat).  Awal Juni warga dapat membeli gula Rp6  hingga Rp6,50 kg, sesuai dengan harga Desember 1958.  Harga gula murah bukan hanya di tingkat grosir tetapi juga di warung-warung.

Ketika  distribusi gula di Bandung mulai stabil, Jakarta justru mengalami kelangkaan gula. Penduduk Jakarta resah karena mereka tidak bisa menikmati minuman manis setiap hari.  Harga gula mencapai Rp10 hingga Rp12/per kg.  Melihat keuntungan yang menjanjikan para spekulan gula pun memborong gula dari kota Bandung untuk dibawa ke Jakarta. Pikiran Rakjat  15 Juni 1959  melaporkan sekitar 2 ton gula diangkut dengan truk ke Jakarta.    

Akibatnya Bandung kembali menderita kelangkaan gula dan harga gula mulai naik di pasaran. Sebetulnya  serupa terjadi pada Mei 1959 harga gula  di pasar gelap mencapai Rp7,50 dan di pasar ada yang mencapai Rp8-Rp9 per kg. Kenaikan pada Mei 1959 ini untuk gula adalah kedua kalinya setelah awal 1959.  Para pedagang gula di Bandung pada Mei 1959 menerangkan tingginya harga karena soal alokasi gula dan habisnya persedian gula dari Cilegon, serta meningkatnya ongkos pengangkutan.  Padahal menurut aturan harga gula di Kotapraja Bandung Rp5,40 per kg dan Keresidenan Priangan Rp5.50 per kg.   

Kelangkaan gula di Jakarta pada Juni 1959  terjadi karena pengangkutan gula dari Jawa Tengah mengalami kesukaran.  Namun tentu saja  cara orang Jakarta mengambil alokasi gula dari untuk Bandung bukanlah langkah bijak. Warga Bandung meminta  truk-truk yang mengangkut gula ditindak oleh pihak berwajib dan tidak bisa keluar dari Bandung.  

Akhirnya  awal  Juli 1959  Pelaksana Kuasa Perang  Komando Militer Kota Besar  Bandung (PKP KMKB) melakukan beberapa kebijakan untuk mencegah manipulasi  peredaran gula pasir di wilayahnya.

Aparat militer menetapkan sekitar 300 toko dan warung dalam wilayah kota sebagai penjual gula yang setiap hari diharapkan dapat melayani kebutuhan masyarakat.  Alokasi gula untuk kota Bandung yang tadinya tidak terangkut, dapat diangkut.  Keputusan PKP KMKB berlaku sejak 6 Juli 1959 setiap pedagang pertama di kota Bandung wajib mengeluarkan 50% dari alokasinya kepada warung-warung yang ditunjuk PKP KMKB tersebut sebagai pengecer gula.

Setiap warung setiap harinya menerima sekarung gula  dan setiap bulannya toko atau warung itu wajib menghabiskan 25 kwintal gula.  Disebutkan setiap tempat penjualan ditempelkan plakat yang menyebutkan setiap hari dijual gula pasir untuk umum dengan harga pemerintah Rp5,50 setiap pembeli hanya diperkenankan membawa paling banyak 0,5 kg gula pasir.  Di sisi lain penyaluran gula ke 13 pasar kota Bandung  dilaksanakan oleh Pusat Koperasi Kota Bandung yang setiap bulan mendapatkan alokasi 100 ton gula.  

Sementara perdagangan di ibukota semakin lesu.  Gula pasir di Jakarta hanya bisa didapat dengan harga Rp11-Rp12 per kg.  Harganya dua kali lipat harga pemerintah yang ditetapkan di Bandung.  Dengan demikian manipulasi peredaran gula dari Bandung untuk diselundupkan ke Jakarta  begitu menggiurkan bagi para spekulan1.

Tekstil Juga Diborong Orang Jakarta

Komoditi lainnya kejadian mirip dengan gula tetapi  dengan alasan lain ialah tekstil.  Pada pertengahan 1959  tekstil dalam jumlah besar dibeli orang dari luar Bandung.  Harga tekstil melonjak antara Rp45 hingga Rp45,50 per meter dari harga seharusnya yang ditetapkan pemeirntah, yaitu  Rp15 hingga Rp16 per meter.  Para pembeli rupanya memburu barang yang bisa disimpan lama.

Di antara pembeli yang menyerbu barang-barang terdiri dari bangsa yang asing dan sebagian yang dilikudir perdagangannya dari kota-kota Kecamatan dan Kewedanan.  Ada juga pemegang uang nganggur dari bangsa Indonesia. Seorang pembeli dari Cirebon dilaporkan menghabiskan Rp11.200 untuk 8 kayu kain blacu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun