Sejak akhir 1958 Masyumi Jawa Barat mendapat tekanan ketika bebeberapa tokohnya, seperti Djerman Prawiranegara, Djaja Rachmat, Sapei, Rusyad Nurdin dan Kyai Dudung Abdul Kahar ditangkap. Pada awal November 1958 Jaksa Agung Soeprapto mengumumkan kemungkinan tokoh-tokoh Masyumi Jawa Barat dimajukan ke pengadilan dan ditahan selama sepuluh hari oleh penguasa perang. Penahanan terjadi karena pernyataan tertulis yang dikeluarkan dan ditandatangani mereka sola konsepsi Presiden. Sejumlah Tokoh Masyumi dituduh membantu musuh dalam hal ini pemberontak PRRI/Permesta. Para tokoh Masyumi ini awalnya dikenakan tahanan rumah, namun pada akhir November 1958 dirubah menjadi tahanan kota.
Keputusan ini menyusul tindakan Nasution yang melarang cabang-cabang Masyumi, PSII, Parkindo dan IPKI di daerah-daerah yang bergolak pada 5 September 1958. Kasman Singodimedjo tokoh senior Masyumi dan bekas perwira PETA ditangkap karena terang-terangan mendukung PRRI. Sebuah ranting Masyumi di Tanjung Priuk, Jakarta malah lebih berani menuding tindakan pemerintah memecat Ahmad Husein dan kawan-kawannya sama dengan tindakan pemerintah komunis di Uni Soviet dan RRC.
Situasi politik menjadi begitu varian antara partai-partai politik di pusat dan di daerah. Apabila di pusat ketegangan antara blok Islam dan blok Pancasila begitu menonjol, maka di daerah yang bergolak malah terjadi koloborasi antara Masyumi dan PSI dengan Parkindo dan Partai Katolik di daerah-daerah yang bergolak. Bahkan ada koordinasi antara pimpinan Parkindo, Partai Katolik dan Masyumi di Tarutung, Tapanuli Utara pada 24 Februari 1958.
Meskipun beberapa tokoh Masyumi di Jawa Barat dianggap simpatisan pemberontak, pada Februari 1959 Oja Somantri, tokoh Masyumi termasuk di antara 5 pejuang kemerdekaan dari Jawa barat yang mendapat penghargaan dari Nasution di Bandung. Tokoh lain yang dianggap berjasa dalam perang geriliya adalah Ukar Bratakusuma, Ipik Gandamana, Osa Maliki, serta Mayor TNI Umar Bachsan. Awal Mei 1958 para pemimpin Masyumi Jawa Barat, Djadja Rachmat, Syafei, Djerman Prawiranegara, Kyai Dudung Abdul Kohar dibebaskan dari status tahanannya.
Awal Januari 1959 tokoh-tokoh dari Liga Muslim Indonesia yang terdiri dari Masyumi dan PSII mengadakan pertemuan di rumah Haji Anwar Tjokroaminoto di Jakarta. Pertemuan itu untuk membicarakan bagaimana memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Konflik politik awal 1959 antara kelompok nasionalis dan Islam sudah menunjukkan tanda-tanda bakal meruncing. Apalagi Masyumi terdorong sebagai oposisi.
Pernyataan-pernyataan yang kritis cepat menimbulkan reaksi bahkan politisi Masyumi tingkat lokal sekalipun. Desember 1958 Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Oya Somantri ikut dalam rombongan pejabat Jawa Barat meninjau daerah transmigrasi di Sumatera Selatan dan Lampung. Hal yang wajar karena mereka ingin mengetahui bagaimana situasi orang-orang asal Jawa Barat di sana.
Masalahnya Oya Somantri melontarkan suatu pernyataan kepada pers menyebutkan nasib transmigran asal Jawa Barat serupa dengan nasib Kuli Kontrak di Deli masa penjajahan menggusarkan Menteri Negara Urusan Transmigrasi Ferdinand Lumban Tobing. Menteri meminta pernyataan itu dicabut karena bisa membuat minat masyarakat terhadap transmigrasi bakal menurun. Pada masa itu kebijakan yang dimirip-miripkan dengan penjajahan Belanda merupakan hal yang sensitif dan bisa punya dampak politik yang lebih besar.
Beberapa hari kemudian masih dalam Januari 1959 anggota DPD Swatantra I Jawa Barat lainnya Abdul Hamid meluruskan pernyataan itu bahwa yang dimaksud Oya Somantri jangan sampai nasib transmigran seperti kuli kontrak. Anggota lain Tjahjati Setiatin mengakui kehidupan para transmigran menjadi tidak jauh beda dengan asalnya di Jawa Barat. Oya Somantri sendiri secara resmi menolak mencabut kembali pidatonya karena merasa tidak ada yang salah dari pernyataan itu.
PKI Jawa barat menjadi seteru dengan kelompok Islam, baik di tingkat ormas, maupun partai. Akibat Teddy Kadirman tokoh PKI yang menjadi Ketua Ikatan Pemud Pelajar Indonesia (IPPI), maka Konferensi IPPI Jawa Barat pada 28 hingga 30 Desember 1958 mendapat tantangan dari IPPI Tasikmalaya yangmenghendaki IPPI Pusat maupun Jawa Barat membersihkan diri dari pengaruh suatu partai politik tertentu. IPPI Tasikmalaya mengancam membubarkan diri dam membentuk organisasi baru yang terlepas dari IPPI mana pun, baik IPPI Kongres Bandung yang dicurigai disusupi PKI dan IPPI Yogyakarta yang anti komunis.
Masyumi Jawa Barat sendiri juga berkonflik dengan PKI Jawa Barat. Hal ini bermula ketika pada pertengahan April 1959 merasa gagal dalam melaksanakan tugas baik sebagai anggota DPD Swatantra I jawa Barat. Mau tidak mau parlemen Jawa Barat harus memilih penggantinya. Pada pertengahan Mei 1959 anggota DPRD Jawa Barat diminta memilih Wakil PKI yang duduk di Dewan Pemerintah Daerah Jawa Barat.
Fraksi Masyumi, melalui anggotanya Surjana Prawira dan Ketua Fraksinya Nunung Sjamsul Bachri menyatakan bahwa fraksinya tetap pendirian tidak akan menghalang-halangi berlangsungnya pemilihan anggota DPD tersebut, tetapi berdasarkan pertimbangan ideologis Fraksi Masyumi bersikap abstain terhadap pemilihan itu. Tetapi ketidakhadiran fraksi ini menyebabkan sidang gagal menca[pai qorum dan selama tiga gagal memilih wakil PKI. Selain Fraksi Masyumi Fraksi NU dan PSI juga telah meninggalkan sidang. Sementara Fraksi Tani Mukti yang merupkan fraksi kecil di DPRD Jawa Barat juga bersikap abstain.