Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarah Pariwisata Bali (2) 1950-1960-an: Awal Industri Pariwisata di Negeri Fajar Dunia

19 Mei 2016   14:33 Diperbarui: 19 Mei 2016   14:39 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak 1950 seperti saya pernah tulis sebelumnya pariwisata di Bali sudah menjadi pariwisata nasional. Namun hingga 1950-an akses ke Bali masih mahal terutama dengan pesawat terbang. Hanya orang-orang Indonesia yang berada yang mampu menjadi wisatawan di Bali. Dari tiga laporan perjalanan dari media berbeda yang saya baca era 1950-an hingga 1960-an terungkap dua di antaranya menggunakan kapal laut yang menghabiskan waktu empat hari, namun biayanya lebih murah. Kesan eksostisme masih ada. Mereka terpukau oleh kuatnya masyarakat Bali memegang tradisi dan melestarikan kesenian mereka. Begitu juga kesan yang didapat dari buku dan brosur wisata. Sepanjang 1950-an hingga 1960-an sejumlah tamu negara yang datang ke Indonesia, menjadikan Bali sebagai agendanya. Di antaranya kunjungan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito.

Perayaan tahun baru 1959 di Bali merupakan sejarah tahun baru yang tidak bakal terulang. Sebab pada malam pergantian tahun dari 1958 ke 1959, hadir Presiden Jugoslavia Josip Broz Tito sebagai tamu Presiden Soekarno di Istana Tampaksiring. Tito dan isterinya bersama Bung Karno tidak tidur dan menari bersama. Hadir juga PM Djuanda, Menteri Penerangan Sudibjo, Menteri Negara Hanafi. Tamu negara pulang dengan Kapal Perang Galeb hal yang unik. Sebanyak 48 tembakan meriam berbalas membaut suasana di Teluk Padang meriah. Tito naik sekoci ke kapal perang itu diantar Bung Karno dan pejabat lainnya (Pikiran Rakjat, 2 Januari 1959).

Selain Tito yang berkunjung ke Tampaksiring adalah Presiden India, Rajendra Prasad. Bandung, Yogyakarta lalu ke Bali adalah rute wajib. Namun Bali persinggahan terakhir sebelum pulang menandakan Pulau Dewata ini mulai menjadi bintang pariwisata Indonesia. Berikut berapa laporan perjalanan dan tinjauan buku promosi pariwisata tentang Bali pada era 1950-an.

Reportase Utami Suryadarma: Harmonisasi dan Humanisasi

Merdeka 3 September 1951 memuat laporan perjalanan dari Ny. Utami Suryadarma berjudul “Seni dan Manusia” . Penulis tertarik mengunjungi Pulau Bali terpengaruh reklame dan proganda untuk menarik para pelancong agar mau singgah ke kawasan yang disebut surga terakhir. Utami menyadari bahwa perasaan sebagai bangsa Indonesia tentu akan berbeda dengan wisatawan asing dalam melihat Pulau Bali. Utami di awal tulisannya menyatakan kritis dan tidak akan terpengaruh apa yang diungkapkan dalam reklame wisata.

Kesan pertama dari pelancong ini ialah kecewa, ketika ia melihat pemandangan dari lapangan udara menuju Kota Denpasar. Utami melihat rumah-rumah yang mirip gubug, berdebu dengan pagar batu yang hampir roboh seperti yang pernah ia lihat di kota-kota lain seperti Solo serta Yogyakarta. Hanya saja di Kota Denpasar ia melihat gapura dari batu merah terbelah, serta dari celahnya terdapat pohon kamboja dengan dahan berwarna perak menyangga bunganya berkelompok putih dan kuning.

Setelah cukup lama tinggal perasaan kecewa berubah menjadi kekaguman setelah menyaksikan kesenian dan kebudayaannya. Utami memuji keharmonisan yang ada dalam masyarakat yang abadi.

Harmonis (keseimbangan) timbul dimana ada imbangan-imbangan jang sehat dalam mentjukupi kebutuhan-kebutuhan djasmani dan kebutuhan djiwa sesuatu rakjat. Sistem gotong royong terwujud dalam “bandjar”,mendjamin kebutuhan meteriel rakjat Bali, dan kebudajannja, keseniannja jang tinggi mengisi djiwanja…

Menurut Utami pada masyarakat Barat hal itu tidak terjadi. Masyarakat menjadi pincang karena tumbuh ke arah suatu jurusan saja yaitu pikiran (rasional), namun dunia perasaan diabaikan atau dianaktirikan. Dunia perasaan tumbuh pada masyarakat Timur, namun menjadi pincang karena terjadinya penjajahan hingga akhirnya timbul masyarakat yang tidak harmonis juga.

Keindahan Bali terletak pada seni tarinya. Utami membandingkan antara seni tari Jawa dan snei tari Bali. Tari Jawa adalah sekuntum bunga indah dan halus di masa lampau. Pada 1950-an tari Jawa terdapat di panggung untuk dipertontonkan. Sementara Tari Bali hidup di tengah masyarakatnya. Kecantikan Tari Bali ibarat kecantikan bunga yang tumbuh dalam suatu taman yang nyata. Tari Bali dicintai dan mendapatkan inspirasi dari rakyatnya sendiri. Wanita Bali dalam memilih warna-warna dan dalam menyusun bunga di sanggulnya tampak natural. Menurut Utami hal itu terjadi karena keindahan masih mempunyai arti dalam hidup mereka.

Di perpustakaan nasional saya menemukan sebuah buku saku promosi pariwisata dalam Bahasa Inggris diterbitkan Kementerian Penerangan pada 1951 berjudul Bali Today. Ada beberapa informasi menarik dalam buku saku itu yang membenarkan laporan perjalanan yang diungkapkan Utami Suryadarma. Pada bagian awal dalam buku saku itu digambarkan pernikahan bangsawan antara Anak Agung Gede oka, seorang pangeran dari Ginanjar dengan pengantinnya yang juga disebut dari kalangan bangsawan. Riasan pengantin dalam beberapa foto tampak gemerlap dan unsur-unsur ritual seperti kehadiran pendeta.

Disebutkan wanita Bali biasa berjalan bermil-mil membawa buah, beras, bunga dan kue di atas kepalanya ke pura desa. Rumah di Bali mempunyai altar yang bisa berfungsi sebagai pura dan di setiap desa terdapat pura. Mode busana wanita di Bali pada awal 1950-an mengalami perubahan, tetapi tetap memasukan unsure tradisionalnya. Kalau sebelum perang busana adalah kain yang dililit hingga dada, maka pada awal 1950-an mereka memakai sarung dan kebaya yang diadopsi dari daerah lain, seperti Jawa. Namun mereka tetap mempertahankan kebiasaan menyelipkan bunga di rambutnya. Hal ini menunjukkan harmonisasi yang manis antara busana modern dan tradisional.

Bidadari di Shangyang

Buku langka lain di perpustakaan nasional adalah sebuah buku saku promosi pariwisata dalam Bahasa Inggris diterbitkan Kementerian Penerangan pada 1951 berjudul Bali Today. Ada beberapa informasi menarik dalam buku saku itu yang membenarkan laporan perjalanan yang diungkapkan Utami Suryadarma. Pada bagian awal dalam buku saku itu digambarkan pernikahan bangsawan antara Anak Agung Gede oka, seorang pangeran dari Ginanjar dengan pengantinnya yang juga disebut dari kalangan bangsawan. Riasan pengantin dalam beberapa foto tampak gemerlap dan unsur-unsur ritual seperti kehadiran pendeta.

Disebutkan wanita Bali biasa berjalan bermil-mil membawa buah, beras, bunga dan kue di atas kepalanya ke pura desa. Rumah di Bali mempunyai altar yang bisa berfungsi sebagai pura dan di setiap desa terdapat pura. Mode busana wanita di Bali pada awal 1950-an mengalami perubahan, tetapi tetap memasukan unsure tradisionalnya. Kalau sebelum perang busana adalah kain yang dililit hingga dada, maka pada awal 1950-an mereka memakai sarung dan kebaya yang diadopsi dari daerah lain, seperti Jawa. Namun mereka tetap mempertahankan kebiasaan menyelipkan bunga di rambutnya. Hal ini menunjukkan harmonisasi yang manis antara busana modern dan tradisional.

Sebuah buku yang saya temukan adalah yang ditulis oleh Dr.R. Goris dan Drs. P.L Drunkerda bertajuk Bali: Atlas Kebudayaan, diterbitkan Kementerian Penerangan RI pada 1953. Ada beberapa informasi yang saya ungkapkan di sini. Disebutkan antara lain bahwa gadis-gadis di Bali diwajibkan belajar menenun. Setiap keluarga biasanya mempunyai satu alat tenun. Hingga 1950-an terdapat 200 ribu alat tenun di Pulau Bali. Pada hari perkawinan pengantin perempuan harus membuktikan kepada mertuanya bahwa mereka sudah cakap mengerjakan urusan rumah tangga, di antaranya memintal dan menenun.

Setiap pemuda dan pemudi di Bali menyediakan waktunya untuk aktifitas religius. Di antara aktifitas itu ialah belajar menari. Tari yang paling anyar ialah Tari Janger yang baru diciptakan pada 1920. Namun tari yang paling kerap ditampilkan pada upacara besar di pura di desa-desa yang adatnya masih kuno ialah Tari Rejang yang dipersembahkan para gadis. Dalam Tari Rejang para penari berjejer beiringan tiga kali dalam pura, maksudnya penyerahan diri kepada batara.

Tari yang menarik menurut saya ialah Tari Sanghyang di mana tarian dilakukan oleh gadis-gadis yang belum dewasa. Penari wanita melakukan tariannya di atas bahu laki-laki, karena begitu terampil tidak jatuh. Tarian ini mempunyai makna hubungan dengan alam gaib karena dilakukan ketika masyarakat merasa mendapatkan bahaya dari mahluk gaib. Tarian dilakukan pada malam hari dan para gadis itu diyakini punya bakat medium (perantaraan gaib). Mereka meyakini bahwa raga mereka dimasuki dedari (widadari).

Buku ini memuat ratusan foto hasil reportase dan menjadi dokumentasi awalpasca Perang Kemerdekaan. Gambaran bagaimana kehidupan masyarakat perdesaan di Bali waktu itu juga terekam dalam foto-foto itu. Fotografer sepertinya menunggu dengan sabar setiap momen, misalnya gerakan-gerakan dalam tarian. Namun karena penulis dan fotografer bule kesan eksotisme masih menonjol seperti buku dan laporan tentang Bali era kolonial.

Reportase Star Weekly: Enam Hari, Lima Malam di Bali

Star WeeklyNomor 476 12 Februari 1955 menurunkan reportase wartawannya berjudul “Picnic di Pulau Bali”. Wartawan yang tak disebutkan namanya itu menyebutkan bahwa Bali masa itu dijuluki “Surga terakhir di Dunia” dan mengutip ungkapan yang dilontarkan Perdana Menteri India Nehru menamakan pulau itu sebagai “The Morning of The World” atau fajar dunia. Sang wartawan dalam perjalanan di Pulau Dewata itu bertemu tiga pemuda dari New Jersey, Amerika Serikat dan sama-sama menghabiskan berpuluh rol film tanpa merasa puas.

Laporan itu memuat bahwa masa itu untuk pergi ke Pulau Bali lebih murah menggunakan kapal laut karena ongkosnya lebih murah dibandung kapal terbang. Dari Jakarta ke Buleleng ongkosnya Rp450 untuk kelas satu. Sementara dengan kapal terbang pelancong menghabiskan Rp700. Jadi kalau pulau pergi tinggal dikalikan dua. Wartawan Star Weekly menyebutkan ada kapal Plancius dari KPM sekali dalam dua minggu menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Bali. Kamis berangkat dari Tanjung Priuk, Jum’at tiba di Semarang, Sabtu tiba di Surabaya dan baru tiba di Bali Minggu Pagi. Plancius melanjutkan perjalanan ke Makassar dan pulangnya pada Jum’at singgah di Bulelelng. Sehingga Pelancong punya waktu 6 hari 5 malam di Bali.

Penulis laporan ini bercerita setelah tiba di Buleleng, dia menggunakan taksi ke Kintamani berjarak 32 km. Dia berkeliling dulu di Kota Singaraja dan melihat pura di Kubu Tambahan dan Kuta Dalam. Taksi biasanya dipesan melalui KPM. Para pelancong menginap satu malam di Kintamani di sebuah pesanggarahan yang diusahakan oleh KPM. Ongkos menginapnya Rp40 dan udaranya dingin dengan pemandangan indah, yang menurut penulis mirip seperti di Puncak.

Untuk penginapan terdapat banyak losmen. Namun penulis menganjurkan menginap di Bali Hotel. Kelebihannya bukan saja pada servis, tetapi tempatnya strategis, dekat kantor pos, dekat museum, dekat gedung bioskop dan toko-toko yang menyediakan barang-barang kesenian. Ongkos penginapan sangat tinggi. Kamar paling luks setiap orang untuk satu malam mengeluarkan ongkos Rp120. Tetapi yang lebih murah juga ada antara Rp30 hingga Rp90.

Pada hari kedua wartawan itu melanjutkan perjalanan ke Denpasar dan mengagumi panorama Gunung Batur. Di sepanjang jalan banyak terdapat pura, namun yang dianggap berharga hanya Pura Kehem di Bangli. Setelah beristirahat di Bali Hotel para pelancong menuju Sangeh, suatu hutan di mana banyak sekali kera menghampiri para pelancong. Apalagi jika mereka membawa kacang dan jagung. Penjaganya seorang nenek tua dapat dikenali sang wartawan dari film “Si Melati” yang mengambil beberapa adegan di tempat ini. Malamnya para pelacong menyaksikan Tari Kecak di Bona, sebuah desa tak jauh dari Denpasar. Tari Kecak dimainkan sekitar 100 laki-laki.

Hari Selasa pagi atau hari ketiga rombongan mengunjungi Ubud. Kalau mau ke Ubud wisatawan bisa menginap dalam satu rumah bercorak spefisifik Bali milik Tjokorde Gde Agung Sukawati yang menjadikan rumahnya menjadi pesanggarahan. Tetapi rombongan memilih terus ke Tampaksiring di mana para pelancong mandi di kolam pemandian besar, setelah mereka melihat patung-patung dalam sebuah gua yang dinamakan Goa Gajah. Para pelancong diantar bocah-bocah kecil yang membawa obor agar pengunjung tidak jatuh dan bisa melihat patung lebih spesifik. Dari Tampaksiring mereka singgah sebentar di Mas untuk melihat perindustrian ukiran kayu dan Celuk, di mana terdapat satu toko barang-barang perak.

Pada Hari Rabu wartawan dan rombongan menggunjungi Karangasem di mana terdapat istana air kepunyaan rajanya. Piknik sehari penuh hingga setiap pelancong disiapkan rantang berisi makanan tanpa bayaran tambahan. Pada hari keempat itu mereka mengunjungi Klungkung di mana pada waktu itu masih terdapat pengadilan Bali Kuno. Perjalanan melalui Bukit Jambul yang memiliki pemandangan yang bagus. Mereka singgah di Puri Besakih di lereng Gunung Agung. Mereka juga melihat Tirta Gangga di mana terdapat pemandangan berteras-teras.

Pada Hari Kamis, para pelancong yang penat seharian di mobil memilih berkeliling Denpasar dengan delman dengan tarif  Rp6 per orang, Mereka berbelanjaukiran kayu, tenunan dan mengunjungi Pabrik CIP (Caning Indonesian product) membuat macam makanan kaleng. Alternatif lain pelancong pergi ke Benoa, sebuah pelabuhan di selatan atau ke Taman Samudera. Mereka juga bisa singgah di Sanur di mana terdapat pondok dari pelukis terkenal dari Belgia bernama Le Mayeur (Andrien-Jean La Mayeur der Mepres)1 . Para pelancong bisa melihat lukisan, tetapi terlarang memetik bunga. Kunjungan ke museum Denpasar dilakukan sore hari dan malam harinya mereka disugguhi tari-tarian di pendopo hotel.

La Mayeur dan Ni Polok (kredit foto http://sparobayatokoh.blogspot.co.id/2015_11_01_archive.html)
La Mayeur dan Ni Polok (kredit foto http://sparobayatokoh.blogspot.co.id/2015_11_01_archive.html)
Sayangnya kondisi sebagian jalan di Pulau Bali masa itu sebagian buruk hingga tidak semua tempat sempat dikunjungi. Taksi di Pulau Bali menggunakan mobil bagus dengan tarif Rp6 per jam dan Rp1 setiap kilometernya. Catatan lain yang diberikan penulis ialah adu jago di Bali berbeda dengan di Jawa. Kalau di Jawa hanya dua ayam jago diadu, kalau di Bali kaki ayam diberikan pisau tajam. Hingga ayam jago yang sebetulnya lemah mematikan ayam jago yang kuat karena tesentuh pisau di bagian mematikan. Adu jago popular di Bali dan hampir setiap hari ada pertandingan. Juga disebutkan bahwa Sang Wartawan membenarkan cerita bahwa laki-laki Bali lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayam jagonya dan perempuannya pergi bekerja. Tetapi reportase menarik karena mengungkapkan keterlibatan orang lokal dalam industri pariwisata.

Reportase Bali Express II Juni 1960

Pada 1960-an dewan turisme nasional menerbitkan sebuah majalah tentang pariwisata, dinamakan Warta Pariwisata. Edisi Agustus 1960 memuat sebuah laporan perjalanan dengan tajuk “Mengundjungi Pulau Dewata”. Laporan dimulai dengan runtut dari perjalanan dengan Kapal Mangkara pada 1 Juni 1960 sekitar pukul 17.00. Penulis adalah salah seorang anggota rombongan Bali Express ke II. Awal laporan menceritakan suasana di kapal, di antaranya malam gembira, menyanyi mengikuti lagu dari piringan hitam. Pemandunya dadakan, disebut sebagai Ibu dr.Santo.

Rombongan Bali Express II tiba di Pelabuhan Benoa pada hari keempat, sore hari. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan dua bus yang disediakan Nitour ke Denpasar. Di kota itu rombongan beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Sanur.

Di Sanur kita dibawa mengundjungi tempatnja Tn. Le Mayeur, seorang Belgia jang dulu tinggal menetap di sana dan beristrikan wanita Bali. Le Mayeur sendiri meninggal beberapa tahun lalu di negeri asalnya. Istrinya masih hidup. Tempat ini popular karena Le Mayeur pelukis kenamaan jang mengabaddikan diri dan djiwanja kepada kebudajaan Timur. Istrinja mengilhami melukis, misalnja sedang menari. Lukisannja berharga puluhan ribu rupiah.

Rumah Le Mayeur digambarkan agak kecil, tetapi halamannya penuh kembang.

Dari Sanur, rombongan dibawa ke Bona untuk menyaksikan Tari Kecak. Dalam laporan ini disebutkan bahwa jumlah penari mencapai 150 orang, menari mengelilingi lampu minyak yang digantung pada sebuah tiang. Di samping melihat Tari Kecak, rombongan juga melihat Tari Lagong dan Tari Barong. Rombongan singgah di Bedugul, suatu tempat peristirahatan pegunungan yang sangat baik letaknya, hawanya sejuk dan nyaman dengan panorama telaga yang agak luas.

Tempat lain yang dikunjungi adalah Mengwi, tempat sebuah pura dengan Taman Ajun dengan pagoda-pagoda di dalamnya memuja Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa. Mereka juga mampir di Tampaksiring dekat Istana Presiden di mana terdapat satu mata air disebut Tirta Empul, airnya dianggap suci bagi Orang Bali. Di tempat ini para wisatawan bisa membeli barang-barang kerajinan tangan berupa ukiran dari tulang dan kayu.

Laporan ini kurang deskripsi, tetapi informasi yang disampaikannya banyak kesamaan dengan disampaikan wartawan Star Weekly, tentang Le Mayeur dan Tirta Empul. Selain itu terkesan bahwa obyek pariwisata di Bali masa itu terpusat di Timur Selatan. Bagian Bali Barat digambarkan tidak mempunyai pemandangan yang bagus.

Majalah yang diterbitkan oleh lembaga yang sama berjudul Bulletin Tourisme pada April 1960 memuat informasi tentang tarif hotel di Bali yang cukup mahal. Bali Hotel misalnya menyediakan kamar dengan kamar mandi di dalam dengan tarif Rp 336 per tempat tidur atau Rp588 jika si pelancong ingin kamar sendiri. Sanur Beach Hotel menawarkan Sembilan kamar dan tujuh di antaranya private masing-masing dua tempat tidur dengan tariff Rp157,50 per orang. Terdapat juga Segara Beach Hotel dengan Ida Bagus Kompiang sebagai Managing Director2 menawarkan penginapan dengan bungalow lengkap dengan private toilet dan shower, 12 twinbed untuk 24 orang. Untuk Grade A per bungalow Rp306,25 atau Rp175 per orang/per hari. Grade B dipatok Rp236,25 atau Rp135 per orang/per hari.

Sejak 1 November 1961 Garuda Indonesian Airways membuka penerbangan malam dari Jakarta ke Denpasar setiap Senin dan Jum’at. Pesawat digunakan jenis Convair 440 metropolitan. Penerbangan ini awal bahwa Bali sedang menuju Industri Pariwisata.

Agenda Palebon Ide Anak Agung Ngurah Agung Agustus 1961

Saya juga mengoleksi Buku Acara dari Atjara Karya Pitra-Yadnja Palebon untuk Arwah jenazah Ide Anak Agung Ngurah Agung, yang ditulis pada 1961. Ide Anak Agung Ngurah Agung adalah bekas Raja Gianjar (1892-1960). Disebutkan acara berlangsung pada 10-19 Agustus 1961. Dalam buku disebutkan dalam penghidupan orang Bali yang menganut Bali-Hindu tiap tingkat yang penting dalam hidupnya disertai oleh upacara-upacara yang ditentukan. Besar dan kecilnya upacara ditentukan oleh kedudukan yang bersangkutan dalam tingkatan masyarakat.

Buat orang Bali soal kematian merupakan hal yang penting karena adanya kepercayaan azas reinkarnasi. Kematian adalah suatu masa peralihan yang sangat penting di mana roh diharapkan menuju pada suatu tingkatan dan kedudukan yang lebih penting. Pemujaan dan upacara yang ditujukan kepada roh ini disebut Pitra Yadnya (pitra= roh, yadna=usaha-upacara). Salah satu tingkatan daripada upcara Pitra Yadnya ini ialah pembakaran mayat, bagi paar pelacong dari luar dan dalam negeri, serta ummat Hindu Bali sebagai Palebon. Tujuannya memulangkan kembali rohani dan jasmani manusia kepada asalnya.

Buku setebal 49 halaman ini memuat rincian acara. Misalnya pada hari pertama 10 Agustus 1961 sekitar 15.30 keluarga Puri Agung Gianjar berkumpul di Pelebahan Loji. Mereka menuju ke Rangki guna mengusung serta memindahkan jenazah Sri Paduka Ide Anak Agung Ngurah Agung ke Sumanggen. Pada hari itu sekitar pukul 18.00 Padanda (pendeta) mulai mepuja ngaturang ajaban. Pada hari itu ada persembahyangan, serta para semeton dituri santapan bersama. Kegiatan hari pertama diakhiri engan Tontonan Tantri selusupan dari Gianjar.

Pada 11-17 Agustus 1961 acara dimulai pukul 7.30 dengan tetabuhan. Selain persembahjangan pada malam hari pukul 19.00, terdapat berbagai tontonan seperti wayang kulti dari Sukawati,tontonan gambuh dari Batuan di Djeroning Ancak Saji, tontonan topeng dari Babatuan, yang menarik para pelancong. Terdpaat juga Tontonan Arja dari Gianjar dan Tontonan Legong Kraton. Pembakaran jenazah sendiri dalam buku itu diajdwalkan pada 18 Agustus 1961 pukul 17.30 dan pembuangan abu dilakukan keesokan harinya, pukul 19.00 19 Agustus 1961 di pantai.

Industri pariwisata di Bali dikelola secara nasional sudah menemukan bentuknya. 

Irvan Sjafari

Lanjutan dari

http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/sejarah-bali-1914-1950-an-1-dari-pariwisata-eksotis-ke-nasional_551f83ec813311186e9de31f

Catatan Kaki.

  1. Menurut sebuah blog, Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres lahir di Brusel, 9 Februari 1880 – meninggal di Ixelles, 31 Mei 1958, ialah seorang pelukis dari Belgia. Le Mayeur tiba di Singaraja, Bali dengan perahu pada 1932. Dia kemudian menetap di Denpasar. Mulanya Le Mayeur menyewa sebuah rumah di banjar Kelandis, Denpasar, tempatnya berkenalan dengan penari legong Ni Nyoman Pollok yang berusia 15 tahu. Ni Polok ini kemudian menjadi model lukisannya. Sejumlah karya Le Mayeur yang menggunakan Ni Pollok sebagai model dipamerkan di Singapura untuk pertama kalinya pada 1933, membuatnya terkenal. Kembali dari Singapura, Le Mayeur membeli sepetak tanah di Pantai Sanur dan membangun rumah.

     Di rumah yang menjadi studio ini, Ni Pollok bekerja tiap hari sebagai model bersama 2 sahabatnya. Kecantikan dan kepribadian Ni Pollok membuat Le Mayeur menikmati rumah barunya di Bali. Awalnya, ia hanya akan tinggal selama 8 bulan, namun kemudian ia memutuskan untuk tinggal di pulau itu sampai akhir hayatnya. Setelah 3 tahun bekerja bersama, pada 1935, Le Mayeur dan Ni Pollok menikah. Sepanjang kehidupan pernikahannya, Le Mayeur tetap melukis dengan menggunakan istrinya sebagai model. Selanjutnya lihat)

  2. Ida Bagus Kompiang mendirikan Hotel Segara Village tahun 1956/57, sepuluh tahun lebih dulu daripada berdirinya Hotel Bali Beach Sanur. 

 Ida Bagus Kompiang lahir diSingaraja 11 April 1927 bersama istrinya AA Mirah Astuti Kompiang adalah putra daerah yang pertama kali membangun hotel di Pantai Sanur. (Pionir Pariwisata Bali, Bagus Kompyang Telah Berpulang )

Kredit Foto:

Tari Sanghyang (kredit foto Colectie Tropen Museum)

Le Mayeur dan Istri ( kredit fotohttp://sparobayatokoh.blogspot.co.id/2015_11_01_archive.html)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun