Peristiwa PRRI/Permesta memberikan dampak lain bagi beberapa golongan di beberapa kota di Pulau Jawa yang sebetulnya tidak terimbas perang. Di Jawa Barat, terutama di Kota Jakarta dan Kota Bandung golongan Tionghoa yang berafiliasi dengan Taiwan terkena getahnya. Presiden Republik Cina-Taipei (Taiwan) Chiang Kai Shek diduga memang pernah merencanakan untuk mengirimkan satu resimen marinir dan satu skuadron pesawat tempur untuk merebut Morotai bersama-sama Permesta (PRRI). Namun dalam internal Taiwan, Menteri Luar Negeri Republik Cina (Taiwan) Yen Kung Chau menentang gagasan itu. Yeng Kung Chau mengkhawatirkan Cina Daratan atau RRC Komunis) punya alasan untuk ikut serta membantu Pemerintah Pusat di Jakarta dan sekaligus memiliki alasan untuk mengintervensi Taiwan. Meskipun demikian Taiwan mengirimkan bantuan berupa sejumlah perwira menengah untuk melatih pasukan permesta, persenjataan dan dua squadron pesawat tempur ke Minahasa.
Keputusan Pengusa Perang Daerah Swastantra I Jawa Barat pada 23 Oktober 1958 menyambut keputusan nomor 258/10 PP/58 mengakibatkan 50 buah organisasi asing terlarang dibubarkan secara paksa. Sejumlah organisasi Tionghoa di Kota Bandung yang berorientasi kepada Taiwan, di antaranya Cung Kuo Kuo Min Tang dan Hua Chiao She Tjhan Tsung Hui keduanya di Jalan Cibadak nomor 93, Overses Chinese From Youth Association di Jalan Cibadak nomor 51, Persatuan Wartawan Tionghoa di Jalan Cicendo nomor 18 diberangus.
Sebelumnya pengusaha perang Jakarta Raya melalui surat keputusan tertanggal 20 Agustus 1958 melarang sebanyak 52 organisasi dan badan hukum yang dituding melakukan kegiatan/ memberikan keuntungan kepada gerakan koumintang di ibukota. Organisasi yang dilarang bahkan termasuk bioskop, percetakan, tempat hiburan di Princen Park, bank hingga perwakilan olahraga. Kegiatan politis, sosial, ekonomi mau pun bersifat budaya yang dilakukan organisasi-organisasi ini dianggap menimbulkan kerugian moril atau material kepada masyarakat Republik Indonesia secara langsung maupun tidak langsung. Tokoh-tokoh Pro Koumintang juga ditahan.
Organisasi Tionghoa yang dilarang di Jakarta antara lain Chung Hua Tsung Hui (CHTH), Tiong Hoa Sing Hui (sebetulnya perkumpulan dagang), Kweng Siauw Koan, Hong Gie Suen, Jakarta Warung Bond, Perkumpulan Perusahaan Batik Tionghoa Palmerah Jakarta, perkumpulan olahraga Hoa Kiauw Tio Jok Hui, Perkumpulan Warung Kopi Tionghoa, serta Perkumpulan Pengobatan Tionghoa (Ie Jok Sie Chin) dan sebagainya. Dilihat dari keragaman organisasi yang diberangus tampaknya faktor jauh lebih kuat daripada aspek keamanan. Ketua Tim Pemeriksa Koumintang Staf Penguasa Perang Jakarta Raya, Kapten Sampurno mengancam agar semua anasir Koumintang yang tidakmelaporkan diri hingga 30 September 1958 akan diambil tindakan tegas. April 1958 Nasution sebetulnya terbitnya semua koran-koran berbahasa Tionghoa. Pada tahun yang sama Nasution juga melarang sekolah-sekolah yang disponsorsri Taiwan.
Keputusan ini sempat membuat drop para pelajar keturunan Tionghoa, namun sebagian besar di antara mereka pindah ke sekolah negeri atau sekolah nasional lainnya. Jarang yang memilih sekolah Tionghoa (yang tidak berafiliasi ke Taiwan). Walaupun untuk ini pelajar-pelajar Tionghoa akhirnya mengenal kurikulum pendidikan Indonesia. Sekolah-sekolah “asing” untuk anak-anak Tionghoa yang baru dipelopori oleh Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Namun rupanya sekolah itu kurang mendapat sambutan yang baik dari anak-anak Tionghoa. Justru para pribumi Indonesia memasuki sekolah itu. Pada 1960-an sekolah-sekolah yang dirintis Baperki rontok satu-satu.
Sebaiknya ormas yang pro RRC Chung Hua Tsung Hui pada Oktober 1958 , Ketua Umumnya Ang Chong Tek mengeluarkan pernyataan pada peringatan hari nasional RRC ke IX di gedung Chung Hua Tsung HUi Bandung, Jalan Kebon Jati. Antara lain ia mengatakan bahwa masalah Taiwan sama dengan soal PRRI/Permesta dan Irian Barat.
“Dalam langkah menudju rentjana lima yahun ke depan rakjat RRT dengan gembira bersembojan mengerakan tenaga perdjuangan ke hulu sungai pembangynan negeri sosialisme dan melipatgandakan hasil bumi…2”
Pemerintah RRC memuji langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap aktifitas orang Tionghoa yang pro Taiwan karena dianggap lawan politiknya. Sekalipun kepuasan pemerintah RRC tidak selamanya, sebab pada tahun-tahun berikutnya pemerintah Indonesia justru melakukan tindakan yang lebih drastis untuk mengekang aktifitas ekonomi warga Tionghoa perantauan ini, termasuk juga mereka yang berafiliasi ke RRC 3.
Persoalannya ke arah mana pengekangan dan kecamaan terhadap keturunan Tionghoa terkadang samar. Misalnya pada pertemuan pengurus Baperki di Gedung Sin Ming Hui, Jakarta 20 Januari 1959 Brigadir Jenderal Dr. Moestopo menuding bahwa ada sebagian lapisan warga Indonesia keturunan Tionghoa yang hanya pengakuannya saja warga Indonesia, tetapi pada kenyataanya perbuatannya tidak seperti warga negara Indonesia. Mereka mengetahui hanya haknya saja, tetapi lupa akan kewajibannya.
Mustopo menyebutkan di antara orang-orang Tionghoa yang “pura-pura loyal” terhadap Republik ini terdapat juga orang-orang inteletek bergelar doktor dan insinyur, serta orang kaya. Mustopo menyebutkan mereka sebagi “klonyo-klonyo” dan merugikan perjuangan Baperki. Meskipun begitu Mustopo mengakui bahwa Baperki satu-satunya organisasi bagi orang-orang keturunan Tionghoa yang berjiwa Indonesia, yang memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara RI kesatuan. Hadir dalam pertemuan itu tokoh Baperki seperti Siauw Giok Tjan, Bujung Saleh dan Drs Go Gien Tjwan4.
Itu artinya orang-orang Tionghoa yang diluar Baperki patut dipertanyakan kesetiaannya. Mungkin saja terkait dengan anti Taiwan, tetapi mungkin juga karea dominasi ekonomi keturunan Tionghoa. Keterlibatan sejumlah pedagang (dan juga tengkulak) keturunan Tionghoa yang membuat harga beras naik, menghilangnya minyak tanah, gula dan komoditi ekonomi lainnya. Kecurigaan terhadap Taiwan makin besar ketika awal Februari 1959 konsulat RI di Hongkong menuding adanya peredaran uang palsu yang dibuat di Taiwan5.