Masalah Padi dan Beras Masih Berlarut
Tindakan terhadap komoditi padi tak kalah ketatnya. Pikiran Rakjat edisi 12 Maret 1959 melaporkan para penumpang kereta api yang membawa beras dari Tasikmalaya ke Kota Bandung diminta menyerahkan berasnya tanpa diganti. Tindakan ini berdasarkan Peraturan (peperda) dari Swatantra I Jawa Barat yang intinya pencabutan 7 buah peraturan jual beli , antara lain soal padi dan beras. Sekalipun menjengkelkan penumpang yang membawa beras, namun memang patut dipertanyakan kalau di tengah krisis ada yang membawa 20 hingga 30 kg beras.
Pada pertengahan Februari harga semen di Kota Bandung mencapai Rp108 per zak. Kenaikan harga hanya dalam kurang seminggu, yaitu Rp68/zak (Pikiran Rakjat, 19 Februari 1959). Harga emas pada Februari 1959 mencapai Rp 140/gram/24 karat di Jakarta dan di Bandung Rp 135/gram /24 karat. Pada waktu itu pembelian emas dikenakan pajak penjualan sebesar 10 persen. Pertengahan Maret 1959 harga emas naik lagi menjadi Rp152/gram untuk 24 karat dan di Kota Bandung Rp145/gram untuk 24 karat (Pikiran Rakjat, 24 Maret 1959).
Masalah padi juga menjadi pelik. Surjawinata, politisi Partai MURBA, ketua Panitya Produksi dari Panitya Perbaikan Makanan Rakyat DPRD Jawa Barat menyindir bahwa pada saat ini sepertinya bagi rakyat lebih menguntungkan menanam rumput daripada menanam padi. Dalam satu hektar sawah petani bisa mendapatkan 30 kuintal padi dengan harga Rp4500 per tahun.
Setelah dipotong ongkos-ongkos pengerjaan sawah dan penggantian bibit akhirnya mendapat sisa Rp3450. Dengan bekal itu walaupun ditambah hasil palawija petani tidak bisa mendapatkan pupuk buatan untuk meningkatkan hasil panen. Sementara kalau petani menanam rumput, maka setahun bisa mendapatkan Rp30.000 dengan potongan biaya Rp800 dan biaya pupuk Rp420 (Pikiran Rakjat, 2 Maret 1959).
Seorang jurnalis bernama A.Laksmi menulis di Mimbar Indonesia edisi 26 Juli 1958 dengan judul “Dalam Perang atau Damai Soal Beras tetap problem Mendesak” mengungkapkan jumlah pertambahan penduduk selama 13 tahun tidak lagi seimbang dengan jumlah produksi bahan makanan dalam negeri sendiri. Luas tanah kosong di seluruh kepulauan Indonesia ditaksirnya 50 juta hektar belum dibuka dan belum dikerjakan baik secara intensif, maupun esktensif terhalang perang Kolonial Pertama, Kedua dan kemudian berbagai pemberontakan.
Pemerintah mempunyai uang cukup untuk membuat gedung-gedung besar dan mengimport ribuan ton beras per tahun, tetapi membuka sawah-sawah baru biayanya hanya sambilan saja Pada 1954 hanya Rp135,4 juta atau 8% untuk investasi pertanian dari APBN. Harga beras di Kota Bandung hingga Februari 1959 berkisar Rp8,25 per Kg untuk kualitas terbaik. Namun pada Maret 1959 harga beras turun hingga Rp7,50/kg. Tindakan keras terhadap sepekulan beras untuk sementara berhasil menghentikan kenaikan harga beras yang tak terkendali.
Tekstil masih tanda tanya, beras masih menjadi masalah pelik pada akhir Maret 1959 harga bensin di Kota Bandung yang sempat tekendali tiba-tiba melonjak lagi menjadi Rp7,50/liter. Harga per jerigen jauh lebih tinggi bergantung tempat. Di Cimindi dan Pasirkaliki harga satu jerigen bensin Rp100 dan di di Kompleks Cilentah malah dijual Rp150 per jerigen. Akibatnya menurun Ketua Perpabin Jawa Barat Wisnu bus tidak bisa jalan 30-50% pada semua trayek. Harga onderdil menjadi melangit (Pikiran Rakjat, 1 April 1959).
Dari berbagai isu ekonomi pada semester pertama 1959 tampaknya kenaikan harga sudah mengacu pada nilai uang dan apa pun kebijakan menekan harga setiap komiditi tidak akan artinya dan tanpa stabilitas moneter. Sejarah mencatat bahwa semua masalah ekonomi bermuara pada suatu keputusan yang drastis pada Agustus 1959: Sanering.
Irvan Sjafari
Sumber Lain:
http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_27_1958.pdf
http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-uang-pampasan-perang-dari-jepang-usd-223-juta-pada-1958.html