Bandung 1959 (4) Pampasan Perang Jepang dan Ketika Menjual Rumput Lebih Untung Daripada Menjual Padi (Isu Ekonomi Maret-April-2)
[caption caption="Soekarno, Hatta, Nishijima (kredit foto http://www.inhilklik.com/2013/11/soekarno-dan-hatta-beda-pandangan-soal.html)"][/caption]Memasuki 1959, hampir semua barang menaglami kenaikan harga. Di antara komoditi yang harganya naik ialah tekstil. Penyebabnya antara lain hilangnya benang tenun, terutama di Kota Bandung. Akibatnya perusahaan tenun yang tidak mampu membeli benang yang harganya mahal menyerah alias tutup (Pikiran Rakjat, 7 Maret 1959). Selain Bandung, keadaan lebih parah dialami Solo. Sebanyak 60 persen perusahaan tenun di kota itu tutup. Akibatnya 6000 buruh menganggur (Pikiran Rakjat, 2 April 1959). Meskipun demikian untuk tekstil adalah dewa penyelamat bernama Tekstil Pampasan Perang Jepang.
Pampasan Perang Jepang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1958 Tanggal 23 April 1958 tentang Pelaksanaan Persetujuan Pampasan Perang antara Republik Indonesia dan Jepang. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa pampasan perang adalah penggantian daripada kerusakan, kerugian dan penderitaan yang telah dialami oleh rakyat Indonesia selama perang dunia kedua.
Pampasan perang yang akan diterima oleh Indonesia berdasarkan Perjanjian Perdamaian dan Persetujuan Pampasan Perang antara Republik Indonesia dan Jepang, harus diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Perjanjian Perdamaiandan Persetujuan Pampasan Perang antara Republik Indonesia dan Jepang, yang ditandatangani pada 20 Januari 1958. PP ini diundangkan pada 3 Mei 1958 Menteri Kehakiman GA Maengkom.
Ceritanya, setelah Jepang mengaku kalah pada Perang Dunia II, Indonesia mulai memasuki babak baru sebagai negara merdeka. Sebagai pemenang perang, pihak sekutu rupa-rupanya menekan Jepang untuk menandatangani perjanjian San Fransisco. Salah satu poin perjanjian itu menuntut Jepang bertanggung jawab secara moral dan material kepada negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia.
Negosiasi uang pampasan perang Jepang ke Indonesia memakan waktu hingga delapan tahun. Ada dua kubu di Jepang yang ikut campur dalam proses negosiasi ini. Pertama, pihak mantan militer yang menginginkan agar bantuan ini ke depannya mampu memulihkan citra Jepang sekaligus menjaga jalinan khusus dengan Indonesia.
Sedangkan pihak kedua, yaitu para pebisnis ingin ikut serta dalam negosiasi ini karena melihat Indonesia punya ladang bisnis yang bisa dimanfaatkan . Adanya pihak kedua ini dibenarkan Prof. Dr. Suhartono dalam bukunya Kaigun Angkatan Laut Jepang: Penentu Krisis Proklamasi (Jakarta, Kanisius, 2007) bahwa sesudah Indonesia merdeka Nishijima Shigetada dan Laksamana Maeda, orang Jepang yang berperan pada waktu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia datang ke Indonesia juga mewakili agen-agen minyak Jepang.
Pihak Indonesia meminta USD 17,5 miliar, tetapi Kementerian Luar Negeri Jepang menolak dengan alasan kerusakan yang ditimbulkan Jepang tidak banyak. Jepang mengklaim telah memberikan banyak sumbangan kepada Indonesia lewat banyaknya suplai makanan, pakaian dan amunisi ke Indonesia. Perundingan yang cukup lama terhenti dilanjutkan lagi oleh kabinet Juanda. Indonesia tidak terima disamakan kompensasinya dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar dan Filipina yang masing-masing mendapatkan USD 200 juta dan USD 550 juta.
Akhirnya, sidang bilateral digelar, sidang dipimpin oleh Nishijima Shigetada dan pihak Indonesia diwakili Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo, Iwa Kusumasumantri dan M. Hatta. Disepakati bahwa kompensasi yang diterima berupa dana pampasan atau biaya ganti rugi perang senilai USD 223,08 juta yang dibayarkan dalam bentuk sarana dan fasilitas serta pinjaman sebesar USD 80 juta. Keputusan ini ditandatangani Soekarno di kantor kementerian luar negeri pada 1958. Di antara bentuk pampasan perang itu berupa tekstil.
Sekitar 16 juta yard tekstil pampasan perang dibagi 12 macam, yaitu 8 jenis rayon dan 4 kelompok katun. Oleh kementerian Perdagangan sekitar 13,9% dari tekstil pampasan perang ini dialokasikan untuk Jawa Barat. Di pasaran harga katun dijual per yard sekitar Rp16,30 dan rayon Rp21,50 (Pikiran Rakjat, 10 Maret 1959). Pihak penguasa perang pusat menginstruksikan agar pengurus perang daerah secara aktif mengawasi jalannya penyaluran pampasan perang (Pikiran Rakjat, 24 Maret 1959).
Baru menjadi isu saja kelompok yang meminta jatah pampasan perang tekstil itu antri. Buruh-buruh partikelir perusahaan angkutan di antaranya yang menuntut mendapatkan kesempatan membeli tekstil pamapsan perang itu dengan harga murah, termasuk mereka yang bekerja sebagai kenek (Pikiran Rakjat,1 April 1959). Keputusan Angkatan Perang di Jawa Barat akhirnya menetapkan tesktil dijual Rp25 hingga Rp38 per meter ada tidak adanya pampasan perang di pasar kota Bandung (Pikiran Rakjat, 4 April 1959).
Masalah Padi dan Beras Masih Berlarut
Tindakan terhadap komoditi padi tak kalah ketatnya. Pikiran Rakjat edisi 12 Maret 1959 melaporkan para penumpang kereta api yang membawa beras dari Tasikmalaya ke Kota Bandung diminta menyerahkan berasnya tanpa diganti. Tindakan ini berdasarkan Peraturan (peperda) dari Swatantra I Jawa Barat yang intinya pencabutan 7 buah peraturan jual beli , antara lain soal padi dan beras. Sekalipun menjengkelkan penumpang yang membawa beras, namun memang patut dipertanyakan kalau di tengah krisis ada yang membawa 20 hingga 30 kg beras.
Pada pertengahan Februari harga semen di Kota Bandung mencapai Rp108 per zak. Kenaikan harga hanya dalam kurang seminggu, yaitu Rp68/zak (Pikiran Rakjat, 19 Februari 1959). Harga emas pada Februari 1959 mencapai Rp 140/gram/24 karat di Jakarta dan di Bandung Rp 135/gram /24 karat. Pada waktu itu pembelian emas dikenakan pajak penjualan sebesar 10 persen. Pertengahan Maret 1959 harga emas naik lagi menjadi Rp152/gram untuk 24 karat dan di Kota Bandung Rp145/gram untuk 24 karat (Pikiran Rakjat, 24 Maret 1959).
Masalah padi juga menjadi pelik. Surjawinata, politisi Partai MURBA, ketua Panitya Produksi dari Panitya Perbaikan Makanan Rakyat DPRD Jawa Barat menyindir bahwa pada saat ini sepertinya bagi rakyat lebih menguntungkan menanam rumput daripada menanam padi. Dalam satu hektar sawah petani bisa mendapatkan 30 kuintal padi dengan harga Rp4500 per tahun.
Setelah dipotong ongkos-ongkos pengerjaan sawah dan penggantian bibit akhirnya mendapat sisa Rp3450. Dengan bekal itu walaupun ditambah hasil palawija petani tidak bisa mendapatkan pupuk buatan untuk meningkatkan hasil panen. Sementara kalau petani menanam rumput, maka setahun bisa mendapatkan Rp30.000 dengan potongan biaya Rp800 dan biaya pupuk Rp420 (Pikiran Rakjat, 2 Maret 1959).
Seorang jurnalis bernama A.Laksmi menulis di Mimbar Indonesia edisi 26 Juli 1958 dengan judul “Dalam Perang atau Damai Soal Beras tetap problem Mendesak” mengungkapkan jumlah pertambahan penduduk selama 13 tahun tidak lagi seimbang dengan jumlah produksi bahan makanan dalam negeri sendiri. Luas tanah kosong di seluruh kepulauan Indonesia ditaksirnya 50 juta hektar belum dibuka dan belum dikerjakan baik secara intensif, maupun esktensif terhalang perang Kolonial Pertama, Kedua dan kemudian berbagai pemberontakan.
Pemerintah mempunyai uang cukup untuk membuat gedung-gedung besar dan mengimport ribuan ton beras per tahun, tetapi membuka sawah-sawah baru biayanya hanya sambilan saja Pada 1954 hanya Rp135,4 juta atau 8% untuk investasi pertanian dari APBN. Harga beras di Kota Bandung hingga Februari 1959 berkisar Rp8,25 per Kg untuk kualitas terbaik. Namun pada Maret 1959 harga beras turun hingga Rp7,50/kg. Tindakan keras terhadap sepekulan beras untuk sementara berhasil menghentikan kenaikan harga beras yang tak terkendali.
Tekstil masih tanda tanya, beras masih menjadi masalah pelik pada akhir Maret 1959 harga bensin di Kota Bandung yang sempat tekendali tiba-tiba melonjak lagi menjadi Rp7,50/liter. Harga per jerigen jauh lebih tinggi bergantung tempat. Di Cimindi dan Pasirkaliki harga satu jerigen bensin Rp100 dan di di Kompleks Cilentah malah dijual Rp150 per jerigen. Akibatnya menurun Ketua Perpabin Jawa Barat Wisnu bus tidak bisa jalan 30-50% pada semua trayek. Harga onderdil menjadi melangit (Pikiran Rakjat, 1 April 1959).
Dari berbagai isu ekonomi pada semester pertama 1959 tampaknya kenaikan harga sudah mengacu pada nilai uang dan apa pun kebijakan menekan harga setiap komiditi tidak akan artinya dan tanpa stabilitas moneter. Sejarah mencatat bahwa semua masalah ekonomi bermuara pada suatu keputusan yang drastis pada Agustus 1959: Sanering.
Irvan Sjafari
Sumber Lain:
http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_27_1958.pdf
http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-uang-pampasan-perang-dari-jepang-usd-223-juta-pada-1958.html
Prof. Dr. Suhartono,Kaigun Angkatan Laut Jepang: Penentu Krisis Proklamasi (Jakarta, Kanisius, 2007
Foto: Soekarno, Hatta dan Nishijima Shigetada (kredit foto http://www.inhilklik.com/2013/11/soekarno-dan-hatta-beda-pandangan-soal.html)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H