Yang paling mungkin mereka membeli telur seharga Rp 1,1 per butir alias selisih 60 sen dari harga yang mereka jual di pasar kota Bandung kalau mau mengikuti Dekrit Juanda sebesar Rp1,70 per butir. Itu pun margin hanya berapa sen dan resiko bisnis besar sekali. Bayangkan kalau yang pecah karena diangkut dengan kereta api sampai 50%, berapa telur harus dijual per butirnya? Harga ini harus dimasukkan juga komponen biaya pengangkutan dalam kota dari stasiun ke toko dan biaya gaji pegawai toko, listrik toko dan pengutan-pungutan.
Masalah daging juga begitu, karena mereka harus membeli sapi, kerbau dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Para pedagang daging di Kota Bandung menuding hewan ternak di kawasan itu dikuasai pedagang liar dan ikut serta menaikkan harga. Daging untuk Kota Bandung dan Jakarta didatangkan dari dua propinsi ini dan diangkut dengan kereta api. Harga daging kerbau atau sapi di Bandung sekitar Rp32/kg. Sementara kalau mengikuti Dekrit Djuanda harga Desember 1958 jatuhnya per kg Rp27.
Keputusan Djuanda bertepatan menjelang lebaran di mana permintaan tinggi. Pada 1959 jarak antara perayaan tahun baru, Hari Raya Imlek dan lebaran berdekatan sekitar tiga bulan. Kalau menjelang Perayaan Tahun Baru dan hari Raya Imlek permintaan telur ayam begitu tinggi dan harganya juga naik. Sementara kalau lebaran permintaan tinggi adalah telur bebek. Para pedagang juga menuntut agar jumlah uang yang beredar ketika Djuanda mengeluarkan keputusan dengan situasi Desember 1958 juga disesuaikan. Itu artinya pedagang dan pengusaha mengetahui bahwa nilai uang sudah menurun.
Harga beberapa Bahan Pokok di Pasar Bandung pada Minggu 5 April 1959 jam 00.00 diumumkan dengan resmi oleh Kepala Staf Harian Angkatan Perang Daerah KMKB Kota Bandung. Disebutkan bersadarkan pengumuman itu, daging sapi, kerbau dan kambing dijual antara per kg Rp 28 hingga Rp30. Harga ikan basah, kembung dijual antara Rp16 hingga Rp18/kg, ikan bandeng Rp20 hingga Rp25/g dan udang dijual Rp15 hingga Rp20/kg. Ikan asin seperti teri dijual Rp20-25/kg, selar Rp15 hingga Rp20/kg, tawas antara Rp10 hingga Rp22/kg dan peda antara Rp15 hingga Rp18/kg. Telur ayam dijual Rp1,70 per butir, telur bebek Rp1,60 per butir dan telur asin Ro1,75 per butir. Sayur mayor seperti buncis dijual Rp4/kg, tomat Rp 6 hingga Rp10/kg, bayam Rp3/kg, wortel Rp2,50/kg, kentang Rp3/kg, serta kacang panjang Rp4/kg.
Soal berapa rilnya uang beredar dan yang bernilai memang sudah lama menjadi tanda tanya. Hatta dalam ceramahnya di Sumedang menyebutkan percetakan di Kebayoran mengeluarkan uang kertas baru yang akan merusaka perekonomian rakyat. Pasar akan dibanjiri oleh kertas-kertas yang tak berharga dan akhirnya stabilisasi ekonomi makin kacau. Gaji pegawai negeri memang makin banyak naiknya, tetapi nilai rupiahnya sebetulnya turun. Harga barang juga berkompetisi dengan kenaikan gaji (Pikiran Rakjat, 7 Februari 1959).
Meskipun diingatkan oleh Hatta bahwa kebijakan menaikkan gaji pegawai negeri serampangan tanpa stabilitas moneter berbahaya, tetapi pemerintah tampaknya ingin agar pegawai negeri terhibur. Pada pertengahan Februari pemerintah bahkan menjanjikan memberikan hadiah lebaran sebesar 50 persen dari gaji kepada pegawai negeri (Pikiran Rakjat, 14 Februari 1959).
Disebutkan gaji pegawai negeri golongan A 2/1 naik dari Rp367 menjadi Rp392,81. Golongan B 2/1 naik dari Rp427,43 menjadi Rp431,8. Melihat dari besaran kenaikan gaji untuk pegawai rendah justru kecil. Sementara pegawai negeri golongan FVII naik dari Rp3476, 61 menjadi 4494,76 atau jumlahnya lebih Rp1000. Gaji tertinggi dari Rp3650,19 menjadi Rp4706,12. Dengan demikian kenaikan gaji pegawai negeri hanya menguntungkan golongan atas saja tuding Sumekar, Sekretaris Perburuhan PGRI Komisariat Jawa Barat. (Pikiran Rakjat, 1 April 1959).
DPRD Kota Bandung juga mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan tanda tanya ketika anggota DPRD bernama Ukar Wartaatmadja mengusulkan anggota dewan mendapatkan mobil baru dengan alasannya mobil yang ada mengeluarkan biaya besar. Mobil baru yang dibidiknya jenis Volkswagen dan yang lama dilelang. Ketua DPRD Hawadi menolak pembelian mobil baru. Bahkan katanya kebijakan itu jangan sampai dilaksanakan (Pikiran Rakjat, 19 Februari 1959).
Perdebatan soal mobil baru anggota dewan bersamaan ketika warga kota Bandung menghadapi bencana banjir karena meluapnya Sungai Cidurian dan Cimanuk. Berpuluh-puluh rumah terutama di kawasan Cicadas terendam air (Pikiran Rakjat, 2 Maret 1959). Kecamatan Buahbatu Bandung dilaporkan menderita kerugian sebesar Rp 1.094.300 dan perhiasan senilai Rp130.000 raib. Sawah seluas 98 hektar mengalami kerusakan. Yang menyedihkan padi-padi yang diterjang banjir kebanyakan sedang bunting dan siap panen. Akses hubungan untuk sebelas kampung terputus.
Pada 1950-an sikap pimpinan daerah rata-rata menunjukkan kepekaan sosial yang tinggi. Kepala Daerah Kabupaten Bandung Mas Kamawijaya meninjau kawasan banjir dengan naik perahu sampan (Pikiran Rakjat, 28 Februari 1959). Namun ada kejadian yang luar biasa dan patut dicatat untuk sebuah kota. Ceritanya akibat banjir Kota Bandung menjadi kotor, namun untuk pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia sekitar 20.000 warga di sebuah kota, melibatkan berbagai unsur, mulai petani, buruh, pegawai, pelajar hingga tentara terlibat membersihkan sampah dan lumpur.
Sebelas anggota DPRD Jawa Barat, di antara politisi muslimat (Masyumi) yang paling vokal sejak awal 1950-an Hadidjah Salim, serta politisi perempuan lainnya Ny. Tjahjati Setiatin mengeluarkan pernyataan bersama bahwa pemerintah harus menstabilkan perekonomiaan rakyat dan menurunkan harga barang penting (Pikiran Rakjat, 23 Maret 1959). Pernyataan yang baik, namun sebetulnya terlambat. Sejarah membuktikan hal itu.