[caption caption="Ilustrasi Uang Rp5 pada 1959 (Kredit foto http://uangkuno-jadul-murah.blogspot.co.id)"][/caption]Kehidupan ekonomi 1959 sudah menunjukkan sinyal bahaya pada beberapa komoditi. Setelah beras, minyak tanah, kekurangan pasokan, berikutnya perusahaan susu di Jawa Barat, yang merupakan salah satu ikon ekonomi khas Kota Bandung (dan sekitarnya) terancam mengalami kehancuran setelah produksi mereka merosot sebesar 20 persen akibat kekurangan bungkil (ampas kelapa) untuk pakan sapi. Perusahaan susu nasional lebih lemah karena umumnya mereka hanya mempunyai sepuluh ekor sapi.
Hanya perusahaan susu Adjak di Lembang mempunyai 50 ekor sapi. Sebelum kekurangan bungkil Adjak dapat menghasilkan 2800 liter susu merosot hingga 2300 liter per hari. Bungkil didatangkan dari Jakarta dengan harga Rp320/kwintal. Sebetulnya sebanyak 81 perusahaan susu di Jawa Barat hingga akhir 1957 mampu memproduksi 12.33 liter susu per hari. Bandung punya 37 buah perusahaan susu dan menghasilkan 10 ribu liter susu per hari. Sebanyak 9 perusahan susu milik pemerintah terancam likuidasi karena harga bungkil terus meningkat bahkan sampai Rp380 per kuintal. Bungkil bisa jadi mainan baru spekulan setelah beberapa komoditi ekonomi.
Begitu mudah sekali spekulan bermain dalam berbagai komoditi menunjukkan kelemahan pengawasan dan mungkin juga kekurangan tenaga. Awal Januari 1959 giliran peredaran gula yang mengalami gangguan. Biasanya lebih dulu dituding dikuranginya alokasi gula. Disinyalir bahwa alokasi gula yang dikurangi untuk kota Bandung samapi 20 persen. Akibatnya harga gula mencapai Rp 6.50/kg atau sekitar 70 persen harga beras perkilogramnya. Itu pun warga Bandung kerap sulit untuk mendapatkan gula di toko dan warung (Pikiran Rakjat, 6 Januari 1959).
Polisi bagian ekonomi harus bekerja keras. Polisi Bandung dalam Januari 1959 juga berhasil mensita 63 drum minyak dan di antaranya 15 drum dari pedagang Tionghoa LKTJ di Jalan Astanaanyar (Pikiran Rakjat, 21 Januari 1959). Lainnya adalah 28 drum minyak tanah dari Cikudaputeuh dari sembilan pedagang dan 3 agen minyak tanah untuk dijual dengan harga tinggi (Pikiran Rakyat 14 Januari 1959).
Akhir Januari 1959 sejumlah merek rokok kembali menghilang dari pasar kota Bandung. Di antara yang menghilang adalah rokok merek Virginia. Rokok lainnya dibanderol dengan harga fantastis. Rokok Commodore dijual Rp7,50 , Lancer Rp 6,25 hingga Rp 6,50 dan rokok Escort dihargai Rp 5,50 (Pikiran Rakjat, 31 Januari 1959). Ini berarti kedua kalinya rokok menghilang dari kota Bandung. Peluang ini dimanfaatkan para spekulan, misalnya menjual rokok tanpa banderol. Pada 12 Februari 1959 polisi seksi ekonomi Keresesidenan Priangan melakukan razia di kawasan Braga. Dari tukang rokok sejumlah bungkos tanpa banderol disita (Pikiran Rakjat, 13 Februari 1959).
Pihak kepolisian Reskrim Keresidenan Priangan Iman Supojo menyebar polisi berpakaian preman menanyakan pembeli yang keluar dari toko, apakah mereka membeli barang dengah harga sesuai bon (khawatir terkena jerat hukum kalau tidak pakai bon,karena memakai bon berarti sesuai harga yang ditetapkan pemerintah). Dengan cara demikian bisa diketahui apakah para pedagang tidak seenaknya menaikkan harga (Pikiran Rakjat 5 Maret 1959). Tindakan lebih keras terhadap toko-toko yang dianggap memainkan harga terutama pada bulan puasa yang jatuh pada Maret 1959. Sejak permulaan puasa hingga pertengahan Maret 14 orang pedagang dan pemilik toko dipanggil kepolisiaan untuk proses verbal.
Dari 14 orang ini, sebagian besar bangsa Tionghoa dan beberapa orang India memainkan harga tekstil dan sejumlah bahan pokok. Iman Supojo menuding para pedagang tidak mengekang hawa nafsu mencari keuntungan dan berbuat sekehendak hatinya. Polisi tak segan-segannya menutup toko yang menaikkan harga barang menjelang lebaran. (Pikiran Rakjat, 19 Maret 1959). Pada 19 Maret 1959 sebanyak 12 pedagang dirazia di dalam kota Bandung. Disusul 6 pedagang lagi ditahan pada 25 Maret 1959, di antara yang terkena ialah pemilik toko di kawasan prestisus seperti Toko Modern di Jalan Braga, Toko Niagara di Jalan Lembong (Pikiran Rakjat, 24 Maret 1959). Jumlah total pedagang yang ditahan simpang siur. Tetapi Pikiran Rakjat edisi 26 Maret 1959 memberitakan bahwa sebanyak 17 orang pengusaha dan pemilik toko ditahan Reskrim Seksi Ekonomi Kepolisian Keresidenan Priangan. Tuduhannya menaikan harga dan menjual barang tanpa faktur.
Pada akhir Maret 1959 pengusaha perang di Jawa Barat mempunyai legitimasi berkat dekrit yang dikeluarkan Perdana Menteri Djuanda pada 27 Maret 1959. Dekrit itu memberikan kuasa pada penguasa perang daerah agar mengendalikan harga barang seperti pada 15 Desember 1958. Pihak militer dan kepolisian bisa menindak lebih keras lagi. Juru bicara Destamen Jawa barat Mayor M. Nawawi Latif menyatakan pihak militer siap melaksanakan dekrit PM Djuanda. Dia mengharapkan bukan hanya alat-alat negare turut serta tetapi segenap penduduk (Pikiran Rakjat, 28 dan 31 Maret 1959).
Pelaksanaan kebijakan ini tidak mudah. Yang terjadi pada awal April 1959 beberapa macam barang hilang dari pasaran. Komoditi daging di Pasar Baru, Bandung bisa menyesuaikan diri, tetapi tidak demikian dengan pasar lain, seperti di Cicadas. Ada yang bersedia mengikuti harga 28 Desember 1958 dengan syarat yang ditentukan pedagang. Contohnya, telur ayam atau bebek di Pasar Baru dijual Rp1,80 per butir, sepuluh sen lebih dari harga yang ditetapkan dekrit PM kalau merujuk 15 Desember 1959. Kalau pun dijual Rp1,70/butir para pembeli tidak boleh memilih telur dan hanya boleh membeli lima butir saja. Kalau ingin lebih seharga Rp1,80/butir. Di luar Pasar Baru telur dijual Rp2,50 per butir.
Para pedagang telur dan daging di Bandung menyatakan setuju keputusan Djuanda tentang penetapan harga makanan seperti 15 Desember 1959. Tetapi mereka meminta barang-barang yang mereka beli di tempat asalnya juga harus turun (hingga mereka mendapat margin). Soal transport juga dikeluhkan. Biaya angkut per peti berisi 100 telur Rp15 dan harga peti Rp7,50. Resiko pecah dan busuk sekitar 20 persen. Kalau diangkut dengan Kereta Api, maka resiko telur yang pecah 50% (Pikiran Rakjat,2 April 1959).
Penulis memahami kerisauan pedagang masa itu. Hitung-hitungan sederhana. Untuk 100 butir telur mereka mengeluarkan biaya Rp 22,50. Misalnya taruhlah harga telur mereka beli di tempat asal Rp1,5 per butir. Itu sama dengan Rp150. Ditambah biaya angkutan Rp172,250. Jadi satu butir telur sudah seharga Rp1,72. Kalau pecah 20%, maka tinggal 80 telur yang harus dijual total lebih dari Rp172,50 biar impas dengan telur yang pecah dan ternyata kalau dijual jatuhnya Rp2.15 per butir. Itu harga tidak untung. Jadi wajar kalau ada yang menjualnya Rp2,50 per butir.