Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Beberapa Catatan tentang Kemacetan Long Weekend 23-24 Desember 2015

28 Desember 2015   20:01 Diperbarui: 25 Januari 2016   16:37 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mimpi buruk sebenarnya  bagi saya  baru  terjadi  keesokan harinya 24 Desember 2015 ketika bersama rekan saya Widya Yustina  mengunjungi sebuah tempat wisata di Garut untuk tugas kantor. Hitungan macet memang ada. Rekan saya yang memang orang Priangan Selatan sudah mengingatkan bahwa Nagreg akan macet.  Saya nekad juga karena saya pikir paling-paling   dua jam ke Garut.  Hitungan saya tanggal merah truk-truk tidak bakal berkeliaran.   Sejak dari terminal Cicaheum  sebetulnya isyarat itu sudah ada.   Bus kecil jurusan Garut Non AC yang terus dijejal oleh supirnya.

Bus berangkat sekitar pukul 9.30  dan menjelang masuk Nagreg sudah pukul 12 siang.  Dari Cileunyi (mengapa truk-truk masih juga berkeliaran) jalan sebetulnya sudah macet. Saya dan Widya beruntung sudah duduk sejak awal menghadapi panas yang luar biasa, karena supir (wajahnya yang tampak renta dan mengenaskan seperti terus  ditarget harus cari untung), serta keneknya terus memasukan penumpang yang kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak berdiri di dalam bus yang sudah sesak.  Saya akhirnya berdiri memberi tempat pada ibu yang menggendong bayi laki-laki dua tahun, yang lehernya mengalami cacad hingga tidak bisa tegak.

Di belakang ada dua anak muda laki-laki pakai jaket  alma mater, entah universitas mana terdengar asyik berdiskusi. Mereka cuek dengan beberapa ibu dan anak-anak kecil  berdiri nelangsa. Anak-anak usia 7-8 tahun itu  ingin sekali duduk. Mahasiswa itu tidak salah juga sudah bayar Rp 25 ribu, kok harus berdiri?  Soal  penuh bukan salah mereka. Mengapa   kenek terus berteriak : Garut, Garut seakan tidak peduli  para penumpang mulai kekurangan oksigen.  Ibu yang ada di sebelah  Widya berusaha menenangkan bayi yang tak hentinya menangis kepanasan.  Rekan saya pun sekali-sekali menghibur bayi itu dan membuatnya tertawa sejenak.  Kemudian menangis lagi. 

Sudah  sejam stagnant dan belum masuk Nagreg, kami memutuskan turun dan singgah di sebuah warung makan untuk mengaso. Darah rendah saya kambuh dan  Widya juga menyerah. Di warung itu ada sebuah keluarga yang juga terdampar setelah sembilan jam di jalanan dari Jakarta. Sang Ayah bilang kalau dia sudah jam tiga dini hari dari Cikarang.   Diperkirakan kalau kami tetap di dalam bus bisa semaput dan baru sore tiba di Garut.   Akhirnya kami kembali ke  Bandung dan tiba sekitar pukul dua naik Elf  (setelah itu kami makan di Warung Pasta. Baca : http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/pesta-pasta-warung-pasta_567e5c1ad99373a5111d8d84).

Pertanyaan yang ada dalam benak apa memang nggak ada jalur alternatif  ke Garut dan Tasikmalaya harus melewati Nagreg? Bukankah kemacetan ini  sudah terjadi berpuluh tahun?   Mengapa truk-truk ini berkeliaran di mana-mana? Mengapa Pihak Kementerian Perhubungan  tidak mengeluarkan surat edaran melarang truk-truk besar  pada tanggal 23 dan 24 Desember?  Lalu Pemprov Jawa Barat melakukan apa?  Saya kasihan dengan upaya sejumlah pengusaha di Garut berkorban untuk mengembangkan destinasi wisata  tetapi tidak didukung pembangunan  infrastruktur?

Bagaimana dengan di Kabupaten Bandung?  Penyakitnya bertambah.  Saya  mendapat cerita dari  karyawan hostel juga macet.  Tangkubanparahu malah menjadi mahal setelah  dikelola swasta.  Seorang backpacker asal Jerman yang menginap di hostel saya berteriak: Too Expensive! Ketika diberitahu  turis asing membayar tiket masuk Rp300 ribu  perorang.  Itu masih ada biaya tambahan untuk kawah tertentu.  Untuk wisatawan lokal mungkin lebih murah.  Tak terbayangkan macetnya ke sana karena ada banyak destinasi wisata di satu jalur dari Setiabudi Bandung.  Belum lagi “Maribaya gaya baru” juga dibuka  pada Desember 2015 ini.  

Sabtu  26  Desember 2015, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono mengundurkan diri dari jabatannya. Djoko merasa gagal mengatasi kemacetan dan sebagai rasa tanggungjawabnya ia mengundurkan diri. http://nasional.kompas.com/read/2015/12/26/20420441/Dirjen.Perhubungan.Darat.Kemenhub.Mengundurkan.Diri.) Memang menurut saya Kementerian Perhubungan bertanggungjawab langsung atas kejadian kemacetan itu.  Misalnya saja kementerian tidak memperhitungkan kehadiran truk-truk besar bakal jadi salah satu gangguan utama.    Pengangkutan umum yang overcapacity seperti yang saya alami  juga seharusnya  diatasi kemenhub. 

Sekalipun pihak   kepolisian dan pihak Jasa Marga juga punya tanggungjawab di lapangan,   namun yang lebih utama ialah perencanaan besar pariwisata, perencanaan  jalan raya, perencanaan transporstasi  umum, perencanaan pengangkutan itu ekspor-import,  serta pemerintahan daerah  sepertinya berjalan sendiri-sendiri.  Akibatnya pariwisata di Indonesia di banyak tempat  jatuhnya  menjadi lebih mahal dan kerap  tidak efesien  dibanding  berpergian ke luar negeri.  Padahal  kalau bisa dikelola dengan baik bakal banyak lapangan kerja bisa dibuka dan  bukan hanya orang kaya yang bisa menikmati, tetapi juga wisatawan yang berkantung pas-pasan.  

                          

Irvan Sjafari

Foto: Kemacetan Tol  Ciawi Desember 2015 (sumber foto www.Jambi.tribunnews.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun