Mimpi buruk sebenarnya bagi saya baru terjadi keesokan harinya 24 Desember 2015 ketika bersama rekan saya Widya Yustina mengunjungi sebuah tempat wisata di Garut untuk tugas kantor. Hitungan macet memang ada. Rekan saya yang memang orang Priangan Selatan sudah mengingatkan bahwa Nagreg akan macet. Saya nekad juga karena saya pikir paling-paling dua jam ke Garut. Hitungan saya tanggal merah truk-truk tidak bakal berkeliaran. Sejak dari terminal Cicaheum sebetulnya isyarat itu sudah ada. Bus kecil jurusan Garut Non AC yang terus dijejal oleh supirnya.
Bus berangkat sekitar pukul 9.30 dan menjelang masuk Nagreg sudah pukul 12 siang. Dari Cileunyi (mengapa truk-truk masih juga berkeliaran) jalan sebetulnya sudah macet. Saya dan Widya beruntung sudah duduk sejak awal menghadapi panas yang luar biasa, karena supir (wajahnya yang tampak renta dan mengenaskan seperti terus ditarget harus cari untung), serta keneknya terus memasukan penumpang yang kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak berdiri di dalam bus yang sudah sesak. Saya akhirnya berdiri memberi tempat pada ibu yang menggendong bayi laki-laki dua tahun, yang lehernya mengalami cacad hingga tidak bisa tegak.
Di belakang ada dua anak muda laki-laki pakai jaket alma mater, entah universitas mana terdengar asyik berdiskusi. Mereka cuek dengan beberapa ibu dan anak-anak kecil berdiri nelangsa. Anak-anak usia 7-8 tahun itu ingin sekali duduk. Mahasiswa itu tidak salah juga sudah bayar Rp 25 ribu, kok harus berdiri? Soal penuh bukan salah mereka. Mengapa kenek terus berteriak : Garut, Garut seakan tidak peduli para penumpang mulai kekurangan oksigen. Ibu yang ada di sebelah Widya berusaha menenangkan bayi yang tak hentinya menangis kepanasan. Rekan saya pun sekali-sekali menghibur bayi itu dan membuatnya tertawa sejenak. Kemudian menangis lagi.
Sudah sejam stagnant dan belum masuk Nagreg, kami memutuskan turun dan singgah di sebuah warung makan untuk mengaso. Darah rendah saya kambuh dan Widya juga menyerah. Di warung itu ada sebuah keluarga yang juga terdampar setelah sembilan jam di jalanan dari Jakarta. Sang Ayah bilang kalau dia sudah jam tiga dini hari dari Cikarang. Diperkirakan kalau kami tetap di dalam bus bisa semaput dan baru sore tiba di Garut. Akhirnya kami kembali ke Bandung dan tiba sekitar pukul dua naik Elf (setelah itu kami makan di Warung Pasta. Baca : http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/pesta-pasta-warung-pasta_567e5c1ad99373a5111d8d84).
Pertanyaan yang ada dalam benak apa memang nggak ada jalur alternatif ke Garut dan Tasikmalaya harus melewati Nagreg? Bukankah kemacetan ini sudah terjadi berpuluh tahun? Mengapa truk-truk ini berkeliaran di mana-mana? Mengapa Pihak Kementerian Perhubungan tidak mengeluarkan surat edaran melarang truk-truk besar pada tanggal 23 dan 24 Desember? Lalu Pemprov Jawa Barat melakukan apa? Saya kasihan dengan upaya sejumlah pengusaha di Garut berkorban untuk mengembangkan destinasi wisata tetapi tidak didukung pembangunan infrastruktur?
Bagaimana dengan di Kabupaten Bandung? Penyakitnya bertambah. Saya mendapat cerita dari karyawan hostel juga macet. Tangkubanparahu malah menjadi mahal setelah dikelola swasta. Seorang backpacker asal Jerman yang menginap di hostel saya berteriak: Too Expensive! Ketika diberitahu turis asing membayar tiket masuk Rp300 ribu perorang. Itu masih ada biaya tambahan untuk kawah tertentu. Untuk wisatawan lokal mungkin lebih murah. Tak terbayangkan macetnya ke sana karena ada banyak destinasi wisata di satu jalur dari Setiabudi Bandung. Belum lagi “Maribaya gaya baru” juga dibuka pada Desember 2015 ini.
Sabtu 26 Desember 2015, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono mengundurkan diri dari jabatannya. Djoko merasa gagal mengatasi kemacetan dan sebagai rasa tanggungjawabnya ia mengundurkan diri. http://nasional.kompas.com/read/2015/12/26/20420441/Dirjen.Perhubungan.Darat.Kemenhub.Mengundurkan.Diri.) Memang menurut saya Kementerian Perhubungan bertanggungjawab langsung atas kejadian kemacetan itu. Misalnya saja kementerian tidak memperhitungkan kehadiran truk-truk besar bakal jadi salah satu gangguan utama. Pengangkutan umum yang overcapacity seperti yang saya alami juga seharusnya diatasi kemenhub.
Sekalipun pihak kepolisian dan pihak Jasa Marga juga punya tanggungjawab di lapangan, namun yang lebih utama ialah perencanaan besar pariwisata, perencanaan jalan raya, perencanaan transporstasi umum, perencanaan pengangkutan itu ekspor-import, serta pemerintahan daerah sepertinya berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya pariwisata di Indonesia di banyak tempat jatuhnya menjadi lebih mahal dan kerap tidak efesien dibanding berpergian ke luar negeri. Padahal kalau bisa dikelola dengan baik bakal banyak lapangan kerja bisa dibuka dan bukan hanya orang kaya yang bisa menikmati, tetapi juga wisatawan yang berkantung pas-pasan.
Irvan Sjafari
Foto: Kemacetan Tol Ciawi Desember 2015 (sumber foto www.Jambi.tribunnews.com)