Sebetulnya saya sudah memperhitungkan bahwa bakal terjadi kemacetan dalam long week-end di mana orang kantoran dan anak sekolahan libur sekaligus. Tetapi saya nekad juga ke Bandung pada 23 Desember 2015,karena hitungan saya paling-paling 4-6 jam perjalanan melalui tol. Kalau tidak melalui tol memakai jalur alternatif mungkin saya lebih cepat. Yang saya salah hitung ialah kemacetannya ternyata luar biasa. Kalau diumpamakan dengan gempa yang tadinya saya kira hanya sekala 6-7 richter ternyata sampai 10 richter. Selain itu saya kira kemacetan ternyata bukan hanya ada di jagorawi dan jalan tol cipularang, tetapi seluruh jalur menuju Bandung.
Saya berangkat dengan santai ke Bogor naik kereta komuner sekitar pukul 10 pagi dalam kondisi sepi. Tujuan saya memang ke Cicurug, Sukabumi menengok properti milik keluarga serta orang yang menjaganya, baru kemudian ke Bandung melalui Sukabumi-Cianjur. Hitungannya paling mahgrib di Bandung. Jam 10.30 sudah di Bogor, makan soto mie dekat Stasiun Bogor, dengan santainya sambil membawa tas ransel 45 liter dan tas tangan kecil.
Dari Stasiun Bogor naik angkot menuju tempat angkutan minibus ke arah Sukabumi mangkal, sekitar Jalan Padjadjaran. Di sana berapa awak angkutan umum dan penumpang sudah membicarakan kemacetan di Ciawi. Saya belum khawatir karena menduga paling itu para wisatawan yang hendak menuju kawasan Puncak dan di Sukabumi paling hanya sampai di Lido. Saya duduk di depan samping Pak Supir, tempat favorit saya karena bisa mengorek informasi.
Saya membayar ongkos Rp30 ribu, di atas harga regular Rp25 ribu per orang. Saya pikir harga masih pantas. “Ingin tahu mengapa Rp 30 ribu?” Si Supir, seorang berusia 30 tahunan asal Sumatera tahu apa yang saya pikirkan. Dia kemudian memperagakan keterampilannya mengambil jalan pintas dan brilian kami melewati antrian ular mobil-mobil pribadi di muka pintu tol keluar Ciawi. Bukan itu saja ia mampu menyalip truk-truk besar di Jalan Raya Bogor-Sukabumi, sementara saya menyumpah-nyumpah: apa yang ada di benak para pengambil kebijakan tidak melarang truk-truk itu beroperasi di musim libur ini.
Sekitar pukul 13.00 tiba di Cicurug masih sepi. Angkutan Umum jenis colt itu tepat pada waktunya karena dua jam lagi kawasan itu akan diterpa kemacetan. Saya kemudian naik ojek ke tempat properti melalui jalan lokal yang sudah dilintasi kendaraan umum sebagai jalur alternatif. Sayang urusan di Cicurug memakan waktu dua jam-an. Baru pukul tiga sore naik angkutan umum ke Sukabumi, macet. Tiba di terminal pukul lima sore. Di kepala masih ada rasa optimis bakal sampai di Bandung pukul tujuh malam.
Dari terminal Sukabumi saya menumpang bus AC. Dari seorang pengamen saya mendengarkan lagu “Semalam di Cianjur” yang dipopulerkan Alfian, lagu yang baik dalam perjalanan melalui Cianjur. Hitungan saya meleset di sini. Mobil pribadi yang memilih jalur ini juga banyak (melihat plat B), belum lagi truk-truk yang lalu lalang (aduh, mengapa mereka dibiarkan berkeliaran di musim libur). Yang saya lupa bahwa ada dua pabrik besar yaitu Nike dan GSI yang buruhnya total mencapai puluhan ribu tumpah ruah di jalanan karena besok libur.
Sekarang bukan pemegang kebijakan yang mengizinkan truk-truk besar beroperasi, tetapi siapa mengizinkan pabrik-pabrik berada di tepi jalan raya yang maki dalam hati. Apa tidak ada perencanaan matang dalam master plan-nya bahwa kepentingan wisata dan industri akan berbenturan? Apa anggota dewan yang terhormat dan pemda tidak memikirkan hal ini? “Oh, mereka tak peduli. Karena mereka lewat jalan kan dikawal?” jelas awak bus dengan pasrah.
Bus AC yang tadinya pas bangku menjadi ramai karena buruh-buruh menyerbu masuk ingin cepat bertemu orangtuanya. Di antaranya duduk di sebelah saya, seorang karyawati Nike yang tinggal di Ciranjang (penumpang sebelumnya turun di Warungkondang). Dia hanya tamat SMP dibayar UMR yang tidak sampai Rp2 juta. Buruh itu menyisihkan uangnya untuk ole-ole buat ibunya di Ciranjang dan bersyukur masih dapat kerjaan.
“Kami tidak punya hiburan seperti di Bandung, Sukabumi tidak ada yang dilihat, apalagi Cianjur. Biaya SMA mahal tidak terjangkau keluarga karena ayah sudah meninggal,” tuturnya. Mengharukan. Menurut. Dia bekerja dari pukul 6.15 hingga 15.00. Dia kos bersama teman-teman buruhnya. Liburan Kamis dan Jum’at besoknya adalah anugrah bagi dia berkumpul bersama keluarga. Dia kemudian turun di muka gang rumahnya kawasan Ciranjang sekitar pukul 9 malam.
Semalam di Cianjur jadi mimpi buruk saya. Kemacetan luar biasa terjadi di kawasan Kota Baru Parahyangan. Baru tiba di Bandung tengah malam. Untung saya sudah booking hostel (bukan hotel) untuk backpackeran hingga kebagian tempat. Sejumlah orang tidak kebagian tempat mengaku 7-9 jam di jalan tol dari Jakarta.
Terkapar di Nagreg
Mimpi buruk sebenarnya bagi saya baru terjadi keesokan harinya 24 Desember 2015 ketika bersama rekan saya Widya Yustina mengunjungi sebuah tempat wisata di Garut untuk tugas kantor. Hitungan macet memang ada. Rekan saya yang memang orang Priangan Selatan sudah mengingatkan bahwa Nagreg akan macet. Saya nekad juga karena saya pikir paling-paling dua jam ke Garut. Hitungan saya tanggal merah truk-truk tidak bakal berkeliaran. Sejak dari terminal Cicaheum sebetulnya isyarat itu sudah ada. Bus kecil jurusan Garut Non AC yang terus dijejal oleh supirnya.
Bus berangkat sekitar pukul 9.30 dan menjelang masuk Nagreg sudah pukul 12 siang. Dari Cileunyi (mengapa truk-truk masih juga berkeliaran) jalan sebetulnya sudah macet. Saya dan Widya beruntung sudah duduk sejak awal menghadapi panas yang luar biasa, karena supir (wajahnya yang tampak renta dan mengenaskan seperti terus ditarget harus cari untung), serta keneknya terus memasukan penumpang yang kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak berdiri di dalam bus yang sudah sesak. Saya akhirnya berdiri memberi tempat pada ibu yang menggendong bayi laki-laki dua tahun, yang lehernya mengalami cacad hingga tidak bisa tegak.
Di belakang ada dua anak muda laki-laki pakai jaket alma mater, entah universitas mana terdengar asyik berdiskusi. Mereka cuek dengan beberapa ibu dan anak-anak kecil berdiri nelangsa. Anak-anak usia 7-8 tahun itu ingin sekali duduk. Mahasiswa itu tidak salah juga sudah bayar Rp 25 ribu, kok harus berdiri? Soal penuh bukan salah mereka. Mengapa kenek terus berteriak : Garut, Garut seakan tidak peduli para penumpang mulai kekurangan oksigen. Ibu yang ada di sebelah Widya berusaha menenangkan bayi yang tak hentinya menangis kepanasan. Rekan saya pun sekali-sekali menghibur bayi itu dan membuatnya tertawa sejenak. Kemudian menangis lagi.
Sudah sejam stagnant dan belum masuk Nagreg, kami memutuskan turun dan singgah di sebuah warung makan untuk mengaso. Darah rendah saya kambuh dan Widya juga menyerah. Di warung itu ada sebuah keluarga yang juga terdampar setelah sembilan jam di jalanan dari Jakarta. Sang Ayah bilang kalau dia sudah jam tiga dini hari dari Cikarang. Diperkirakan kalau kami tetap di dalam bus bisa semaput dan baru sore tiba di Garut. Akhirnya kami kembali ke Bandung dan tiba sekitar pukul dua naik Elf (setelah itu kami makan di Warung Pasta. Baca : http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/pesta-pasta-warung-pasta_567e5c1ad99373a5111d8d84).
Pertanyaan yang ada dalam benak apa memang nggak ada jalur alternatif ke Garut dan Tasikmalaya harus melewati Nagreg? Bukankah kemacetan ini sudah terjadi berpuluh tahun? Mengapa truk-truk ini berkeliaran di mana-mana? Mengapa Pihak Kementerian Perhubungan tidak mengeluarkan surat edaran melarang truk-truk besar pada tanggal 23 dan 24 Desember? Lalu Pemprov Jawa Barat melakukan apa? Saya kasihan dengan upaya sejumlah pengusaha di Garut berkorban untuk mengembangkan destinasi wisata tetapi tidak didukung pembangunan infrastruktur?
Bagaimana dengan di Kabupaten Bandung? Penyakitnya bertambah. Saya mendapat cerita dari karyawan hostel juga macet. Tangkubanparahu malah menjadi mahal setelah dikelola swasta. Seorang backpacker asal Jerman yang menginap di hostel saya berteriak: Too Expensive! Ketika diberitahu turis asing membayar tiket masuk Rp300 ribu perorang. Itu masih ada biaya tambahan untuk kawah tertentu. Untuk wisatawan lokal mungkin lebih murah. Tak terbayangkan macetnya ke sana karena ada banyak destinasi wisata di satu jalur dari Setiabudi Bandung. Belum lagi “Maribaya gaya baru” juga dibuka pada Desember 2015 ini.
Sabtu 26 Desember 2015, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono mengundurkan diri dari jabatannya. Djoko merasa gagal mengatasi kemacetan dan sebagai rasa tanggungjawabnya ia mengundurkan diri. http://nasional.kompas.com/read/2015/12/26/20420441/Dirjen.Perhubungan.Darat.Kemenhub.Mengundurkan.Diri.) Memang menurut saya Kementerian Perhubungan bertanggungjawab langsung atas kejadian kemacetan itu. Misalnya saja kementerian tidak memperhitungkan kehadiran truk-truk besar bakal jadi salah satu gangguan utama. Pengangkutan umum yang overcapacity seperti yang saya alami juga seharusnya diatasi kemenhub.
Sekalipun pihak kepolisian dan pihak Jasa Marga juga punya tanggungjawab di lapangan, namun yang lebih utama ialah perencanaan besar pariwisata, perencanaan jalan raya, perencanaan transporstasi umum, perencanaan pengangkutan itu ekspor-import, serta pemerintahan daerah sepertinya berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya pariwisata di Indonesia di banyak tempat jatuhnya menjadi lebih mahal dan kerap tidak efesien dibanding berpergian ke luar negeri. Padahal kalau bisa dikelola dengan baik bakal banyak lapangan kerja bisa dibuka dan bukan hanya orang kaya yang bisa menikmati, tetapi juga wisatawan yang berkantung pas-pasan.
Irvan Sjafari
Foto: Kemacetan Tol Ciawi Desember 2015 (sumber foto www.Jambi.tribunnews.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H