Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Apakah DKI Jakarta Akan Lebih Baik Tanpa Metromini?

18 Desember 2015   19:48 Diperbarui: 19 Desember 2015   09:32 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi razia metromini"][/caption]Seusai Sholat Jum’at, 18 Desember 2015  saya bergegas mencari metromini S610 Jurusan Blok M. Biasanya metromini ini ngetem dengan antrian  di depan sebuah warung rokok tempat saya biasa menyeduh kopi miks dan saya bawa masuk untuk duduk di samping Pak Supir sambil menunggu metromini berangkat.  Di warung itu biasanya ada beberapa pengamen juga menunggu giliran.  Saya terbiasa  dan bersahabat dengan rutinitas ini.      

Kalau ingin buru-buru biasanya saya naik ojek langganan saya dengan harga cincai tentunya,kalau bawa uang pas-pasan. Ada di antara tukang ojek  yang sudah jadi langganan sejak saya masih kuliah.  Pernah sewaktu saya pulang dari kampus nonton konser musik dapat satu  pak (berisi 12 bungkus rokok), tetapi karena saya tidak merokok saya tawarkan pada tukang ojek apa mau dibayar dengan satu pak rokok? Oh, mau.     

Tapi Jum’at  ini  tak satu pun metromini yang tampak.  Bukan suatu hal karena para sopir kerap demo (mogok) kalau ada kebijakan pemda  yang merugikan.  Tetapi ternyata  ada hal yang lain, tukang ojek langganan saya cerita bahwa mereka lari dari razia.  

Begitu di kantor saya browsing ternyata memang ada razia yang dilakukan Dinas Perhubungan Jakarta Selatan terhadap metromini di kawasan Melawai. Para petugas memastikan apakah secara fisik kondisi metromini ini baik dan administrasi lengkap? Setidaknya ada sepuluh metromini dikandangkan.  Hingga Kamis 17/12 sudah 189 metromini yang dikandangkan di seluruh DKI Jakarta.

Teman-teman sekantor menceritakan bahwa metromini rute lain yang masuk terminal Blok M juga menghilang hingga sore hari. Jadi memang metromini lari dari razia. Tindakan Dishub Jakarta Selatan (saya tidak dapat kabar di kawasan lain) mungkin karena Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)  marah besar metromini bobrok masih saja berkeliaran.  Serangkaian kecelakaan yang merengut korban jiwa rupanya dijadikan indikasi ada yang tidak beres dengan moda transportasi ini.

Salah  seorang bos moda transportasi metromini, Azas Tigor Nainggolan, mendesak peran pemerintah dalam melakukan standarisasi terhadap pelayanan yang diberikan moda angkutan metromini. Kurangnya pengawasan telah menyebabkan pelayanan angkutan metromini diberikan seadanya. Ungkap Tigor sebagai pengusaha membuatnya tahu bagaimana sopir bekerja 

Menurut  Tigor, banyak sopir yang malas mengoperasikan angkutan, kemudian menyerahkan busnya kepada pengemudi lain atau lazim disebut sopir  tembak. Di antara mereka  tak jarang bukan orang dewasa dan tidak bisa dipastikan memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). "Coba main ke Terminal Senen. Itu sopir pada main judi dan mabuk. Mobilnya tahu ke mana? Dioperasikan sama sopir tembak," ujar Tigor

Sebetulnya pemerintah DKI  Jakarta memberikan jalan keluar yaitu Metromini berintegrasi dengan PT. Transjakarta. Masalahnya pemilik metromini banyak perorangan dan tidak ada satu suara. Namun Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengakui ada alasan lain PT Metromini tidak terintegrasi dengan PT Transjakarta. 

"Bukan Metromini menolak. Mereka (metromini) tak sanggup menyediakan armada (bus) yang diminta PT Transjakarta," kata Shafruhan kepada Kompas.com di Jakarta, Senin (7/12/2015).

Menurut Shafruhan Metromini harus mengganti bus agar sesuai dengan persyaratan pemerintah. Harga bus tersebut ditentukan dalam LKPP. Masalahnya tidak ada satu pun lembaga pembiayaan yang mau mem-backup (pembiayaan) Metromini. Kredibilitas Metromini sudah jatuh membuat lembaga pembiayaan takut untuk memberikan kredit pada Metromini untuk menyediakan bus baru. Lagi pula metromini belum berbadan hukum.

Senjakala Metromini?

Masalah sopir ugal-ugalan, kondisi metromini yang bobrok sudah terjadi sejak saya masih kuliah. Saya pernah menumpang metromini S75  Blok M-Pasarminggu  yang dilarikan sopir yang masih berusia belasan tahun malam hari. Saya duduk di depan dan jantung berdebar ketika metromini ini merem mendadak  untuk menghindari menabrak metromini atau kendaraan lainnya. Saya sempat berseloroh bahwa naik metromini  duduk di bagian depan samping pak sopir tak kalah dengan olahraga ekstrim paralayang, panjat dinding,  serta panjat tebing.   

Tetapi saya tidak kapok duduk di depan karena bisa ngobrol dengan sopir apa masalah mereka hadapi dan melihat suasana jalan lebih mudah.  Pada waktu itu saya menemukan  ada bus yang pakai selang bensin di dalam kabin dan kendaraan bobrok. 

Dari segi pelayanan sopir metromini juga tidak simpatik, sering mengoper penumpang di tengah jalan dengan alasan menguber rit agar bisa mendapatkan setoran dan juga uang untuk dibawa pulang.   Para sopir bercerita penghasilan mereka sebetulnya sudah jauh berkurang berapa tahun terakhir ini karena kemudahan kredit sepeda motor dan membuat memiliki motor lebih ekonomis daripada naik angkutan umum. Munculnya Go Jek dan usaha sejenis lainnya lebih memukul lagi karena  bagi konsumen lebih cepat, lebih baik, lebih aman dan untuk jarak jauh ekonomis.

Berapa trayek metromini seperti jurusan S619 (Blok M-Cinere), B85 Lebak Bulus-Kalideres lewat Pondok Indah   mati. Keberadaan Transjakarta  (plus sepeda motor)  praktis melenyapkan  trayek-trayek ini. Kalau Transjakarta  rute Blok M-Ciledug,  UI-Manggarai ada, maka  metromini S69  dan S62 akan mati.  Belum lagi  Dishub DKI Jakarta  sendiri mengakui sudah mencabut 1600 trayek.  Tanpa razia atau tindakan pun metromini sudah memasuki senjakala.  Tinggal waktunya tamat. Apalagi kalau MRT hadir sesuai rencana, maka metromini S610  juga saya prediksi  menyusul. 

Pertanyaannya  apakah DKI Jakarta akan lebih baik tanpa metromini (dengan kondisi sekarang)? Kalau ada penggantinya seperti iya. Namun bukan tanpa dilema.  Kopaja yang sudah terintegrasi dengan Transjakarta yang ber- AC seperti S20 kenyataan memang lebih nyaman, lebih aman bagi penumpang,  sekali pun memang ongkosnya lebih mahal. Namun menurut  berapa sopir metromini apakah metromini bisa seperti itu? 

Kalau trayek jarak jauh Lebak Bulus-Senen iya, penumpang mau bayar lebih. Tetapi kalau jarak pendek seperti Pondok Labu-Blok M yang penumpangnya menengah ke bawah berat membayar lebih dari Rp4000. Apalagi mereka kebanyakan turun di Fatmawati. Lain ceritanya dengan S640 Pasarminggu-Tanah Abang bisa lebih ekonomis karena banyak bersinggungan dengan rute Transjakarta. 

Saya pernah berpikir kalau begitu pemprov DKI Jakarta ambil alih saja Metromini. Sopirnya digaji paling tidak UMP DKI Jakarta. Ditata sedemikian rupa dengan kajian satu rute hanya perlu berapa bus. Dalam satu bus hanya perlu dua atau tiga sopir sesuai shift. Sopir tidak perlu mengejar setoran, menaikan dan menurunkan penumpang sesuai aturan dan tidak boleh mengoper. Bus bisa lebih nyaman dan lebih aman karena akan dibuat standarnya bus apa yang digunakan. Kalau begitu berapa sopir yang saya tanya bilang: mau!

Saya yakin kalau itu dilakukan  metromini (kalau namanya masih metromini) bakal lebih baik. Hanya saja apakah sopir-sopir lama akan terpakai? Dengan gaji standar UMP bahkan Ahok pernah mewacanakan Rp3,5 juta, maka sopir  yang mendaftar kualisifikasi bakal lebih tinggi. Bisa jadi sarjana (seperti yang terjadi pada gojek). Maka sopir yang kualisifikasi pendidikan rendah bakal sulit bersaing. Tetapi kalau mereka diprioritaskan dengan syarat tidak ada lagi sopir tembak, perilaku berubah, mereka diberi diklat lagi mungkin kekhawatiran pengangguran terhindari.     

Pemprov DKI Jakarta kalau menggunakan cara ini belajar pada PPD dulu harus efesien. Jangan sampai rasio satu bus dan awak berlebih. Efesiensi juga pada spare part, kalau BBM bisa beli dengan harga dan alokasi khusus di depo tertentu. Pemprov DKI Jakarta  harus siap subsidi karena ongkos yang dibayarkan penumpang harus terjangkau orang kebanyakan. Selain itu ada problem apakah semua pihak yang punya kepentingan terhadap metromini  mau?         

Saya sendiri masih ingin menikmati naik metromini, tetapi hanya trayek tertentu karena banyak cerita yang bisa didapat. Dulu saya pernah naik S619 di tengah hujan lebat dan duduk di depan  di samping sopir sepuluh tahunan lalu (ketika sewanya masih bagus). Sopir itu mengendarai bus dengan tenang dan santun. Dia bilang  suasana seperti ini yang diinginkannya, damai. Pasalnya hujan lebat membuat sepeda motor berteduh. 

Keberadaan motor bagi mereka menambah stress karena selain mengurangi pendapatan mereka, juga kerap jadi masalah karena biker juga kerap memotong seenaknya dan tidak mau disalahkan. Sudah stres karena menguber setoran, stres juga di jalan. Sopir itu ingin motor ditertibkan agar mengurangi stress mereka. Artinya metromini tidak sendirian tetapi bagian dari suatu sistem.

Metromini adalah bagian sejarah transportsi di DKI Jakarta, seperti halnya oplet dan bemo dulu. Keberadaan mereka bisa membuat Jakarta lebih baik atau lebih buruk bergantung daripada  sistem yang mendukung keberadaan moda transportasi ini. Kalau sistem ini cenderung korup maka secanggih apa pun moda transportasi  tetap tidak akan membuat DKI Jakarta lebih baik.    

Irvan Sjafari

Sumber foto Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun