Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Apakah DKI Jakarta Akan Lebih Baik Tanpa Metromini?

18 Desember 2015   19:48 Diperbarui: 19 Desember 2015   09:32 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masalah sopir ugal-ugalan, kondisi metromini yang bobrok sudah terjadi sejak saya masih kuliah. Saya pernah menumpang metromini S75  Blok M-Pasarminggu  yang dilarikan sopir yang masih berusia belasan tahun malam hari. Saya duduk di depan dan jantung berdebar ketika metromini ini merem mendadak  untuk menghindari menabrak metromini atau kendaraan lainnya. Saya sempat berseloroh bahwa naik metromini  duduk di bagian depan samping pak sopir tak kalah dengan olahraga ekstrim paralayang, panjat dinding,  serta panjat tebing.   

Tetapi saya tidak kapok duduk di depan karena bisa ngobrol dengan sopir apa masalah mereka hadapi dan melihat suasana jalan lebih mudah.  Pada waktu itu saya menemukan  ada bus yang pakai selang bensin di dalam kabin dan kendaraan bobrok. 

Dari segi pelayanan sopir metromini juga tidak simpatik, sering mengoper penumpang di tengah jalan dengan alasan menguber rit agar bisa mendapatkan setoran dan juga uang untuk dibawa pulang.   Para sopir bercerita penghasilan mereka sebetulnya sudah jauh berkurang berapa tahun terakhir ini karena kemudahan kredit sepeda motor dan membuat memiliki motor lebih ekonomis daripada naik angkutan umum. Munculnya Go Jek dan usaha sejenis lainnya lebih memukul lagi karena  bagi konsumen lebih cepat, lebih baik, lebih aman dan untuk jarak jauh ekonomis.

Berapa trayek metromini seperti jurusan S619 (Blok M-Cinere), B85 Lebak Bulus-Kalideres lewat Pondok Indah   mati. Keberadaan Transjakarta  (plus sepeda motor)  praktis melenyapkan  trayek-trayek ini. Kalau Transjakarta  rute Blok M-Ciledug,  UI-Manggarai ada, maka  metromini S69  dan S62 akan mati.  Belum lagi  Dishub DKI Jakarta  sendiri mengakui sudah mencabut 1600 trayek.  Tanpa razia atau tindakan pun metromini sudah memasuki senjakala.  Tinggal waktunya tamat. Apalagi kalau MRT hadir sesuai rencana, maka metromini S610  juga saya prediksi  menyusul. 

Pertanyaannya  apakah DKI Jakarta akan lebih baik tanpa metromini (dengan kondisi sekarang)? Kalau ada penggantinya seperti iya. Namun bukan tanpa dilema.  Kopaja yang sudah terintegrasi dengan Transjakarta yang ber- AC seperti S20 kenyataan memang lebih nyaman, lebih aman bagi penumpang,  sekali pun memang ongkosnya lebih mahal. Namun menurut  berapa sopir metromini apakah metromini bisa seperti itu? 

Kalau trayek jarak jauh Lebak Bulus-Senen iya, penumpang mau bayar lebih. Tetapi kalau jarak pendek seperti Pondok Labu-Blok M yang penumpangnya menengah ke bawah berat membayar lebih dari Rp4000. Apalagi mereka kebanyakan turun di Fatmawati. Lain ceritanya dengan S640 Pasarminggu-Tanah Abang bisa lebih ekonomis karena banyak bersinggungan dengan rute Transjakarta. 

Saya pernah berpikir kalau begitu pemprov DKI Jakarta ambil alih saja Metromini. Sopirnya digaji paling tidak UMP DKI Jakarta. Ditata sedemikian rupa dengan kajian satu rute hanya perlu berapa bus. Dalam satu bus hanya perlu dua atau tiga sopir sesuai shift. Sopir tidak perlu mengejar setoran, menaikan dan menurunkan penumpang sesuai aturan dan tidak boleh mengoper. Bus bisa lebih nyaman dan lebih aman karena akan dibuat standarnya bus apa yang digunakan. Kalau begitu berapa sopir yang saya tanya bilang: mau!

Saya yakin kalau itu dilakukan  metromini (kalau namanya masih metromini) bakal lebih baik. Hanya saja apakah sopir-sopir lama akan terpakai? Dengan gaji standar UMP bahkan Ahok pernah mewacanakan Rp3,5 juta, maka sopir  yang mendaftar kualisifikasi bakal lebih tinggi. Bisa jadi sarjana (seperti yang terjadi pada gojek). Maka sopir yang kualisifikasi pendidikan rendah bakal sulit bersaing. Tetapi kalau mereka diprioritaskan dengan syarat tidak ada lagi sopir tembak, perilaku berubah, mereka diberi diklat lagi mungkin kekhawatiran pengangguran terhindari.     

Pemprov DKI Jakarta kalau menggunakan cara ini belajar pada PPD dulu harus efesien. Jangan sampai rasio satu bus dan awak berlebih. Efesiensi juga pada spare part, kalau BBM bisa beli dengan harga dan alokasi khusus di depo tertentu. Pemprov DKI Jakarta  harus siap subsidi karena ongkos yang dibayarkan penumpang harus terjangkau orang kebanyakan. Selain itu ada problem apakah semua pihak yang punya kepentingan terhadap metromini  mau?         

Saya sendiri masih ingin menikmati naik metromini, tetapi hanya trayek tertentu karena banyak cerita yang bisa didapat. Dulu saya pernah naik S619 di tengah hujan lebat dan duduk di depan  di samping sopir sepuluh tahunan lalu (ketika sewanya masih bagus). Sopir itu mengendarai bus dengan tenang dan santun. Dia bilang  suasana seperti ini yang diinginkannya, damai. Pasalnya hujan lebat membuat sepeda motor berteduh. 

Keberadaan motor bagi mereka menambah stress karena selain mengurangi pendapatan mereka, juga kerap jadi masalah karena biker juga kerap memotong seenaknya dan tidak mau disalahkan. Sudah stres karena menguber setoran, stres juga di jalan. Sopir itu ingin motor ditertibkan agar mengurangi stress mereka. Artinya metromini tidak sendirian tetapi bagian dari suatu sistem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun