[caption caption="Trio Bimbo"][/caption]Jika ditanya siapa penyanyi favorit saya untuk perempuan solo saya menjawab, Andien, Yura, Fatin, Sherina dan Kikan Namara. Kalau untuk pria saya hanya menjawab dua: Ebiet G Ade dan Franky Sahilatua (tentunya juga dengan Jane). Bagaimana untuk Grup, maka saya menjawab salah satunya adalah Bimbo, grup vokal yang terdiri dari Samsudin Hardjakusumah,Darmawan Hardjakusumah dan Jaka Purnama Hardjakusumah didirikan pada 1967. Pada 1970-an grup asal Bandung ini menambah personelnya menjadi IIn Parlina.
Saya pernah mendengarkan lagu “El Condor Pasa” yang menjadi salah satu lagu di album perdana Bimbo yang anehnya justru rilis dengan lebel Fontana Singapura pada 1971, sebelumnya ditolak oleh Remaco. Lagu rakyat Amerika Latin yang dipopulerkan Simon and Garfunkel ini mampu dibawakan dengan piawai oleh mereka. Bahkan lagu “Manis dan Sayang” dari Koes Plus terdengar menyegarkan dan beda dengan penyanyi aslinya.
Dari ratusan lagu (menurut berapa sumber sekitar 300 lagu) yang pernah dinyanyikan Bimbo, ada lima lagu yang mempunyai kesan mendalam buat saya. Tentunya alasan sangat personal, emosional bahkan sentimentil. Berikut kelima lagu itu.
Melati dari Jayagiri
Sumpah ini lagu yang pernah dinyanyikan Bimbo yang paling menjadi favorit saya. Memang tidak tiap hari saya mendengar, tetapi kerap. Penciptanya Iwan Abdulrachman pada 1968 kalau tidak salah. Tetapi baru popular oleh Trio Bimbo pada 1970-an. Namun bagi saya sendiri baru jatuh hati pada “Melati dari Jayagiri” ketika masih SMA sampai menjadi inspirasi membuat sebuah cerita pendek yang baru selesai waktu kuliah dan saya sudah posting di Fiksiana http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/galeri-3-jelajah-jayagiri_550ae143a333119f1e2e3a92. Syairnya bila disimak mengandung makna tersirat entah memberikan inspirasi bahwa harapan itu selalu ada, keindahan alam bahkan saya bisa tafsirkan cinta.
Semua bagian lagu ini enak. Namun yang paling menyentuh sampai dalam adalah bagian.. Mentari kelak kan tenggelam/Gelapkan datang, dingin mencekam/ Harapan kubintangkan terang/Memberi sinar dalam hatiku.. Setiap kali saya trekking di Jayagiri tembus Tangkubanparahu saya selalu ingat lagu ini, bahkan setiap kali berangkat ke Bandung.
Entah kebetulan saya punya sahabat pena sewaktu masih duduk di bangku SMA bernama Melati Chitra Jayagiri. Tetapi tidak pernah kopi darat. Sayangnya kami hanya sempat bersuratan satu atau dua kali.
Adinda
Pencipta lagu ini Titiek Puspa. Lagu ini diciptakan 1970-an, tetapi saya baru jatuh hati pada lagu ini di akhir masa SMA hingga kuliah. Lagu ini mempunyai tingkat kesulitan tersendiri karena terdiri dari tiga segmen yang menukik hingga klimaks di akhir lagu. Padahal dalam ketiga segmen itu kata kuncinya hanya tiga embun, permata hati dan matahari. Lagu ini dilontarkan seorang laki-laki yang hanya cinta pada satu perempuan dalam seumur hidupnya dan bila diresapi bisa membuat menangis.
Adinda oh sayang Adinda/Namamu tiada duanya…kemudian diikuti oleh kalimat yang tak kalah menggetarkan Sejuknya embun dini hari/sesejuk tutur senyum yang kau beri/ Hangatnya sinar matahari/Sehangat cinta yang kau beri… Bagian pembuka dilantunkan Acil terdengar dengan begitu lembut tetapi seperti datang dari hati. Kemudian di bagian tengah.. Sejakku mengenal dikau/Dunia tampak indah kemilau/ Aku hanya hidup untukmu… Syairnya membuat hati lulu. Lagu ini berakhir dengan lugas
Adinda dikaulah embun pagi/ Adinda dikaulah matahari/Adinda dikaulah permata hati/ Adinda cintaku Adinda… (lantang dan panjang dengan range suara tinggi).
Aisyah Adinda Kita
Ketika lagu “Aisyah Adinda Kita” saya dengar pada 1980-an siswi SMP dan SMA Negeri yang ingin memakai jilbab karena keyakinannya sebagai muslimah menghadapi tekanan berat. Mereka diminta melepas jilbabnya atau mereka keluar dari sekolah. Saya punya kesan sendiri, karena adik kelas saya di sebuah SMP Negeri di Jakarta Selatan memilih keluar daripada disuruh melepas jilbab. Saya marah sekali karena itu hak asasi dia memakai jilbab. Sampai sekarang saya tidak bisa memaafkan tindakan SMP saya. Kini setahu saya dia jadi aktifis sebuah partai muslim yang justru pandangan politiknya berbeda dengan saya.
Kembali ke lagu “Aisyah Adinda Kita”, dengan backing vocal anak-anak lagu ini memberikan semangat bahwa memakai jilbab tidak menghalangi untuk berprestasi. Aisyah menjadi simbol muslimah berjilbab. Dia bukan hanya pandai mengaji, tetapi juga dalam pelajaran dan pandai berorganisasi. Settingnya bulan Muharam 1401 hingga Muharam (1404 Hijrah).
Ada sepuluh Aisyah berbusana muslimah/Ada seratus Aisyah berbusana muslimah/Ada sejuta Aisyah berbusana muslimah…Syairnya dahsyat. Seolah-olah pencipta lagu yang liriknya ditulis oleh Taufik Ismail sudah bisa memprediksi bahwa masa mendatang akan ada jutaan muslimah dengan jilbabnya tidak saja hanya bebas di sekolah menengah negeri tetapi juga menjadi ilmuwan, teknokrat, profesional di berbagai bidang termasuk ranah hiburan. Bahkan busana muslimah tidak kalah bergaya masuk menjadi bagian tren mode.
Saya tidak pernah mendengar lagu ini dinyanyikan penyanyi lain selain Bimbo. Mungkin karena terikat waktu 1401 H dan 1404 H. Padahal lagu ini enak didengar dan memberi inspirasi dan semangat yang tak lekang dimakan zaman. Lagu ini termasuk yang paling saya putar ulang di Youtube. “Aisyah Adinda Kita” di mata saya bukan lagu religi (meski ada yang menganggapnya demikian), tetapi lagu sosial, semacam counter culture bahwa mereka yang memakai jilbab juga simbol kekebebasan bereskpresi.
Balada Seorang Biduan
Lirik “Balada Seorang Biduan” ini ditulis oleh Taufik Ismail yang punya makna dalam. Saya mengenal lagu ini ketika masih kecil dan jadi lagu yang pernah saya nyanyikan waktu tugas seni suara di depan kelas waktu SMP. Tentunya suara tidak selantang Trio Bimbo dan Iin Parlina sebagai backing vokalis. Nuansa sosialnya era 1970-an, ada penyanyi muda datang dari desa membawa gitar mengadu nasib. Dia memang menjadi pujaan tetapi kehilangan kekasihnya,karena masa itu nasib seniman jatuh bangun.
Meskipun kau tersenyum/Namun orang pun tahu isi hatimu/lagumu lagu sendu/perjalanan hidupmu/ditinggal kekasihmu…Bagi saya lagu ini memberi inspiratif berani mencoba dan menghadapi realita kehidupan yang berputar seperti roda. Sepertinya belum ada penyanyi lain yang menyanyikan lagu ini memikat saya seperti Bimbo.
Lailatul Qadar
Lagu dari kategori religi yang paling menyentuh hati saya adalah “ Lailatul Qadar”. Lagu ini diciptakan pada 1970-an. Liriknya dahsyat dan menggetarkan sejak bait pertama : Margasatwa tak berbunyi/Gunung Menahan Nafasnya/ Angin pun Berhenti/ Pohon-pohon pun tunduk dalam gelap malam/Pada Bulan Suci Qur’an turun ke Bumi… Saya suka karena lagu ini enak didengar bukan saja pada Ramadhan tetapi juga saat sepi di kantor sendirian tengah malam ketika sedang mood bekerja.
Selain Bimbo, Grup Band Gigi juga mampu membawakan lagu ini dengan cara berbeda dan nuansa kekinian. Begitu juga sejumlah penyanyi lain. Namun saya lebih suka versi Bimbo 1970-an yang tidak pernah usang di telinga saya. Lagu ini salah satu menginspirasi saya untuk menulis sebuah cerpen-selain diilhami oleh cerita Guru SD saya- yang juga dimuat di Fiksiana http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/galeri-5-suatu-malam_550b9448813311ef17b1e4c0
Irvan Sjafari
NB: Tulisan ini apresiasi saya untuk Bimbo Konser Indonesia Menyanyi 17 Desember 2015 di TIM Jakarta.
Foto:
Trio Bimbo (kredit Foto Okezone)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H