Aisyah Adinda Kita
Ketika lagu “Aisyah Adinda Kita” saya dengar pada 1980-an siswi SMP dan SMA Negeri yang ingin memakai jilbab karena keyakinannya sebagai muslimah menghadapi tekanan berat. Mereka diminta melepas jilbabnya atau mereka keluar dari sekolah. Saya punya kesan sendiri, karena adik kelas saya di sebuah SMP Negeri di Jakarta Selatan memilih keluar daripada disuruh melepas jilbab. Saya marah sekali karena itu hak asasi dia memakai jilbab. Sampai sekarang saya tidak bisa memaafkan tindakan SMP saya. Kini setahu saya dia jadi aktifis sebuah partai muslim yang justru pandangan politiknya berbeda dengan saya.
Kembali ke lagu “Aisyah Adinda Kita”, dengan backing vocal anak-anak lagu ini memberikan semangat bahwa memakai jilbab tidak menghalangi untuk berprestasi. Aisyah menjadi simbol muslimah berjilbab. Dia bukan hanya pandai mengaji, tetapi juga dalam pelajaran dan pandai berorganisasi. Settingnya bulan Muharam 1401 hingga Muharam (1404 Hijrah).
Ada sepuluh Aisyah berbusana muslimah/Ada seratus Aisyah berbusana muslimah/Ada sejuta Aisyah berbusana muslimah…Syairnya dahsyat. Seolah-olah pencipta lagu yang liriknya ditulis oleh Taufik Ismail sudah bisa memprediksi bahwa masa mendatang akan ada jutaan muslimah dengan jilbabnya tidak saja hanya bebas di sekolah menengah negeri tetapi juga menjadi ilmuwan, teknokrat, profesional di berbagai bidang termasuk ranah hiburan. Bahkan busana muslimah tidak kalah bergaya masuk menjadi bagian tren mode.
Saya tidak pernah mendengar lagu ini dinyanyikan penyanyi lain selain Bimbo. Mungkin karena terikat waktu 1401 H dan 1404 H. Padahal lagu ini enak didengar dan memberi inspirasi dan semangat yang tak lekang dimakan zaman. Lagu ini termasuk yang paling saya putar ulang di Youtube. “Aisyah Adinda Kita” di mata saya bukan lagu religi (meski ada yang menganggapnya demikian), tetapi lagu sosial, semacam counter culture bahwa mereka yang memakai jilbab juga simbol kekebebasan bereskpresi.
Balada Seorang Biduan
Lirik “Balada Seorang Biduan” ini ditulis oleh Taufik Ismail yang punya makna dalam. Saya mengenal lagu ini ketika masih kecil dan jadi lagu yang pernah saya nyanyikan waktu tugas seni suara di depan kelas waktu SMP. Tentunya suara tidak selantang Trio Bimbo dan Iin Parlina sebagai backing vokalis. Nuansa sosialnya era 1970-an, ada penyanyi muda datang dari desa membawa gitar mengadu nasib. Dia memang menjadi pujaan tetapi kehilangan kekasihnya,karena masa itu nasib seniman jatuh bangun.
Meskipun kau tersenyum/Namun orang pun tahu isi hatimu/lagumu lagu sendu/perjalanan hidupmu/ditinggal kekasihmu…Bagi saya lagu ini memberi inspiratif berani mencoba dan menghadapi realita kehidupan yang berputar seperti roda. Sepertinya belum ada penyanyi lain yang menyanyikan lagu ini memikat saya seperti Bimbo.
Lailatul Qadar
Lagu dari kategori religi yang paling menyentuh hati saya adalah “ Lailatul Qadar”. Lagu ini diciptakan pada 1970-an. Liriknya dahsyat dan menggetarkan sejak bait pertama : Margasatwa tak berbunyi/Gunung Menahan Nafasnya/ Angin pun Berhenti/ Pohon-pohon pun tunduk dalam gelap malam/Pada Bulan Suci Qur’an turun ke Bumi… Saya suka karena lagu ini enak didengar bukan saja pada Ramadhan tetapi juga saat sepi di kantor sendirian tengah malam ketika sedang mood bekerja.
Selain Bimbo, Grup Band Gigi juga mampu membawakan lagu ini dengan cara berbeda dan nuansa kekinian. Begitu juga sejumlah penyanyi lain. Namun saya lebih suka versi Bimbo 1970-an yang tidak pernah usang di telinga saya. Lagu ini salah satu menginspirasi saya untuk menulis sebuah cerpen-selain diilhami oleh cerita Guru SD saya- yang juga dimuat di Fiksiana http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/galeri-5-suatu-malam_550b9448813311ef17b1e4c0