Sekolah Partisipasi Masyarakat
Ada juga sekolah yang didirikan dengan gotong royong, di antaranya Sekolah Rakyat dan SMP Yayasan Kebahagian Murid mendirikan gedung di atas tanah yang terlantar pada 1956. Gedung sekolah-sekolah ini diupayakan oleh jerih payah rakyat, serta modal pertama dari Pkiran Rakjat, Mr Supar dan Haji Nitisoemantri, Toko Tujuh menyumbang Rp200 hingga total biaya Rp221.600. Hasilnya empat ruangan kelas berukruan 7 x7 meter, 6 buah WC dan ruang guru. Hadir dalam peresmian Oja Somantri. Lainnya ialah yang didirikan di Desa Cibodas, Lembang dengan biaya sebesar Rp42.750 pada Agustus 1958. Hadir dalam peresmian Kepala daerah Swatantra Kabupaten Bandung, Kamawijaya.
Partisipasi masyarakat yang paling menarik ialah sebuah lembaga pendidikan berpusat di Bandung dan aktif melebarkan sayapnya yang dinamakan Yayasan Beribu. Lembaga yang diketuai oleh Nyonya Effendi ini hingga 1958 mempunyai 21 Taman Kanak-kanak di Kota Bandung, sebanyak 5 di Ciamis, sebuah di Lembang dan sebuah di Cianjur. Dalam pernyataan persnya pada September 1958 Yayasan Beribu berencana mendirikan cabang-cabang di luar Pulau Jawa, seperti Banjarmasin, Kuala Kapuas, serta Muara Tawas di Jambi.
Gerakan Yayasan Beribu itu hingga 1958 tidak pernah menerima bantuan pemerintah. Bahkan pemerintah hanya mengakui kiprah yayasan ini ketika mendirikan sebuah sekolah rakyat di kawasan Buah Batu. Untuk kiprahnya Nyonya Effendi meninjau pendidikan di Amerika serikat dan negara lain. Yang didapatnya ialah tenaga pengajar di luar negeri untuk anak TK pun datang dari PHD. Sementara di Bandung mencari pendidikan pergelar sarjana muda mau mengajar TK sulit. Fakta lain hingga 1958 sebanyak 43 ribu guru sekolah lulusan SGB dan SGA di Indonesia belum menerima pengangkatan dari Kementerian PPK.
Kemunculan Yayasan Beribu adalah fenomena menarik di kota Bandung. Yayasan ini berdiri pada 1951. Menurut catatan sejarahnya 12 organisasi wanita yang bersepakat mendirikan Yayasan Beribu, yaitu Perkiwa Pusat, Budi Istri Pusat, Budi Istri cabang Bandung, Muslimat, Rukun Wanita Cilentah, Perwari cabang Bandung, Persatuan Wanita Cicendo, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Persatuan Putri Indonesia, Bank Cooperatie Wanita Indonesia, Women’s International Club. Tiga tokoh utama priangan yang memimpin lembaga ini. yaitu, Ny. Emma Poeradireja, Ny. Mary E. Saleh, dan Ny. Emma Soemanegara.
Sumber lain menyebutkan bahwa penggagas berdirinya Yayasan Beribu adalah seorang Belanda yang bernama Rina Marsaman. Inspirasinya ialah mengisi waktu luang para ibu yang ditinggal perang oleh suaminya, untuk mengajar anak-anak di sekitarnya. Mary Saleh, Ema P, dan Ema S. menjadi 3 wanita yang belajar langsung di Eropa untuk pengetahuannya dalam mendirikan Yayasan Beribu ini. Emma Poeradiredja dan Emma Soemanegara ini adalah tokoh pergerakan perempuan “Isteri” di Tanah Pasundan pada 1920-an.
Sejarah kemudian mencatat Yayasan Beribu telah berhasil mencetak guru-guru TK yang selanjutnya tersebar di berbagai TK di Indonesia.
Kritik terhadap Dunia Pendidikan
Keberadaan sekolah-sekolah tidak saja negeri, tetapi juga swasta mengundang kritik Ketua Umum Yayasan Pendidikan Rakyat, Mochamad Musa Kaswira menyebutkan bahwa kebanyakan sekolah menengah yang ada di Kota Bandung merupakan sekolah umum daripada sekolah kejuruan, sehingga menimbulkan ketidakseimbangan. Sistem dan struktur pendidikan menimbulkan geestelijk effect atau sikap mental yang merupakan kelanjutan zaman penjajahan dulu. Pelajaran dengan ijazah membuat para lulusan sekolah ingin menjadi ambtenaar . Musa Kaswira juga menyebutkan pendidikan moral kurang dan hanya dijadikan pelajaran tambahan.
Kritik lainnya dilontarkan Prof. Sadarjoen Siswomotojo, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, tentang sistem ujian yang memaksa siswa memasuki kotak-kotak yang tak ditentukan akibatnya. Para lulusan mengejar, tetapi tidak bisa kerja. Selain itu seorang siswa yang bercita-cita ingin menjadi seorang pelukis akan terbendung atau terputus hasratnya karena dalam suatu ujian sekolah menengah jatuh mendapatkan angka dua untuk pelajaran lain.
Para pelajar juga mengeluarkan kritik. Hidajat, seorang pelajar SMA, warga Sadang Saip mengaku merasakan ketidakberesan ujian penghabisan SMA B Tahun 1957-1958. Pertanyaan-pertanyaan yang tertulis dalam ujian dibuat seolah-olah agar pelajar jatuh nilainya atau jawaban kurang memuaskan. Adanya peraturan bahwa hasil ujian pelengkap, padahal tidak diperlukan berlaku selama dua tahun dengan harapan tidak sedikit pelajar harus mengulang duduk di kelas II SMA atau keluar. Dengan tidak adanya keseragaman buku pelajaran yang diwajibkan di SMP atau SMA takut jumlah yang lulus setiap tahun meningkat. Hidajat mengungkapkan kegelisahannya dengan aniknya uang ujian dari Rp12,50 menjadi Rp50 dengan harapan yang turut ujian sedikit sekali.