Pertanyaannya apakah revolusi begitu saja menyelesaikan masalah? Apakah dengan kematian Snow ke 12 distrik hidup dengan damai atau justru muncul tiran baru. The Hunger Games: Mockingjay Part 2 memberikan pelajaran tentang teori konspirasi, machiavelisme dan betapa berbahayanya media massa (terutama televisi) untuk membiaskan fakta bahkan memanipulasinya, menciptakan hipperrealitas bahkan membuat realita palsu. Media mampu menciptakan kecintaan tetapi juga kebencian secara massal sekaligus.
Bagi saya sekuel terakhir ini mempunyai dua sisi yang menarik. Pertama sekalipun film ini fiksi tentang dunia masa depan, tetapi ada pesan yang masih relevan dengan politik global sekarang. Misalnya siapa yang menjamin kejadian di berbagai tempat di Timur Tengah benar seperti yang diberitakan televisi? Tidak usah jauh-jauh di luar negeri beberapa isu politik di dalam negeri ini saja antara stasiun televisi yang satu dengan televisi lain berbeda-beda.
Kedua, Katnis Everdeen sosok perempuan mandiri, kombatan perempuan yang tidak menunggu diselamatkan “pangeran” bahkan dia yang menyelamatkan “pangerannya”. Mungkin karena diangkat dari novel yang penulisnya perempuan nafas feminis terasa. Bahkan dalam film ini bukan hanya laki-laki yang bisa berbuat zhalim, tetapi juga perempuan bisa punya potensi sama.
Dari departemen kasting hampir semua karakter bermain baik, sinematografi juga bagus dengan segala efeknya. Tetapi paling acungan jempol untuk Julianne Moore. Saya tidak menyesal memilih The Hunger Games : Mockingjay Part 2 untuk film asing yang saya tonton untuk November ini dan memilih tidak menonton Spectre. Oh, ya ini bukan film yang ramah untuk ditonton anak-anak dan kalau pun mengajak harap didampingi.