Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bandung 1958 (6) Perebutan Alokasi dan Melawan Mafia Beras Juli-Agustus

23 Oktober 2015   18:52 Diperbarui: 23 Oktober 2015   18:54 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepala Dinas Pertanian Jawa Barat Sujud  juga menduga  gairah untuk  menanam padi menurun karena terlalu banyak cukai yang tak resmi dipungut oleh bermacam-macam tangan kepada orang yang hendak  menjual padi.  Di antara iuran masa itu ialah iuran ulu-ulu, iuran OKD (organisasi Keamanan Desa), sumbangan untuk ongkos pengangkutan padi rata-rata mencapai 2 kwintal per hektar.  Sementara harga padi minggu kedua Juli 1958 berkisar Rp150 per kwintal  tidak memadai.

 

“Kalau tanpa rupa-rupa cukai tidak resmi maka harga tersebut tidak merugikan  pemilik sawah.  Akibatnya  orang lebih berminat menjadi perentara:  tidak usah  capek bekerja tetapi cukup ongkos dan keuntungan pasti besar.

 

Kenaikan harga beras  yang tak terkontrol  dengan cepat  menjadi  isu politik.  Dahlan Rivai, Comiterr PKI Jawa Barat  menuding penerapan single buyer dan single  seller dan sistem blockade lebih banyak merugikan petani kecil.  Seorang warga kota Bandung menulis surat pembaca kepada Pikiran Rakjat edisi 2 Juli 1958 bahwa  di  Kota Bandung kerap terjadi pencegatan terhadap beras dari petani  kecil  ketika hendak dibawa ke pasar  kota Bandung.  Beras dibeli dengan harga pemerintah,  tetapi dijual dengan harga pasar.  

 

Dilema Single Buyer dan Single Seller

Pengusa  Perang  Daerah Swatantra Tingkat I Jawa Barat pembelian padi dengan harga yang ditetapkan pemerintah justru bermaksud agar para tengkulak  tidak sekehendak hati  memeras petani kecil.  Pada sistem yang lama uang yang disalurkan pemerintah melalui  para pengusaha beras justru digunakan untuk uang ijon  membeli padi petani dengan murah sekali. Misalnya harga padi pada musim panen di Indramayu, Purwakarta, Krawang dan Bekasi  jauh merosot di bawah Rp100/kwintal.

 

Sementara di sisi lain petani besar yang memiliki sawah luas tidak mau menjual padi dengan harga pemerintah,  karena tidak terdesak kebutuhan hidupnya. Petani  besar  ini  bangsa asing.   Para petani besar baru mau menjul padinya setelah terjadi panceklik  ketika konsumen mulai sukar mencari beras.  Sementara buruh tani mendapatkan uang dari hasil mencangkul sawah ketika sudah panen.   

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun