Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seperti Burung Belajar Terbang dengan Sayap Sendiri: Garuda Indonesian Air Ways 1950-1958

23 Oktober 2015   14:07 Diperbarui: 24 Oktober 2015   04:14 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti Burung Belajar Terbang dengan Sayap Sendiri:  Garuda Indonesian Air  Ways  1950-1958 (Catatan Awal yang Saya Kumpulkan)

[caption caption="Pramugari Garuda 1950-an"][/caption]

Mudah-mudahan dengan bertambah besarnja armada udara   Garuda  Indonesian Air Ways akan dapat lebih giat berusaha menjumbangkan tenaganja untuk memperbesar kemakmuran dalam negara Republik Indonesia.” 

Demikian kalimat yang bisa dibaca penumpang dalam buku kecil Convair 240 milik Garuda Indonesian Air Ways (GIA)  pada 26 April  1951. Ketika itu seksi perhubungan parlemen dan beberapa awak media melakukan peninjauan kepada seluruh bagian dari maskapai itu. 

Pesawat Convair  240  dapat mengangkut 32 penumpang dengan tempat duduk yang empuk dan teraur, berisikan ala-alat yang dapat memasukan 1/2m3 udara setiap menit untuk setiap penumpang. Udara segar  yang terlebih dahulu didinginkan disertai alat-alat pengisap udara yang telah terpakai. Convair merupakan buatan pabrik Consildated Vultee, San Diego, California. Pesawat ini digerakan dua motor yang mempunyai kekuatan 2400 PK.

Dalam keadaan normal Convair  terbang dengan kecepatan 425 km setiap jam dan terbang dengan ketinggian  4500 m. Sebuah alat istimewa dengan nama drukcabine membuat penumpang seakan-akan berada dalam ketinggian 2500 meter. Pada waktu itu di seluruh Asia Tenggara hanya Indonesia yang mempergunakan pesawat ini.

Kekuatan armada GIA hingga  April 1951 sebanyak 38 buah pesawat, di antaranya 22 Dakota, 8 Convair dan dua catalina.  Setiap bulan GIA membawa 24 hingga 26 ribu penumpang  dan muatan 700.000 kg dan 160.000 kg post. Pelayanan yang dahulu dilakukan oleh KNILM secara berangsur diambil alih sesuai dengan isi  kemedekaan.   Hingga pertengahan 1951 GIA mempunyai 3800 pegawai, dari jumlah itu sekitra 2500 berbangsa Indonesia.  Tetapi pilot, ahli teknik, radio dan pimpinan strategis masih dipegang bangsa Belanda.  

“Harus ada usaha yang dijalankan agar para pemuda kita mempunyai minat untuk menjadi pekerja, pemimpin, pengemudi pesawat,” ujar Asrarudin dalam peninjauan.

Sekalipun perintisan  ketika bernama Indonesian Airways  sudah terjadi sejak 1949  dan sejarah hari jadinya Garuda Indonesian  Airways ada perbedaan pendapat dan  saya tidak ingin masuk ke situ  1, GIA  baru  secara resmi didirikan 31 Maret 1950 dengan perbandingan perseroan sebanyak 51% milik pemerintah dan 49% dan dibawa direksi KLM. Dewan direksi diketuai Dr. Van Konijnenburg dengan wakilnya yang diangkat pemerintah Mr. Muchtar. Penerbangan komersial pertama sudah dilakukan dengan pesawat DC-3 Dakota dengan registrasi RI  001 rute Calcutta-Rangoon  pada 26 Januari 1949. Pada Januari 1950 GIA mengklaim melayani 25 ribu penumpang, membawa 450 ribu kg barang bagasi, 700.000 kg barang dan 175 ribu kg pos.

Dalam buku Peraturan Penerbangan yang dikeluarkannya GIA melayani rute Jakarta ke Sabang, Kutaraja, Medan, Pekanbaru, Padang, Tanjung Pinang, Singkep, Jambi, Palembang,  Bangka, Belitung,  Bandung, Yogyakarta,  Semarang, Surabaya,  Pontianak,  Banjarmasin, Balikpapan,  Samarinda, Tarakan, Denpasar, Makassar, Manado, Waingapu, Maumere,  Kupang, Morotai, Ambon, Biak dan Hollandia (Jayapura sekarang). Untuk internasional,  GIA melayani penerbangan ke Singapura dan Manila.  Harga tiket Jakarta-Medan Rp300 an   dan Jakarta-Hollandia Rp780. Sementara untuk penerbangan ke Singapura hanya Rp190  dan ke Manila  Rp650.  Tarif  termahal  ialah Sabang-Hollandia mencapai Rp1170.      

Pada April 1951  anggota parlemen juga meninjau bengkel-bengkel tempat memperbaiki pesawat Dakota, Catalina, Convair di Kemayoran.  Terdapat sebuah poliklinik  yang menyelenggarakan pengobatan yang menangani 200 pasien setiap hari.  GIA waktu ini  hanya mempunyai dua dokter berkebangsaan Belanda dan seorang berkebangsaan Indonesia.  Mereka juga meninjau gudang di mana  terletak sebanyak 40% suku cadang dan barang.  Terdapat rak-rak yang tertata dengan nama hingga mudah dicari ketika dibutuhkan.      

“Bagi kami pemesanan barang-barang atau alat-alat yang rusak sesuatu yang istimewa, karena sebagaimana tuan-tuan ketahui setiap  alat tidak boleh lama terletak dan tak terpakai dan dengan demikian capital yang tinggal terpendam menjadi tidak berguna,” kata Konijnenburg.

Merintis  SDM dan Pengangkutan Jemaah Haji

Pada  1952  untuk  mendidik SDM  pemerintah membuka sekolah penerbangan di kawasan Gempol,  Kemayoran  untuk kemudian dipindahkan ke Legok, Tangerang yang kelak dikenal publik  sebagai Sekolah Penerbangan Curug.  Pada 1953 tercatat 30 calon pelajar yang diterima  menjadi calon penerbang.  Dari  jumlah itu hanya 16 penerbang  yang bertahan.  Sementara untuk syahbandar udara dari 26  tinggal 18 siswa. Selain itu dididik  juga ahli  mesin kapal terbang, rombongan pertama 11 pelajar dan kedua 19 pelajar, serta ahli radio telegrafis  masing-masing 10, 14 dan 20  murid.    

Pada 12 Juli 1954  pemerintah  mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk kelak menggantikan tenaga asing sekitar 420 orang di Curug. Untuk keperluan pendidikan ini disediakan biaya yang terus bertambah yaitu Rp1,5 juta pada 1954, Rp5 juta pada 1955, Rp8 juta pada 1956 dan  Rp8,5 juta pada 1957. Pada 1954 dikirim 25 calon pilot untuk dididik di Hamble Inggris atas biaya pemerintah. Pada tahun itu juga 10 orang yang lulus dan mendapatkan diploma penerbangan dari Hamble, sudah pulang ke tanah air.

Jam Terbang  GIA bertambah dari 37.376 pada 1952  menjadi 40.240  pada 1953.Sementara penumpang yang diangkut pada 1952 sebanyak 292.803  menjadi 307.757 pada tahun berikutnya. Jumlah barang bagasi meningkat dari 4.084.305 menjadi 4.171.606 pada 1953. Hingga 1954 GIA  diperkuat 106 penerbang, 47 ahli teknik penerbangan, 49  telegrafis yang semuanya berkebangsaan Belanda.  Baru pada 1954 penerbang Indonesia  terlibat.  

Garuda merintis pengangkutan Jemaah Haji pada 1953.  Tercatat 238 orang Indonesia diangkut dalam lima gelombang. Germania Soeradiredja salah seorang  rombongan menyebutkan bahwa rombongannya  berangkat pada 11 September 1953 dari  Kemayoran dan tiba di  Jeddah pada 13 September 1953, melintasi rute Medan, Bangkok, Calcutta, New Dheli, Bahrain, Jeddah. Di beberapa persinggahan, rombongan dijamu oleh pegawai  kedutaan Indonesia. Pada  masa itu pengalaman naik haji dengan pesawat terbang adalah hal yang baru.  

Nasionalisasi GIA

Menjelang akhir 1950-an terjadi perubahan penting bagi GIA. Politik yang telah ditempuh Kabinet Karya untuk perjuangan membebaskan Irian Barat dan pembatalan KMB memberikan konsekuenasi GIA untuk terbang dengan sayap sendiri.  Perusahaan seratus persen jatuh ke tangan pemerintah Indonesia, sekalipun ada  persetujuan dari kedua belah pihak  bahwa sampai 1960 KLM tetap memberi bantuan tenaga ahli kepada GIA.  

Pikiran Rakjat Bandung edisi  15 Juli 1957  memuat iklan GIA  rute dari bandara Husein Sastranegara. Disebutkan penerbangan dari Bandung ke Denpasar sebesar Rp765 per penumpang, ke Padang Rp1.010, ke Yogyakarta Rp310, Medan Rp1.430. Sementara tariff barang per kg untuk tujuan Denpasar sebesar Rp 4,60, Yogyakarta Rp2,05, Makassar Ro 7,25.   Ada penerbangan ke Jakarta dengan biaya Rp100 per penumpang dan bagasi sebesar 65 sen per kg.

[caption caption="Iklan garuda di Pikiran Rakjat "]

[/caption]  Sejak 2 Desember 1957 KLM dilarang melakukan pendaratan di wilayah Indonesia, mendorong GIA untuk melayani transportasi udara.   Akhir Maret 1958 sebanyak 287 tenaga asing yang dierbantukan di GIA di antaranya 65 penerbang mulai berangsur meninggalkan Indonesia. Pada desember 1957 jumlah penerbang KLM yang diberbantukan di Indonesia sebanyak 300 orang.   Pada maret 1958 Menteri Perhubungan Mr. Sukardan sudah melantik 8 orang kapten Convair dan 4 Kapten  Dakota dari bangsa sendiri.  Pada 1958 GIA baru memiliki 8 Convair jenis 240-S dan 8 jenis 340-S, serta 16 pesawat Dakota.

Chief Flight Department Kapten  Partono  mengakui bahwa penerbang Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa jarak antara Sabang hingga Merauke sejauh 5200 Km sebanding dengan peberbangan dari London ke  Montreal.  Sementara penerbangan dari Sabang ke Surabaya sejauh 2500 Km sama  dengan penerbangan London ke Moskow.  Pada 1958  GIA mengangkut 40.000 penumpang, 200 ton pos dan 1236 bagasi.   Jumlah penumpangnya meningkat hampir 50% dibanding 1950.   

GIA melakukan perbangan selama seminggu ke beberapa tempat di luar negeri, yaitu tiga kali ke Bangkok,  empat kali ke Singapura, serta satu kali ke Manila.   Penerbangan ke luar negeri lain yang masih ada di Indonesia, yaitu bOAC  melayani enam kali penerbangan ke Indonesia, melalui jalur London-Australia.  Lainnya adalah Quantas melayani enam kali penerbangan seminggu.

[caption caption="Iklan garuda Ke Bali "]

[/caption]

Dalam 1958, Direksi Garuda dipimpin  Ir.M.Sutoto , Direktur Urusan Teknik dan Teknik Penerbangan Ir. R. Sugoto, Direktur Urusan Keuangan  Mr.C.A Mochtar,  Direktur Muda  Urusan Teknik dan Teknik Penerbangan Ir.Yap Kie Tik.  

Irvan Sjafari

Catatan  Kaki

  1. Beberapa literatur menyebutkan bahwa pesawat komersial pertama Indonesian Airways adalah DC3 1. sumbangan rakyat Aceh bernama Seulawah kepada Presiden Soekarno.  Arifin Hutabarat, To Our Beloved Country, History of Garuda, Ganesia PR, 1989, Tulisan Yasad Ali dan Budi Setiawanto “Makna Sejarah Peresmian Seulawah Air”  dalam  www.Pelita.or.id (diakses 23 Oktober)  menyebutkan dalam catatan sejarah, Presiden Soekarno pada 6 Juni 1948 datang ke Aceh. Di hadapan rakyat Aceh saat itu, Soekarno antara lain mengatakan tentang pesawat terbang tersebut.Dalam waktu singkat kalimat-kalimat Presiden Soekarno tersebut sangat menyihir semangat rakyat Aceh untuk segera bermusyawarah di Hotel Aceh untuk mengumpulkan dana sebesar 120 ribu dolar Malaysia (sebelum berubah menjadi ringgit) atau setara dengan nilai 20 kilogram emas.

Sumber:

Madjalah Kementerian Perhubungan Triwulan I, II, III dan IV, 1954

Merdeka 12 Mei 1951, 5 April 1958

Pikiran Rakjat, 15  Juli 1957,   10 Desember 1957

Peraturan Penerbangan GIA,  Januari 1950,  Mei 1950

Sumber foto:

Pramugari  Garuda  1950-an  (kredit foto :   http://garuda.lima-city.de/menu-garuda/garuda/garuda-html/images/stewardessen-1950.jpg)

Iklan Garuda  1957  (Kredit foto  Pikiran Rakjat/ Repro Irvan Sjafari)

Iklan Garuda Bali 1950-an (kredit foto www.pinterest.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun