“Bagi kami pemesanan barang-barang atau alat-alat yang rusak sesuatu yang istimewa, karena sebagaimana tuan-tuan ketahui setiap alat tidak boleh lama terletak dan tak terpakai dan dengan demikian capital yang tinggal terpendam menjadi tidak berguna,” kata Konijnenburg.
Merintis SDM dan Pengangkutan Jemaah Haji
Pada 1952 untuk mendidik SDM pemerintah membuka sekolah penerbangan di kawasan Gempol, Kemayoran untuk kemudian dipindahkan ke Legok, Tangerang yang kelak dikenal publik sebagai Sekolah Penerbangan Curug. Pada 1953 tercatat 30 calon pelajar yang diterima menjadi calon penerbang. Dari jumlah itu hanya 16 penerbang yang bertahan. Sementara untuk syahbandar udara dari 26 tinggal 18 siswa. Selain itu dididik juga ahli mesin kapal terbang, rombongan pertama 11 pelajar dan kedua 19 pelajar, serta ahli radio telegrafis masing-masing 10, 14 dan 20 murid.
Pada 12 Juli 1954 pemerintah mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk kelak menggantikan tenaga asing sekitar 420 orang di Curug. Untuk keperluan pendidikan ini disediakan biaya yang terus bertambah yaitu Rp1,5 juta pada 1954, Rp5 juta pada 1955, Rp8 juta pada 1956 dan Rp8,5 juta pada 1957. Pada 1954 dikirim 25 calon pilot untuk dididik di Hamble Inggris atas biaya pemerintah. Pada tahun itu juga 10 orang yang lulus dan mendapatkan diploma penerbangan dari Hamble, sudah pulang ke tanah air.
Jam Terbang GIA bertambah dari 37.376 pada 1952 menjadi 40.240 pada 1953.Sementara penumpang yang diangkut pada 1952 sebanyak 292.803 menjadi 307.757 pada tahun berikutnya. Jumlah barang bagasi meningkat dari 4.084.305 menjadi 4.171.606 pada 1953. Hingga 1954 GIA diperkuat 106 penerbang, 47 ahli teknik penerbangan, 49 telegrafis yang semuanya berkebangsaan Belanda. Baru pada 1954 penerbang Indonesia terlibat.
Garuda merintis pengangkutan Jemaah Haji pada 1953. Tercatat 238 orang Indonesia diangkut dalam lima gelombang. Germania Soeradiredja salah seorang rombongan menyebutkan bahwa rombongannya berangkat pada 11 September 1953 dari Kemayoran dan tiba di Jeddah pada 13 September 1953, melintasi rute Medan, Bangkok, Calcutta, New Dheli, Bahrain, Jeddah. Di beberapa persinggahan, rombongan dijamu oleh pegawai kedutaan Indonesia. Pada masa itu pengalaman naik haji dengan pesawat terbang adalah hal yang baru.
Nasionalisasi GIA
Menjelang akhir 1950-an terjadi perubahan penting bagi GIA. Politik yang telah ditempuh Kabinet Karya untuk perjuangan membebaskan Irian Barat dan pembatalan KMB memberikan konsekuenasi GIA untuk terbang dengan sayap sendiri. Perusahaan seratus persen jatuh ke tangan pemerintah Indonesia, sekalipun ada persetujuan dari kedua belah pihak bahwa sampai 1960 KLM tetap memberi bantuan tenaga ahli kepada GIA.
Pikiran Rakjat Bandung edisi 15 Juli 1957 memuat iklan GIA rute dari bandara Husein Sastranegara. Disebutkan penerbangan dari Bandung ke Denpasar sebesar Rp765 per penumpang, ke Padang Rp1.010, ke Yogyakarta Rp310, Medan Rp1.430. Sementara tariff barang per kg untuk tujuan Denpasar sebesar Rp 4,60, Yogyakarta Rp2,05, Makassar Ro 7,25. Ada penerbangan ke Jakarta dengan biaya Rp100 per penumpang dan bagasi sebesar 65 sen per kg.
[caption caption="Iklan garuda di Pikiran Rakjat "]
Chief Flight Department Kapten Partono mengakui bahwa penerbang Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa jarak antara Sabang hingga Merauke sejauh 5200 Km sebanding dengan peberbangan dari London ke Montreal. Sementara penerbangan dari Sabang ke Surabaya sejauh 2500 Km sama dengan penerbangan London ke Moskow. Pada 1958 GIA mengangkut 40.000 penumpang, 200 ton pos dan 1236 bagasi. Jumlah penumpangnya meningkat hampir 50% dibanding 1950.