Ratu Kadewanan Parahiangan : Hibrida Pop Culture di Kota Bandung
Pada 1950-an Bandung merupakan kota yang menjadi favorit untuk lomba ratu-ratuan, di antaranya Ratu Foto Kontes dan Ratu Karang Setra. Walau pun tidak terlalu sebangun seperti lomba ratu-ratuan di dunia Barat, “counter culture” terhadap kontes ratu-ratuan seperti ini juga muncul di Bandung. Dalam Juli 1958 diadakan lomba Ratu Kadewan Parahiyangan (parahyangan). Lomba ini menampilan kecantikan perempuan dengan unsur budaya lokal seperti Samping Batik, Kelom Geulis, Kebaya Bandung hingga selendang tasikmalaya. Para peserta kontes di Bisokop Rivoli, Bandung juga diminta menyanyi tembang Cianjuran atau memperagakan bakat seni Sunda lainnya. Lomba ini diprakasai oleh produser dan sineas film “Delapan Penjuru Angin” karya Usmar Ismail (1957).
Sang pemenang adalah Dinne Kuaresin, masih berusia 18 tahun justru muncul dari latar belakang yang menarik. Ayahnya Sabur, soerang pegawai Bank Provinsi Jawa Barat. Anak bungsu dari enam saudara laki-laki dan empat saudara perempuan ini mampu berbahasa Inggris yang dipelajarinya di Phouw’s College dan gemar mendengar siaran radio ABC (Australia). Dinne pengemar acara musik “While You Work” atau “Listen Choice” dari siaran radio itu dan lagu kesayangannya “April Love” dan penyanyi favoritnya Pat Boone, yang justru penyanyi dari Amerika Serikat. Dinne mendapatkan hadiah piringan hitam lagu dari Delapan Penjuru Angin (Wanita, nomor 14, 25 Juli 1958). Penelusuran saya menemukan lagu “April Love” dirilis pada 1957 dan menjadi popular.
Lomba Ratu Kadewan Parahiyangan ini mengingatkan pada ajang Mojang dan Jajaka pada puluhan kemudian. Sekali pun inspirasinya berbeda, tetapi Bandung sudah lama meletakan dasar-dasar kebudayaan populernya sejak puluhan tahun. Lomba ini menunjukkan bahwa terjadi hibrida antara budaya popular Sunda dan Barat yang menjadi kekuatan budaya popular kota Bandung masa berikutnya.
Lomba ini tidak hanya diadakan di Kota Bandung tetapi juga Solo. Di kota ini lomba bernama Ratu Kembang Kacang. Kontes menyanyi dengan nuansa tradisional ini diikuti oleh penyanyi professional dan juga remaja-remaja berbakat menyanyi. Di antara peserta terdapat seorang anak perempuan berumur 13 tahun yang dipanggil Wal. Anak usia 13 tahun ini menjadi ratu dan mendapatkan hadiah rekaman di Lokananta. Kelak publik mengenalnya sebagai Waldjinah5 .
Dansa masih menjadi kegemaran muda-mudi di Kota Bandung hingga 1958. Sekolah Dansa masih menawarkan keterampilan yang jadi tren dunia seperti Sekolah Dansa Sonje di Jalan Putri nomor 18 Bandung, menawarkan Latin America. Ada lagi sebuah sekolah dansa baru yang muncul, yaitu School of Dancing Edward Joe berlokasi di Jalan Pudak nomor 14 dan Jalan Harianbangga nomor 11 menawarkan pelajaran Latin American Dance dan Ball Room Old Time (Pikiran Rakjat, 8 Juli 1958).