[caption caption="Theresa Zen dalam sebuah penampilan pada 1950-an"][/caption]
Perempuan menjadi jurnalis di Indonesia bukan hal yang baru pada 1950-an. Jauh sebelum itu kiprah perempuan sebagai jurnalis sudah terjadisebelum kemerdekaan. Rohana Koedoes dengan SoentingMelajoe- nya pada 1910-an, Siti Danilah Salim penulis di harian Neraca dan Jong Sumatra, Rasuna Said juga berkiprah sebagai jurnalis, kemudian SK Trimukti. Saya pernah menulis bahwa sebetulnya pelopor emansipasi perempuan yang nyata adalah para jurnalis perempuan daripada para anak bangsawan yang lebih banyak pada edukasi yang sebetulnya lebih memperkokoh perempuan di sektor domestik, dengan bahasa lainnya peran istri yang diperluas .1
Di Jawa Barat tidak terlalu banyak jurnalis perempuan pada 1950-an, tetapij ustru di tangan mereka kesetaraan jender nyata. Pada awal 1950-an satu nama yang menonjoladalah Nilakusuma yang aktif menulis di PikiranRakjat. Nilakusuma jelas menuding bahwa pelacuran bukan hanya soal moralitas perempuan tetapi juga laki-laki. Latar belakang pelacuran lebih karena kemerosotan ekonomi sesudah perang. Perempuan hanya minta duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, ingin dihargai sebagai manusia baik sebagai kawan, maupun isteri.2 Sebetulnya ada nama Nanie Sudarma yang merupakan jurnalis yang juga banyak menulis di Pikiran Rakjat awal 1950-an, namun soal emansipasi perempuan yang diungkapkan Nanie Sudarma awalnya lebih samar dan tidak setegas dibanding Nilakusuma. Nanie Sudarma lebih produktif menulis pada paruh terakhir 1950-an.3.
Setelah “kiprah Nilakusuma” menghilang, Bandung masih memiliki beberapa wartawan lokal perempuan di antaranya yang berkiprah di Pikiran Rakjat. Pada akhir Mei 1958 harian itu merayakan ulangtahunnya yang ke 8 dan mengumumkan bahwa mereka mempunyai tiga orang perempuan di bidang redaksi, di antaranya adalah Emma F Joesoep seorang wartawati. Sekali pun sulit enemukan apa saja yang diliputnya, namun dalam sebuah edisi Emma mengungkapkan hingga masa itu masyarakat pria masih canggung bila berhadapan dengan jurnalis perempuan. Demikian diungkapkan Emma.
Sebagian dari para pria yang diwawancarai atau memberikan keterangan pers ada yang menyukainya karena dia perempuan.Tetapi ada juga orang yang tidak ambil pusing apakah wartawan itu perempuan atau laki-laki. Namun ada juga pria yang menganggap sebagai temannya .Sepintasnya hubungan ini lancar, tetapi ada yang mengajak mengobrol tentang hal-hal yang tida kberhubungan dengan pekerjaan sebagai wartawan.
“ Ada djuga jang menganggap wartawati adalah adiknja bahkan anaknja. Belum apa-apa mereka sudah memberikan santapan rohani djangan terlalu berani, djangan pulang terlalu malam, hati-hati kalau bergaul, awas di djalan ingat ajah dan bunda. Dan ketika saja mendapatkan tugas untuk mengikuti razia kepolisian jang berhubungan dengan pelatjuran, tjepatlah sinarasumber tadi menggunakan ‘badju sang ajah’ dan melarang sama sekali wartawati mengikuti razia jang tidak baik diketahui gadis-gadisketjil, ” (Pikiran Rakjat, 30 Mei 1958).