Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Ruang Publik dan Tantangannya : Catatan Pribadi untuk Bandung dan Jakarta

29 September 2015   21:02 Diperbarui: 6 Oktober 2015   10:13 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="alun-alun bandung: tempat interaksi sosial yang tertata."][/caption]

 

Sejarah terbentuknya sebuah kota ikut menentukan bagaimana karakter ruang publik kota tersebut, selanjutnya tinggal bagaimana pemerintah kota tersebut memaksimalkannnya. Keberhasilan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil melakukan revitalisasi taman-taman, memulihkan sejumlah jalur pedestrian pas dengan karakter Bandung tepat mengikuti alur awal terbentuknya kota, hanya tinggal membuatnya sesuai zaman. Misalnya alun-alun ditata dengan rumput sintetis dengan aturan ketat tidak boleh memakai alas kaki apalagi merokok. Latar belakangnya sebagai orang yang tinggal di kota Bandung semenjak kecil, menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi di kota yang sama dan latar belakangnya sebagai arsitektur mendukung hal itu.

Pada masa kolonial adalah tempat peristirahatan warga Eropa –Sejarawan tentang Indonesia asal Belanda Wertheim menyebutkan populasi penduduk Eropa di kota Bandung mencapai sepuluh persen dan itu terbesar di seluruh Hindia Belanda. Itu sebabnya jaringan jalan yang melintasi pemukiman, wilayah komersial, tempat hiburan untuk kepentingan orang Eropa bukan jalan besar. Bandung tampaknya direncanakan sebagai ibukota Hindia Belanda sementara Batavia sebagai kota perdagangan. Kota ini direncanakan –setidaknya pada awal dengan rapi-terbuktinya ada alun-alun sebagai pusat kota dan kemudian ruang publik dan hiburan.

Wacana Bandung sebagai ibukota juga muncul 1950-an. Tidak mengherankan konferensi besar bertaraf internasional, bukan hanya Konferensi Asia-Afrika April 1954, digelar di kota Bandung. Tepat kalau Bandung disebut sebagai kota kembang dan Paris van Java karena kedigayaan ruang publiknya yang hijau dan penuh bunga. Bahkan dari berita surat kabar setempat pada 1950-an yang saya baca gaya hidup warga kota sudah metropolitan di masanya. Hingga 1970-an awal saya masih merasakan Bandung sebagai kota yang sejuk dengan ruang publik yang nyaman ketika berlibur ke sana.

Menurut Sang Wali Kota Ridwan Kamil berdasarkan ilmu tata ruang yang pernah dipelajarinya semakin banyak tempat untuk berinteraksi sosial maka semakin bahagia warga kotanya. Hasilnya memang terbukti alun-alun ramai sejak pagi hingga larut malam. Petugas satpol kota Bandung bergiliran menjaganya hingga terpelihara dengan baik. Warga kota dari beragam latar belakang sosial dan usia berdatangan ke ruang publik yang sudah direvitalisasi itu mulai dari berselfie hingga melepas penat, hingga menangkal stres kehidupan. Wali Kota bukan saja menghidupkan taman yang sudah ada sejak masa Kolonial, tetapi juga menciptakan taman di ruang terbuka yang masih kosong. Taman-taman itu ditata dengan tematik, seperti taman musik dan taman lansia.

Sampai saat ini langkah Kang Emil, panggilan karib Ridwan Kamil seperti menjawab paronia masyarakat perkotaan terutama dari kalangan berada untuk datang ke ruang publik. Miethe (1995, dikutip dari Williams & Green (2001)), alasan terbesar orang enggan ke ruang publik adalah ketakutan akan tindak kejahatan.1 Karena itulah, banyak ruang publik hadir bersifat privat (tidak terbuka untuk umum ) seperti di sejumlah pemukiman elite di Jakarta, taman dalam areal klub yang dilengkapi sarana olahraga, jogging track.

Tantangan Kang Emil berikutnya memperluas ruang publik ini sampai ke Bandung bagian selatan, tentunya juga penegakan hukum untuk pelanggaran membuang sampah sembarangan hingga kriminal. Kang Emil juga sudah saatnya mencari jalan memecahkan persoalan ekonomi warga yang tidak mampu seperti ungkapan memberikan pancing bukan ikan. Melihat track kebijakan hingga saat ini, saya optimis ia mampu.

Jakarta: Terbentuk dari “Kumpulan Kampung”

Bagaimana dengan Jakarta sebagai ibukota? Kota ini terbentuk karena gabungan beberapa “kota”, seperti Old Batavia, Weltervreden, Meester Cornelis, Kebayoran dan puluhan kampung yang masing-masing berbeda karakter. Sebetulnya kalau direncanakan dari awal dengan baik seharusnya ibukota memiliki ruang publik yang paling memadai di antara kota-kota di Indonesia. Pada 1970-an sebetulnya Gubernur Ali sadikin sudah berhasil menyatukan kawasan yang disebut sebagai “ The Great Villages” ini menjadi sebuah kota metropolitan dengan ruang publiknya.

Sayang pada era selanjutnya sepertinya kepentingan ruang publik terkalahkan keserakahan komersialisasi. Keberadaan mal dan keberadaan ruang publik privat menciptakan sekat untuk berinteraksi antar kelas sosial. Saya ragu pengunjung Lapangan Monas datang dari kalangan pemukim elite seperti halnya pengunjung alun-alun di Bandung.

 

[caption caption="Sebuah ruang publik di Jakarta"]

[/caption]

 

 

Ketika saya masih duduk di bangku SD di daerah Tebet bisa bermain sepakbola dengan aman karena tersedia banyak ruang terbuka. Untuk pulang ke rumah saya bisa berjalan kaki tidak dijemput orangtua saya. Saya bebas bermain dengan anak-anak berbeda kelas sosial di lapangan dekat rumah, bermain di gang-gang atau main perang-perangan di halaman rumah tak banyak berpagar, pergi taraweh bersama ke masjid. Pada awal 1970-an saya masih ingat pagar rumah kakak ibu saya di Kebayoran tak berpagar. Saya bisa bebas bermain dengan anak-anak tetangga kalau sedang berkunjung ke sana.

Sekarang? Dengan banyak berita anak yang hilang diculik atau jadi korban kekerasan, orangtua yang punya anak usia SD –terutama dari kalangan berada-berpikir panjang untuk melepas pulang sendiri naik angkutan umum, berjalan kaki, hingga bermain di tempat umum.

“Padahal di kota-kota Jepang seorang anak usia SD dilepas orangtuanya naik bus umum. Kalau terjadi bencana tsunami mereka bisa tertib,” ujar mantan Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup 2009-2013 Achmad Harjadi dalam seminar di Fakultas Psikologi UI pada 26 September 2015 lalu yang saya hadiri. Ruang publik sendiri menurut Harjadi adalah tempat yang digunakan bersama-sama bukan hanya ruang terbuka, tetapi juga jalan, gang kecil, pedestrian, sungai dan sebagainya.

Hanya sedikit tempat ruang publik dan tempat interaksi sosial yang nyaman dan memadai, di antaranya kawasan sekitar Stadion Senayan pada waktu tertentu, seperti akhir pekan. Tetapi terciptanya Senayan bukan murni produk atau intervensi kebijakan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Saya masih menunggu terobosan yang dilakukan Gubernur Basuki Tjahja Purnama atau akrib dipanggil Ahok, termasuk juga bisa memanfaatkan sungai sebagai ruang publik, baik bantaran mau pun sungainya sendiri.

Saya percaya Ahok punya potensi untuk itu. Persoalannya tantangan sosial politik yang dimiliki Ahok lebih rumit dari yang dihadapi Ridwan Kamil atau seperti Walikota Surabaya Tri Risma Harini.

Irvan Sjafari

Catatan Kaki
1. Girinarasoma Suhardi “Ruang Publik Hyde Park London” 12 April 2012 dalam http://www.girinarasoma.com/ruang-publik-hyde-park-london diakses 29 September 2015.

Sumber Foto:
Alun-alun Kota Bandung (kredit Foto Dokumen pribadi Irvan Sjafari)
Ruang Publik Jakarta (kredit Foto kitadankota.wordpress.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun