Â
 Nani menampik. Oleh karena itu Sekutu menggunakan cara lain untuk bisa menangkapnya.  Oleh pihak sekutu dia diajak naik ke kapal yang sedang berlabuh di perairan Gorontalo . Ceritanya dia diajak untuk berunding. Ternyata di kapal itu sudah ada pejabat-pejabat NICA. Pada 30 November 1945 Nani Wartabone ditawan di Kapal Burdeken. Dewan Nasional yang diundang dipaksa untuk membantu pasukan NICA.
Â
Nani Wartabone kemudian ditawan di Morotai. Dari sana ia sempat dipindahkan ke Tomohon, kemudian dibawa ke Jakarta. Dia ditawan di sana. Nani Wartabone baru dibebaskan setelah RIS terbentuk kira-kira pada janauri 1950 atas bantuan teman-teman sepejuangannya.   Rupanya tokoh-tokoh Federal waktu itu takut pada pengaruh Nani Wartabone.
Dia kemudian  menentang bentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS)yang ada pada saat itu. Gorontalo sendiri berada dalam Negara Indonesia Timur. Menurutnya, RIS hanyalah pemerintahan boneka yang diinginkan Belanda agar Indonesia tetap terpecah dan mudah dikuasai lagi. Nani Wartabone kembali menggerakkan rakyat Gorontalo dalam sebuah rapat raksasa pada tanggal 6 April 1950.Tujuan rapat raksasa ini adalah menolak RIS dan bergabung dengan NKRI. Peristiwa ini menandakan, bahwaGorontalo adalah wilayah Indonesia pertama yang menyatakan menolak RIS.
Pada periode ini hingga tahun 1953, Nani Wartabone dipercaya mengemban beberapa jabatan penting, diantaranya kepala pemerintahan di Gorontalo, Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara. Selepas itu, Nani Wartabone memilih tinggal di desanya, Suwawa. Di sini ia kembali turun ke sawah dan ladang dan memelihara ternak layaknya petani biasa di daerah terpencil.Di luar itu pada 1956Â Nani mendirikan Dana Usaha Petani Kopra (Dupko).
Â
Gorontalo dalam Peristiwa PRRI/Permesta
Â
Ketenangan hidup Nani Wartabone sebagai petani kembali terusik, ketika PRRI/PERMESTA mengambil alih kekuasaan di Gorontalo setelah Letkol Ventje Sumual dan kawan-kawannya memproklamasikan pemerintahan PRRI/PERMESTA di Manado pada Maret 1957. Jiwa patriotisme Nani Wartabone kembali bergejolak. Ia kembali memimpin massa rakyat dan pemuda untuk merebut kembali kekuasaan PRRI/PERMESTA di Gorontalo dan mengembalikannya ke pemerintahan pusat di Jakarta.
 Pasukan Nani Wartabone masih kalah kuat persenjataanya dengan pasukan pemberontak. Oleh karena itu, ia bersama keluarga dan pasukannya terpaksa masuk keluar hutan sekedar menghindar dari sergapan tentara pemberontak. Saat bergerilya inilah, pasukan Nani Wartabone digelari "Pasukan Rimba".