[caption id="attachment_418135" align="aligncenter" width="300" caption="Bioskop Elita dan Varia di Alun-alun Bandung pada 1958 (kredit foto Delcampe.net)"][/caption]
Menjelang hari raya Idul Fitri yang jatuh pada pertengahan April 1958 belum ada tanda-tanda harga beras turun. Sekalipun Pelaksana Kuasa Angkatan Perang KMKB Bandung mensahkan rencana penjualan beras yang diselenggarakan oleh Jawatan Koperasi pada 11 hingga 19 April 1958. Sebanyak 350 ton beras dijual di Kabupaten dan Kota Bandung dengan harga Rp3,50 per liternya (Pikiran Rakjat, 11 April 1958). Kalau dikorversikan ke kg maka harganya berkisar Rp4,50/kg dan jumlah itu sebetulnya tergolong tinggi pada 1955.1 Pada 1950-an awal sebetulnya harga beras pernah mencapai Rp 8,50/kg dari rata-rata Rp1 hingga Rp 2/kg pada awal 1950.2 Padahal upah buruh masih berkisar Rp6 /hari . Hingga harga beras sebesar itu maish berat karena masih harus menghitung kebutuhan lebaran, sewa rumah. Apalagi kalau tetap mencapai Rp 11 seperti Maret 1958. Isu hilangnya bensin di Kota Bandung juga muncul pada triwulan pertama 1958 juga menggelisahkan warga kota.
Gerakan Hidup Baru yang dikumandangkan pemerintah diartikan sebagai kesederhanaan hidup ditanggapi sinis antara lain oleh Bastman, warga Bandung yang tinggal di Jalan Ganeca. Ayah delapan anak ini tidak bisa lagi membelikan anak-anaknya pakaian baru dan khawatir tidak bisa menghidangkan makanan lezat untuk hari lebaran. Padahal hanya setahun sekali ia dan keluarganya bisa membelikan pakaian dan sepatu baru (Pikiran Rakjat 2 April 1958).
Bagi kalangan buruh yang penghasilannya tidak mencapai Rp200/bulan berada dalam tekanan berat. Begitu juga bagi pegawai kecil. Namun jumlah orang yang punya uang cukup di kota Bandung masih besar. Di Kota Bandung untuk indekost bagi pelajar yang cukup baik, seperti di kawasan Jalan Papandayan orangtua harus merogoh kantong Rp400/bulan. Usaha kuliner masih bertahan. Jasa masakan rantang di Kebun Kawung menawarkan per bulannya Rp300/bulan. Ada juga makanan rantang yang ditawarkan dengan harga Rp175 hingga Rp250 berlokasi di Jalan Raya Timur dan Rp170-300 di kawasan Jalan Nanas, Bandung.
Aksi kenakalan remaja yang menjurus kriminal seperti crossboy masih mengkhawatirkan. Pada awal Maret 1958 tim gabungan polisi, pamongpraja, Organisasi keamanan Desa (OKD) dan ronda menangkap 70 pemuda begal yang mengaku tergabung Tiger Mambo. Penangkapan dilakukan di Cibeuncing. Yang mengejutkan mereka menagku menculik beberapa gadis di Kota Bandung dan melakukan pemerkosaaan (Pikiran Rakjat, 5 Maret 1958).
Belakangan empat anggota mantan Tiger Mmabo membantah klaim para pemuda begal itu. AE Sudrajat, Toto Siswanto, Tjetjep dan Bram menyebutkan bahwa Tiger Mambo sudah bubar sejak Oktober 1957. Nama Ahadiat dan Sukardjo yang disebut sebagai pimpinan 70 pemuda begal ini sama sekali tidak dikenal mereka. Keempat mantan anggota Tiger Mambo ini menuding bahwa nama Tiger Mambo memang disalahgunakan (Pikiran Rakjat, 7 Maret 1958).
Menjelang lebaran sejumlah toko menawarkan produknya. Toko SKY di Jalan ABC nomor 3 menawarkan harga sepatu kulit dengan box sol karet seharga Rp59/per pasang untuk ukuran 36-42. Kain brokat dari sutera tulen,katun, hingga perak dengan harga Rp40 hingga 350/per meter di Toko Hassarams di Jalan Oto Iskandar Di Nata (Pasar Baru). Tailor Asia dan Co juga berlokasi di Oto Iskandar Di Nata menawarkan korting 10-20%.
Penjualan susu di Kota Bandung masih relatif baik, sekalipun ada yang tidak mencukupi. Indikasinya ialah pemeriksaan terhadap 20 perusahaan susu di Kota Bandung pada Januari dan Februari 1958 menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan susu mempunyai pendapatan baik dan cukup baik, tetapi tak satu mempunyai pendapatan sangat baik, bahkan pada perusahaan sebesar BMC (Bandoengsche Melk Centrale).
Tabel I
Daftar Hasil Pemeriksaan Susu di Kota Bandung
Nama Perusahan Susu
Pendapatan Januari 1958
Pendapatan Februari 1958
BMC (Bandoengsche Melk Centrale)
II
II
Panorama
II
II
Pemerintah
II
II
Beruadjak
II
III
Tjibodas
II
II
Kantja
III
II-III
Tjidjanggal
IV
II-III
Iduna (Perusahaan Susu Dago)
II
III
Nagel
III
III
NV Tjimahi
II
II
Lactasari
II-III
II
West Broek
II
II
Sierkan
II
II
Tjidadap
II
II
Djatibaru
II-III
II
GAPPSIP
III
III
Sumber Susu
II
II
Biru Laksana
III
III
Negla
III
III
Tjipaganti
II
II
Keterangan I = Baik Sekali, II= baik, III=Cukup, IV=tidak cukup
Sumber diolah dari Pikiran Rakjat
Beberapa toko populer milik orang Belanda sudah diambil alih dan berubah nama. Di antaranya Toko Goldberg menjadi Toko Katjamata di Jalan Braga no.46. NV Woning Maatschappijj Johanna diubah namanya menjadi PT Perusahaan Bangunan Lembong II. Maison Bogerijn di Jalan Braga 44, seeuah restoran tekemuka diubah namanya menjadi Braga Permai.
Kuliner menjadi daya tarik bagi pelesir di kota Bandung. Sebuah restoran baru bertajuk Bebek Champion HAM berdiri di Jalan Dalem Kaum buka antara jam 09.00 hingga 22.30. Nama lain yang mencut pada 1958 adalah Rumah Makan Garuda berlokasi di Jalan Gardujati 55 menyediakan makanan Jawa Timur, mulai Soto Ayam Madura, Sate Ayam Madura, Sate Sapi Bumbu Manis, gulai kambing, Nasi Bali, Nasi Rames Surabaya. Ada juga Rumah Lemper Nyonya Beng di Jalan Bahureksa 3 B dengan kue lapis legit, kue tart, lumpia goreng, gado-gado Jakarta, tahu petis dan cendol. Kuliner lain yang menawarkan iklan ialah Raos Njonja Gpuw di Cihampelas.47 menawarkan aneka gorenagn oncom, pisang, serta singkong.
Bandung juga menawarkan tempat penginapan dengan sewa kamar dan makan tidak saja harian, tetapi juga bulanan. Di antaranya adalah Pension Regent Bandung di Jalan Cipaganti nomor 37. Bandung terdapat hotel yang berubah nama yaitu Hotel Astoria. Awalnya hotel ini bernama Hotel Pension van Rhijn II ketika masa Hindia Belanda.
Dunia Hiburan
Dunia hiburan juga masih gemerlap. Jatuhnya hari paskah pada minggu pertama April 1958 mendorong beberapa hotel membuat event khusus. Grand Hotel Lembang menawarkan acara Night Ball (makan malam dan dansa) dengan iringan King of Jazz Indonesia Dominggo Roada dan His Combo pada Sabtu 5 April 1958. Acara dengan tiket masuk Rp15/per orang ini diwarnai demonstrasi tari-tarian modern Indonesia dan Barat. Tiket dapat dibeli di Hotel. Acara makan malam dan dansa juga ditawarkan Savoy Homman pada 5 dan 6 April 1958 dengan orkes musik Rino-Stephen. Grand Hotel Preanger menawarkan konsep acara yang sama dengan Kentjana Sweet dan Swing Music pada minggu malam 6 April 1958. Grand Hotel Lembang gencar menawarkan berbagai event. Pada 5 Maret 1958 hotel ini mengadakan pesta topeng diiringi band.
Acara hiburan untuk kalangan pelajar tingkat SMA di Bandung juga punya acara yang bertajuk “Semalam di Pulau Bali” di gedung Lyceum pada 8 Maret 1958. Acara ini berupa drama “Jayaprana” karya Jeflast ayng diterjemahkan Rosihan Anwar. Pertunjukkan ini mendapat sambutan baik dan mendapatkan apresiasi. Soeharmono Tjitro Soewarno menyebtunya sebagai pertunjukkan mengisahkan manusia melawan kodratnya (Pikiran Rakjat, 11 Maret 1958).
Bioskop tidak terganggu sekalipun terjadi nasionalisasi pada awal 1958. Bahkan pada awal akhir Maret dan awal April 1958 Bandung kedatangan dua bintang Hollywood, suami isteri Eddie Fisher dan Debby Reynolds. Kedua bintang ini bahkan mendatangi kantor Pikiran Rakjat, untuk sebuah wawancara bahwa untuk menyaksikan bagaimana perhatian masyarakat Bandung terhadap film mereka yang berjudul Bundle of Joy. Mereka juga disebut mencari lokasi untuk syuting film beriktunya dan berada beberapa hari di Bandung.
Lawatan Debbie Reynold pas pada hari kelahirannya yang jatuh 1 April 1932. Referensi menyebutkan selain menjadi bintang film, ia juga menjadi penyanyi dan penari. Sementara suaminya Eddie Fisher lahir 10 agustus 1928 juag penyanyi sekaligus aktor film. Bundel of Joy sendiri menurut IMDB adalah sebuah film komedi musikal yang rilis pada 1956. Di Kota Bandung Bundle of Joy tayang di Elita dan Luxor pada minggu terakhir Maret hingga awal April 1958.
[caption id="attachment_418136" align="aligncenter" width="300" caption="Eddie Fisher dan Debbie Reynold (kerdit foto www.independent.co.uk)"]
Film ini menarik perhatian penggemar film di Bandung karena terdapat adegan dansa yang begitu energik. Lagu seperti “All About Love” dalam film itu bergenre swing jazz. Pada masa itu demam dansa masih menjangkiti kalangan muda kota Bandung, sekalipun sudah mendapat tantangan dari beberapa kelompok. Pada Februari 1958 Bandung juga disuguhkan film dramalainnya yang dibintangi Ronald Reagan dan Doris Day, The Winning Team. Doris Day adalah aktris yang juga penyanyi yang populer masa itu.
Film-film yang diputar lainnya pada akhir Maret hingga awal April 1958 di antaranya film penerbangan, Spirit of Louis (rilis 1957) yang dibintangi James Stewart diputar di Majestic, serta sebuah film perang kolosal The Bridge on The River Kwai rilis 1957. Film yang dibintangi William Holden dan Alec Guinnes ini diputar di Varia, Texas, Rivoli, Luxor pada 2 April 1958. Tiket untuk masuk tergolong paling tinggi di kota Bandung masa itu, yaitu Rp7 untuk kelas satu, Rp4,50 untuk kelas dua, serta Rp1,50 untuk Kelas III dan tentara.
Kota Bandung mempunyai beberapa tempat untuk kursus musik. Di antaranya International School of Classical Music di Jalan Sultan Tirtayasa Bandung. Untuk piringan hitam yang sedng tren anatara lain High Society yang merupakan soundtrack dari film berjudul sama dan dibintangi oleh Grace Kelly dan Bing Crossby. Piringan hitam ini antara lain dijual di Bandung Recording di Pasirkliki nomor 88.
Kursus ini menawarkan pelajaran biola, piano, akordion, hingga belajar menyanyi. Kursus-kursus mode masih eksis bahkan bertambah pemain baru seperti Modevakshool Faridah di Jalan Riau 156 dan punya cabang Jalan Mundinglaya nomor 4. Usaha lain yang baru muncul ialah bisnis kerajinan tenun “Wanita Bali” di Jalan Oto Iskandar Di Nata. Toko ini menyediakan rupa-rupa tenun model Bali. Bebberapa toko kembang antara lain Rumah Kembang Cara di Wastukencana agresif melakukan promosi penjualan.
Pada 1 Maret 1958 Taman Lalu lintas di Jalan Belitung resmi dibuka dan disambut meriah oleh warga kota Bandung. Sambutan ini membuat Pemerintah Kota Bandung membangun taman rekraesi berikutnya di kawasan Karangsetra,. Perkembangan ini menunjukkan walau pun kehidupan ekonomi semakin berat, tetapi dunia hiburan, rekreasi dan gaya hidup belum tertekan. Bandung masih merupakan bergaya metropolis.
Irvan Sjafari
Catatan Kaki:
Lihat tulisan saya : http://sejarah.kompasiana.com/2013/08/02/bandung-1955-8-kenaikan-harga-beras-terpuruknya-industri-tekstil-kedatangan-tengku-abdul-rachman-dari-malaya-dan-pidato-soekarno-catatan-bulan-november-578655.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI