Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bandung 1958 (2) Sikap terhadap “Proklamasi” PRRI di Sumatera dan Krisis Beras

12 Mei 2015   13:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:07 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki Februari 1958 sejumlah tokoh politik dan militer di Sumatera dan Sulawesihabis kesabarannya karena kebijakan pemerintah pusat tidak memuaskan aspirasi daerah.Letkol Achmad Husein pada 10 Februari 1958 mendeklarasikan “Piagam Perjuangan Menyelematkan Negara” memberikan ultimatum 5 x 24 jam. “Djika tuntutan tidak dipenuhi maka kami bebas dari wadjib taat kepada kepala Negara”.Ultimatum itu dilakukan setelah rapat kilat di Padang pada Senin malam 10 Februari 1958 yang dihadiri oleh Syarifudin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, serta sejumlah ulama dan ninik mamak.Mereka menuduh terjadinya pelanggaran terhadap UUD, tidak dilindunginya hak asasi manusia, masuknya anasir anti Tuhan di pusat kekuasaan pemerintahan dan merosotnya nilai-nilai moral dan ahlak.

Mereka menuntut lima hal.

1.Menyelamatkan Negara dari kehancuran dan kembali berdiri di atas UUDS menanti UUD yang tetap.

2.Meletakan dasar-dasar yang kuat bagi pembangunan Negara dan bangsa

3.Menyerukan dengan ikhlas kepada Drs. Mohamad Hatta dan Hamengkubuwono supaya jangan menolak menyediakan diri untuk menyelamatkan Negara.

4.Kepada para pemimpin di DPR dan PM Djuanda agar sungguh-sungguh memberi kesempatan kepada Drs. Mohamad Hatta dan Hamengkubuwono untuk membentuk kabinet nasional.

5.Menuntut kepada Presiden Soekarnoagar bersedia kembali kepaad kedudukan yang konstitusional dalam kata dan perbuatan dan memberikan kesempatan kepada pembentukan zaken kabinet nasional kepada Drs.Mohamad Hatta dan Hamengkubuwono (Pikiran Rakjat, 11 Februari 1958.

Sebetulnya tuntutan itu masih rasional mengingat Hatta dan Hamengkububowono seharusnya bisa diterima oleh Soekarno dan memberikan kesan bahwa gerakan di Sumatera bukanlah gerakan anti Jawa atau ingin mendirikan Negara Sumatera. Tetapielite politik di pusat memandangnya sebagai gerakan yang menantang daripada ingin memberikan koreksi.Tuntutan itu juga bersamaan dengan perjuangan pembebasan Irian Barat dan rasa anti Barat yang makin kuat.Selain itu ada faktor antiPKI yang membuat gerakan di daerah mudah disudutkan dibantu oleh pihak asing seperti Amerika Serikat.

Beberapa hari kemudian Dewan Menteri memutuskan bahwa Achmad Husein, Zulkifli Lubis, Dahlan Djambek, Simbolon dipecat dengan tidak hormat dari dinas ketentaraan. KSAD Nasution menyebutnya sebagai melanggar sumpah prajurit karena mengeluarkan ultimatum.PKI menyerukan bahwa gerakan yang berani memberi ultimatum haruslah dilawan dengan tindakan tegas. Sebaliknya Rusjad Nurdin dari Masyumimelihat adanya pemaksaan golongan tertentu untuk menerima faham komunisme yang anti Tuhan (Pikiran Rakjat, 12 Februari 1958).Naaution beberapa hari kemudian juga memberikan perinath untuk menangkap Husein, Djambek dan Simbolon dengan tuduhan mendalangi Peristiwa Cikini (Pikiran Rakjat, 13 Februari 1957).

Tokoh Masyumi Jawa Barat lainnya K.H.M Isa Anshary dalam Desember 1957 mengeluarkan pernyataan keras bahwa adanya kamapnye Radio Peking tentang komplotan AS dengan bantuan Natsir, Syahrir, Hatta dan Gatot Subrotohendak menggulingkan Pemeirntah Soekarno di Indonesia. Hal ini merupakan manifestasi program kaum komunis untuk menjadikan Indonesia sebagai Korea Kedua (baca Pikiran Rakjat 10 Desember 1957).

Mayor Oking dari IPKI dalam DPRD Swatantra Tingkat I Propinsi Jawa Barat dan Surjawinata dari Murba mendesak Ketua DPRD Jawa Barat mengadakan siding untuk menetikan sikap. Insiatif permintaan ini disebutnya diambil oleh Fraksi Pembela Proklamasi.Situasi semakin hangat ketika Letkol Vetje Sumual disebut berada di Manila bersama Des Alwi pada Februari 1958.Manila waktu itu akan menjadi tuan rumah sidang SEATO yang membuat kecurigaan besar. Dalam konferensi pers, Sumual menyebutkan bahwa sebuah pemerintahan revolusioner akan diproklamirkan dan perang saudara mungkin timbul. Konferensi pers di Manila itu diwarnai aksi mahasiswa Indonesia yang berada di sana menuduh Ventje Sumual sebagai pengkihanat (Pikiran Rakjat, 15 Februari 1958).

Pada 15 Februari 1958 akhirnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia diproklamirkandi Padang dan Husein menyebutnya sebagai membangun sambil berjuang. Syarifudin Prawiranegara dalam pidatonya menolak disebut sebagai yang mulai tetapi saudara.Dia menuding sejumlah koruptor dilindungi oleh Soekarno (Pikiran Rakjat, 17 Februari 1958). Pada awal Maret 1958 giliran Sumual, Saleh Lahade, Tumbelaka diberhentikan dengan tidak hormat dan dinilai membahayakan disiplin APRI (Pikiran Rakjat, 3 Maret 1958). Indonesia berada diambang perang saudara.

Sikap Siliwangidan Jawa Barat menurut Ulf Sundhausen dalam bukunya Politik Militer Indonesia 1945-1967 (Jakarta, LP3ES) memang menentukan. Seandainya saja orang-orang Sunda dan sebagian saja perwira Siliwangi memihak PRRI bisa dipastikan pemerintah pusat akanberada dalam keadaan sulit. Apalagi dengan adanya gerakan-gerakan kedaerahan di Jawa Barat yang tidak pernah menerima sepenuhnya dominasi Jawa.Syarifudin Prawiranegara, Zulkifli Lubis, apalagi setelah menyebrangnya Kawilarang yang pernah menjadi panglima Siliwangi membuat divisi ini enggan memerangi kawan-kwannya sendiri.Hanya saja karena Djuandamenjadi Perdana Menteri memberikan perasaan kepada orang-orang Sunda bahwa mereka sudah masuk hitungan.

Meskipun begitu beberapa elemen gerakan kedaerahan ada yang bersikap terhadap pemeirntah pusat. Ketua Presedium Sunda Tunggal sekaligus juga anggota kosntituante Sutisna Sendjaja kepada Pikiran Rakjat 16 Januari 1958meminta Perdana Menteri djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan kembali mandatnya kepada presiden. Menurut Sutisna Sendjajaadanya peraturan seperti larangan barter oleh daerah akan menimbulkan keadaan buruk di tanah air. Salah satu peneybab pergolaan daerah adalah ketimpanagn ekonomi beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi mengatasi ahl itu dengan mengadakan barter hasil buminya dengan negeri luar.

Kolonel R.A Kosasih pada pertengahan Februari 1958 mengeluarkan pernyataan yang lebih lunak dan tidak reaktif. Pernyataan itu dikelaurkan dalam pertemuan dan perkenalana dengan anggota DPD>

Dalam keadaan sekarang ini djuga dengan kedjadian-kedjadian di Sumatera Tengah, kita hanja membantu penjelesaiannja dengan mendjalankan dan mempraktekan demokrasi ajng benar, jaitu dalam batas etika dan saling djaga perasaan dan kehormatan, dan nama baik kawan seperdjuangan kita dalam mendjaga pembangunan (Antara, 15 februari 1958)

Krisis Beras di Bandung

Warga Bandung tidak terlalu terganggu pada pergolakan yang terjadi di Sumatera dan juga Sulawesi, mereka lebih mencemaskan naiknya harga beras, bahkan kerap diikuti langkanya beras di pasar utama kota Bandung, seperti Pasar Baru dan Pasar Babatan. Tabel I memperlihatkan bahwa hanya dalam waktu seminggu harga beras per Kg-nya untuk beras giling kualitas pertama dari Rp 8,50 pada 3 Maret 1958 naik hingga Rp2,5 pada 10 Maret menjadi Rp11/kg atau tingkat kenaikannya lebih dari 25%. Kenaikannnya rata-rata Rp 0.5 per hari bahkan juga terjadi pada beras kualitas II dan III.

Tabel I Harga Beras Per Kg di Pasar Baru Kota Bandung

pada 3-6 dan 10 Maret 1958

JenisBeras

3 Maret

4 Maret

5 Maret

6 Maret

10 Maret

Beras Giling I

Rp8,50

Rp8,75

Rp9

Rp10

Rp11

Beras Giling II

Rp8,25

Rp8,25

Rp8,50

Rp9,50

Rp10,25

Beras Giling III

Rp7,75

Rp8

Rp8

Rp9

Rp9,50

Beras Tumbuk I

Rp8,25

Rp8,25

Rp8,50

Rp9,50

Rp10

Beras Tumbuk II

Rp7,80

Rp8,25

Rp8,50

Rp9

Rp9,50

Beras Tumbuk III

Rp8

Rp8

Rp8,50

Rp9

Diolah dari Pikiran Rakjat Maret 1958

Beberapa penyebab kenaikan harga beras yang begitu mencolok antara lain membanjirnya para pembeli dari luar kota Bandung dengan daya beli lebih kuat. Mereka mampu membayar beras sesuai dengan kehendak pedagang. Sementara suplai beras ke kota Bandung tidak sesuai dengan permintaan.Janji dari pemerintah bahwa kota akan dipasok beras tinggal janji. Misalnyajanji bahwa Bandung mendapatkan 60 ton beras hingga memasukipertengahan Maret 1958 tinggal janji (Pikiran Rakjat,11 Maret 1958).

Di Ibukota Jakarta yang kebutuhan berasnya lebih besar juga tak kalah buruknya.Beras yang harga eceran terendah tidak ada lagi yang di bawah Rp9 hingga pertengahan Maret 1958.Beras di pasar Kota dan Jatingeara, Tanabang bahkan dilaporkan kosong. Kalau pun ada cepat habis diserbu pembeli.Toko emas juga diserbu karena yang mempunyai emas ramai-ramai menjual emasnya. Toko emas tidak lagi menerima pesanan. Harga emas per gram untuk 24 karat berkisar Rp77 bagi yang membeli, namun bila dijual ke toko emas harganya Rp67/gram.Sementara emas 22 karat dijual Rp68 per gramnya dan ketika toko emas membeli harganya hanya Rp61/gram (Pikiran Rakjat 13 Maret 1958).

Pada Minggu 16 Maret 1958 Presiden Soekarno dan Rasuna Said berbicara di Lapangan Tegallega untuk menggalang dukungan melawan ultimatum dan prokkalamsi kelompok PRRI di Sumatera.Rapat itu dihadiri oleh Panglima Siliwangi R.A Kosasih, Gubernur Jawa Barat Ipik Gandamana. Soekarno jelas menolak ultimatum itu yang dianggapnya sebagai perbuatan para petualang dan bukan kehendak rakyat Minangkabau.“Biar mereka mati digiling tenaga rakyat,” kata Soekarno. Namun Ketika Soekarno menyerukan : Assalamulaikum, rakyat yang di Tegallega berjumlah sekitar 100 ribu tidak terdengar keras menjawabnya. “Kurang keras,” kata Soekarno.Kepala Jawatan Pertanian Jawa Barat Sujudmempelesetkannya menjadi Kurang Beras. (Pikiran Rakjat, 17 Maret 1958)

Produksi beras di Jawa Barat sebetulnya pada 1957 mencapai 18.126 ton.Jawa Barat sendiri memakai 16.711,5 ton untuk 15.192.300 penduduknya. Bilatiap orang kebutuhan berasnya 110/kg per tahun maka jumlah itu semestinya cukup karena sisa beras untuk Jakarta. Namun kenyataannya Jakarta yang penduduknya tiga juta jiwa lebih banyak mengambil beras untuk jatah Jawa Barat. Jadi sebetulnya Jawa Barat mensubsidi Jakarta.

Krisis beras yang terberat di Jawa Barat terjadi di Kabupaten Purwakarta. Bahkan 14.585 penduduk disebutkan positif menderita busung lapar. Panglima Siliwangi Kosasih memerintahkan untuk mengerahkan bahan makanan yang dianggap bisa mencegah kelaparan, selain beras juga ketela pohon, serta menir (semacam beras). Bantuan beras juga disebutkan didatangkan dari Mesir, sebanyak 6 ribu ton untuk Jawa Barat, namun terlambat karena kesulitan transportasi dan karung yang mudah jebol (Pikiran Rakjat, 13 Maret 1958).

Masalah beras hanya awalrentetan masalah ekonomi yang muncul di akhir dekade 1950-an. Hatta pada pertengahan Januari 1958 untuk anggota-anggota Pusat Koperasi Pegawai Negeri menyebutkan bahwa semakin hari nilai uang indoensia semakin merosot dan kehidupan pegawai negeri semakin sulit. Hanya dengan tolong-menolong dalam koperasi bisa memperbaiki kehidupan yang sulit (Pikiran Rakjat, 16 Januari 1958).

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun