Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bandung 1958 (2) Sikap terhadap “Proklamasi” PRRI di Sumatera dan Krisis Beras

12 Mei 2015   13:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:07 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rp8,25

Rp8,50

Rp9

Rp9,50

Beras Tumbuk III

Rp8

Rp8

Rp8,50

Rp9

Diolah dari Pikiran Rakjat Maret 1958

Beberapa penyebab kenaikan harga beras yang begitu mencolok antara lain membanjirnya para pembeli dari luar kota Bandung dengan daya beli lebih kuat. Mereka mampu membayar beras sesuai dengan kehendak pedagang. Sementara suplai beras ke kota Bandung tidak sesuai dengan permintaan.Janji dari pemerintah bahwa kota akan dipasok beras tinggal janji. Misalnyajanji bahwa Bandung mendapatkan 60 ton beras hingga memasukipertengahan Maret 1958 tinggal janji (Pikiran Rakjat,11 Maret 1958).

Di Ibukota Jakarta yang kebutuhan berasnya lebih besar juga tak kalah buruknya.Beras yang harga eceran terendah tidak ada lagi yang di bawah Rp9 hingga pertengahan Maret 1958.Beras di pasar Kota dan Jatingeara, Tanabang bahkan dilaporkan kosong. Kalau pun ada cepat habis diserbu pembeli.Toko emas juga diserbu karena yang mempunyai emas ramai-ramai menjual emasnya. Toko emas tidak lagi menerima pesanan. Harga emas per gram untuk 24 karat berkisar Rp77 bagi yang membeli, namun bila dijual ke toko emas harganya Rp67/gram.Sementara emas 22 karat dijual Rp68 per gramnya dan ketika toko emas membeli harganya hanya Rp61/gram (Pikiran Rakjat 13 Maret 1958).

Pada Minggu 16 Maret 1958 Presiden Soekarno dan Rasuna Said berbicara di Lapangan Tegallega untuk menggalang dukungan melawan ultimatum dan prokkalamsi kelompok PRRI di Sumatera.Rapat itu dihadiri oleh Panglima Siliwangi R.A Kosasih, Gubernur Jawa Barat Ipik Gandamana. Soekarno jelas menolak ultimatum itu yang dianggapnya sebagai perbuatan para petualang dan bukan kehendak rakyat Minangkabau.“Biar mereka mati digiling tenaga rakyat,” kata Soekarno. Namun Ketika Soekarno menyerukan : Assalamulaikum, rakyat yang di Tegallega berjumlah sekitar 100 ribu tidak terdengar keras menjawabnya. “Kurang keras,” kata Soekarno.Kepala Jawatan Pertanian Jawa Barat Sujudmempelesetkannya menjadi Kurang Beras. (Pikiran Rakjat, 17 Maret 1958)

Produksi beras di Jawa Barat sebetulnya pada 1957 mencapai 18.126 ton.Jawa Barat sendiri memakai 16.711,5 ton untuk 15.192.300 penduduknya. Bilatiap orang kebutuhan berasnya 110/kg per tahun maka jumlah itu semestinya cukup karena sisa beras untuk Jakarta. Namun kenyataannya Jakarta yang penduduknya tiga juta jiwa lebih banyak mengambil beras untuk jatah Jawa Barat. Jadi sebetulnya Jawa Barat mensubsidi Jakarta.

Krisis beras yang terberat di Jawa Barat terjadi di Kabupaten Purwakarta. Bahkan 14.585 penduduk disebutkan positif menderita busung lapar. Panglima Siliwangi Kosasih memerintahkan untuk mengerahkan bahan makanan yang dianggap bisa mencegah kelaparan, selain beras juga ketela pohon, serta menir (semacam beras). Bantuan beras juga disebutkan didatangkan dari Mesir, sebanyak 6 ribu ton untuk Jawa Barat, namun terlambat karena kesulitan transportasi dan karung yang mudah jebol (Pikiran Rakjat, 13 Maret 1958).

Masalah beras hanya awalrentetan masalah ekonomi yang muncul di akhir dekade 1950-an. Hatta pada pertengahan Januari 1958 untuk anggota-anggota Pusat Koperasi Pegawai Negeri menyebutkan bahwa semakin hari nilai uang indoensia semakin merosot dan kehidupan pegawai negeri semakin sulit. Hanya dengan tolong-menolong dalam koperasi bisa memperbaiki kehidupan yang sulit (Pikiran Rakjat, 16 Januari 1958).

Irvan Sjafari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun