Siang itu, saat keadaan grup kelas sedang damai sentausa, tetiba Pak Guru memberi kabar tentang adanya penyusup-penyusup ilegal yang masuk di kelas angkatan baru. Kelas ini menggunakan grup telegram. Para penyusup tersebut bisa masuk lewat link undangan yang dibagikan seorang teman mereka, yang mendaftar secara resmi. Jadi, sang teman tadi berperan sebagai penyelundup.
(btw, saya dan teman-teman segrup adalah murid kelas menulis online asuhan Raden Kanjeng Iqbal Aji Daryono -selanjutnya disebut IAD- yang tersohor itu. Kami termasuk angkatan 3, tepatnya kelas 3A.)
Sontak, kabar itu membuat beberapa anggota grup bermazhab IAD garis keras meradang. Kok berani-beraninya ada penyusup masuk kelas tanpa bayar, tanpa  izin, tanpa rasa bersalah, dan yang terpenting, tanpa malu.
Ada juga emak-emak di grup kami yang langsung melakukan investigasi menyeluruh di medsos. Ia menyisir tiap terduga yang dicurigai ambil bagian dalam kesepakatan jahat ini. Berbekal jejak digital dan kemampuan olah data yang mumpuni, emak-emak ini berhasil mengidentifikasi akun medsos si penyelundup dan para penyusup.
(Saya curiga, emak-emak ini adalah anggota tim cyber Bravo yang sangat disegani semasa Pilpres 2014)
Setelah ditemukan, didapati ternyata para pelaku masih berusia sangat muda. Putra dan putri dari orang tua yang sangat membanggakannya. Akhirnya, timbullah rasa iba, menggantikan rasa kesal di dada.
Singkat cerita, para penyusup itu sudah di kick dari grup telegram kelas menulis online. Ah, betapa baik Pak Guru kita, penuh welas asih dan panjang sabar.
Kembali ke masalah penyusupan dan penyelundupan, kok bisa ya, ada orang yang melakukan perbuatan  seperti itu? Apa penyebab mereka melakukan perbuatan tak terpuji tersebut? Apakah mereka melakukannya secara spontan saja? Ataukah dengan terstruktur, masif dan terencana?
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk memahami logika para pelaku. Bukan etika lho ya, kalau bicara etika, ya sudah pasti jawabannya : perbuatan mereka tak beretika. Titik.
Dengan menjunjung asas praduga tak bersalah, serta menimbang berbagai kemungkinan, bisa jadi inilah alasan-alasan logis di balik aksi penyelundupan itu:
1. Para pelaku adalah korban terdampak pandemi virus corona
Menurut info yang beredar dari emak-emak tim cyber, para pelaku itu kemungkinan masih berstatus sebagai mahasiswa. Bila dihubungkan dengan masa pandemi corona yang sedang terjadi, hal tersebut menyebabkan uang bulanan para mahasiswa menipis.
Maka, sangat logis jika mereka melakukan berbagai macam cara untuk mendapat ilmu, secara gratis. Iya lah, ga ada uang untuk bayar, gimana dong? Yang salah siapa? Ya salah Pemerintah tak memberi bantuan. Eh.
2. Para pelaku adalah tim kajian kepenulisan online Indonesia
Nama besar serta tingkat kepengaruhan yang tinggi dari IAD tentu menjadi magnet bagi siapapun yang bergelut di dunia kepenulisan online. Bagaimana tidak, nama IAD sudah berkibar di hampir semua media online di Indonesia.
Dimungkinkan, para mahasiswa ini tergabung dalam tim kajian kepenulisan online Indonesia. Dengan niat berlipat tapi bondo kepepet, mereka memilih jalan ninja dengan menyelundup.
Tentu saja, mereka bukan tim kajian agama, karena kalau iya, pastllah mereka tidak akan berani menyusup, takut dilaknat di akhirat.
3. Para pelaku tergabung dalam satu tim di Mobile Legend
Menilik dari usia yang masih kinyis2, kita dapat berspekulasi bahwa para penyelundup ini tergabung dalam satu tim di Mobile Legend. Ada yang berperan sebagai tank, ada yang menjadi assasin, lalu mage, fighter, marksman, dan support.
Kebiasaan bermain bersama dan berbagi peran ini rupa-rupanya terintegrasi juga di dunia nyata. Kalau ada tugas kuliah, ada yang bagian nyatet soal, cari jawaban, ngetik, ngumpulin, dan... copy paste.
Nah, di kasus penyelundupan ini, tentu ada yang berperan sebagai pendaftar, pembayar, penyelundup, penyusup dan...tukang ngompori.
Sayangnya, dunia game ya ga bisa disamain dengan dunia nyata lah, dek.
4. Mereka sedang berencana bikin startup portal menulis/berita
Mungkin, akibat terinspirasi dari Bill Gates dan Paul Allen yang membesut Windows, atau Steve Jobs dan Steve Wozniak yang menciptakan Apple, para mahasiswa ini ingin membangun portal menulis atau portal berita.
Portal ini akan menyaingi portal mapan semacam Detik, Viva, Okezone dan.... Mojok tentunya.
Kalau dulu Bill Gates dan kawan-kawan mengerjakan Windows di garasi, maka kawanan imut dedek-dedek nekat ini menempuh jalan prihatin dengan masuk grup telegram secara ilegal.
Bayangkan, kalau nanti mereka sudah berhasil, mereka dapat menceritakan sejarah yang sangat epic di autobiografi masing-masing.
Adalah tugas kita bersama untuk mencerdaskan bangsa. Namun, dalam upaya itu, para penyelenggara juga membutuhkan dana yang tak sedikit. Kelas Menulis Online pun demikian.
Di antara sekian banyak kelas yang ada Indonesia, tarif kelas yang saya ikut tergolong sangat manusiawi. Bagaimana tidak? Dengan biaya 300an, kita dibimbing dari nul puthul, selama 8 kali pertemuan, dengan durasi 2 bulan. Sudah begitu, masukan dari Pak Guru sangat konstruktif dan tepat sasaran. Ini kelas angkatan saya lho ya. Entah kelas yang lain. Hehehe
Secara hitungan kapitalis, bila satu kali saja tulisan kita lolos ke media, semisal, ehm, esai Mojok, maka fee dari tulisan itu hampir dapat menutup biaya pendaftaran yang sudah kita keluarkan.
Oya, di sini saya tegaskan bahwa saya bukan agen suatu kelas menulis online.
Banyak manfaat yang bisa didapatkan lewat kelas semacam ini. Dan untuk mendapatkan manfaat maksimal itu, ya bayar lah..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H