"Ibu sedang sakit, sekarang terbaring lemah di rumah sakit"
suara di ujung telepon dari salah seorang saudaraku, membuatku terkejut menerima kabar yang datangnya tiba-tiba. Bagaimana ini? Aku harus pulang sekarang atau kuselesaikan tugasku dulu, karena tanggung jawabku ini tak dapat dilimpahkan begitu saja ke orang lain. Sementara hati dan perasaanku dalam kebimbangan, aku mencoba menghubungi kembali saudaraku untuk sekedar menanyakan perkembangan kesehatan Ibu saat ini. Khawatir!
"Cukup parah, karena sudah lima labu (kantong) darah yang diinfus ke dalam tubuh serta beberapa labu makanan dan vitamin, tapi sebaiknya selesaikan saja dulu tugas-tugasmu setelah itu terserah kamu".
Begitulah ucapan saudaraku mengakhiri pembicaraan melalui telepon seluler dari seberang. Insiden ini membuatku tak mampu berbuat apa-apa, karena ibu bagiku adalah segala-galanya. Beliau banyak memberiku penguat (motivasi) dalam menjalani profesi sebagai seorang guru di negeri rantau. Karena menurutnya guru adalah, " digugu lan ditiru", suatu ketika beliau menasehati aku. Sekalipun aku telah menjadi seorang guru dewasa, Ibu selalu memberikan bimbingannya kepadaku, agar senantiasa berbuat baik kepada siapa dan di mana saja. Â
Dilihat dari usia orang tuaku (Ibu) yang telah mencapai 82 (delapan puluh dua) tahun, tentunya di usia senja itu wajarlah kalau beliau sering sakit-sakitan. Apalagi di musim dingin Ibu kerap kali mengalami batuk-batuk kecil yang mengganggu tidurnya. Semasa muda dulu beliau seorang wanita yang selalu sibuk, sehingga di hari tuanya mengalami sedikit gangguan pada punggungnya. Disisi lain beliau tidak betah berdiam diri, artinya selalu saja ada yang ingin dikerjakan, entah itu sekedar membuat kue, memasak makanan, atau menata kembali perabot rumah tangga yang menjadi kebanggaannya tersendiri. Oleh karena itu di usianya yang telah senja, masih tampak guratan keinginan yang terpendam dan terpahat di wajahnya. Meski nafasnya kadang tersengal, walau langkahnya kadang gemetar beliau tetap tabah dan setia. Semasa belum menikah dahulu beliau pernah ikut mencerdaskan anak negeri sebagai seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar.
Hari Rabu, 4 Juli 2012 pukul 11.30 WIB, aku bergegas meninggalkan Singosari Malang menuju Surabaya (Bandara Juanda), sampai di Bandara kurang lebih pukul 14.00 WIB, tetapi aku belum memiliki selembar tiket pesawat yang akan membawaku terbang. Kudatangi salah satu loket tempat penjualan tiket,
"Mbak, tiket untuk penerbangan ke BIL (Bandara Internasional Lombok) apakah masih ada untuk hari ini", tanyaku penuh harap.
"Mohon maaf pak, untuk hari ini tiket sudah habis terjual", kata petugas dengan ramah. Mateng aku! apa yang harus aku lakukan? kembali ke Singosari Malang itu tak mungkin. Bagaimanapun caranya aku harus bisa sampai di rumah. Jangan sampai nantinya aku akan menyesal seumur hidup.
Untuk menetralkan rasa kesal kecewa, kubakar sebatang rokok lalu mengisapnya dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Di antara kepulan asap yang membumbung tinggi aku berandai-andai, semoga saja ada orang yang dapat membantuku. Pucuk dicinta ulam pun tiba, seorang petugas bandara datang menghampiriku dan menyapa,
"Bapak mau ke mana"? tanyanya dengan sopan.
"Saya mau ke BIL", jawabku pelan nyaris tak terdengar.