"Apa Bapak sudah punya tiket"?, tanyanya kemudian.
"Belum" jawabku singkat, seraya menawarkan sebatang rokok.
"Tunggu sebentar pak, tadi ada seorang penumpang yang membatalkan keberangkatannya ke BIL, mungkin bisa digantikan", kata petugas itu lalu pergi membaur di kerumunan orang.
Alhamdulillah, semoga saja (rezeki) ini, dapat memberiku secuil harapan untuk segera pulang menjenguk orang tuaku yang sedang sakit. Tak beberapa lama kemudian, petugas tersebut datang lalu berkata,
"Ada Pak tapi harganya agak mahal, kalau Bapak berminat akan saya ambilkan".
"Harganya berapa"? tanyaku tak sabar.
"Rp.1.500.000 (satu juta lima ratus), dan berangkat sebentar lagi pukul 16.30WIB", kata petugas itu dengan senyum kemenangan.
"Wow!... mahal banget cak, apa enggak bisa kurang dikit", ucapku mencoba negosiasi.
Pada hari-hari biasa harga tiket pesawat terbang dari Juanda ke BIL hanya sekitar Rp.600.000 s/d Rp.700.000. Kebetulan pada hari keberangkatanku merupakan hari permulaan liburan Sekolah. Sudah biasa dan menjadi budaya, ketika menjelang hari libur harga tiket pesawat pasti melambung hingga 100% bahkan lebih. Dari hasil negosiasi kami sepakat, harga tiket menjadi Rp. 1.350.000 (satu juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah). Tiket telah kudapat dan secepatnya melangkah menuju ruang tunggu di lantai dua, karena tak lama lagi pesawat akan segera lepas landas. Tak lama terdengar panggilan dari sebuah pengeras suara di sudut ruang, mengajak para penumpang untuk segera naik ke pesawat.
Perjalanan pulang dengan pesawat memang lebih efektif, hanya kurang lebih 1 (satu) jam sudah sampai di Lombok (NTB). Kalau menggunakan Bus (lewat darat) kurang lebih 18 (delapan belas) jam perjalanan yang kadang kala menjenuhkan. Tak terasa sudah tiga puluh menit berlalu, aku dan penumpang lain berada di ketinggian, hanya hamparan langit biru dan awan tipis dapat kulihat melalui jendela kaca di sampingku. Hilir mudik Pramugari menawarkan sesuatu kepada para penumpang dengan ramah dan senyuman khasnya.Â
Lima puluh menit kemudian temaram senja membiaskan warna jingga menghiasi langit sore, lampu-lampu di tepian pantai dan danau (Bendungan Batujai) berkelap-kelip, menghampar pemandangan yang indah dan memukau, seolah-olah menyambut kedatangan kami. Kurang lebih pukul, 18.30 WITA (waktu Indonesia bagian tengah), pesawat mendarat, aku segera turun menuju pintu keluar untuk mencari taksi.Â
Tiba di Kota Selong tempat kediaman orang tuaku (Jl. Prof. M. Yamin) kira-kira jam 19.30 WITA, kurasakan suasana begitu lengang, dengan hati berdebar-debar kuucapkan salam, terdengar sayup-sayup balasan dari dalam dan pintu depan terbuka pelan. Lega rasanya sampai di rumah dapat berkumpul kembali bersama orang tua dan seluruh saudara-saudaraku, walaupun masih terasa letih, namun kini berubah menjadi keceriaan di tengah orang-orang yang kucintai. Cukup lama aku tak menjenguk orang tuaku, ketika kali terakhir aku pulang Ibu masih tampak sehat dan segar bugar. Kini Beliau terkulai lemah di pembaringan, keriput tulang pipinya dan pucat pasi wajahnya menahan rasa sakit dari penyakit yang dideritanya. Dokter menyarankan (dengan kesepakatan dan alasan tertentu), sebaiknya Ibu dirawat di rumah saja sambil berobat jalan.