Mohon tunggu...
June
June Mohon Tunggu... Freelancer - nggak banyak yang tahu, tapi ya nulis aja

Pengamat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konflik "A" dan Globalisasi di Indonesia

2 November 2019   12:48 Diperbarui: 5 November 2019   14:51 3945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: davidmmasters.com

Bacaan ini membicarakan mengenai konflik agama yang terjadi di Indonesia. Dalam bacaan ini tak hanya memaparkan konflik agama semata, namun juga ada konflik etnis dan ekonomi di dalamnya. 

Kekerasan yang menyeret agama, etnis, ekonomi, serta kaitannya dengan kelompok-kelompok tertentu yang bermain tangan dan bisa disebut sebagai penanggung jawab atas konflik yang terjadi. 

Dalam bacaan ini juga dimuat bahwa ada dugaan bahwa konflik agama dan etnis yang terjadi di Indonesia sebagai permaianan dari kelompok elit tersebut. 

Agama dianggap sebagai penyebab konflik utama (yang paling sering menyebabkan) di Indonesia. Mulai dari awal pembentukan negara ini, perdebatan asas negara ini sudah dibuka dengan perdebatan apakah asasnya ialah negara Islam, atau negara yang berlandaskann pada "The One True God". 

Konflik seperti ini senantiasa tidak pernah absen dari beberapa pembabakan masa, mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi (bahkan mungkin setelah masa Reformasi konflik semacam ini langgeng di Indonesia). 

Masa yang paling tampak mendapat "kutukan" adalah masa Orde Baru. Pada awal pembentukkannya dan berakhirnya masa Orde Baru terjadi pecahnya konflik horizontal dan vertikal. Konflik ini dimainkan oleh aktor-aktor elit. 

Konflik yang terjadi merupakan permainan politik, dengan memajang konflik horizontal seperti agama dan etnis yang dicurigai sebagai kabutnya. Sepanjang masa Orde Baru dipenuhi dengan konflik-konflik dan kekerasan hinggan kejahatan kemanusiaan.

Konflik agama yang terjadi di Ambon antara orang-orang yang beragama Islam dengan orang-orang yang beragama Kristen mendapat campur tangan elit di dalamnya. 

Konflik horizontal yang sensitif ini menyisakan ketegangan bahkan paska konflik, bisa dikatakan bahwa masih ada konflik dingin yang tertanam kuat dalam diri korban kekerasan yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Trauma tersebut juga direproduksi ke kerabat dan keluarga, sehingga tetap menyisakan sensitifitas horizontal.

Dugaan bahwa agama dan etnis menjadi "kambing hitam" dari kelompok elit untuk menggiring atensi masyarakat agar menaruh atensi pada kekerasan horizontal tersebut, dan melepaskan atensi dari apa yang aktor-aktor tersebut coba untuk lindungi. 

Aktor-aktor ini paham bahwa agama dan etnis merupakan hal yang paling mudah dibenturkan, dan paling mudah untuk menarik fokus masyarakat untuk terlibat di dalamnya.

Sensitifitas masyarakat Indonesia juga dibangun terhadap kelompok masyarakat Cina-Indonesia. Ditambah bahwa orang Cina-Indonesia dominan beragama Kristen semakin menambah efek kebencian dan konflik hozintal ini. 

Penindasan terhadap orang Cina-Indonesia yang terjadi pada gejolak Indonesia di masa kerusuhan besar 1998 menjadi salah satu peristiwa memilukan bagi peri kemanusiaan.

Berbagai bentuk kekerasan kolektif terjadi pada masyarakat Cina-Indonesia, seperti pemerkosaan terhadap wanita Cina, penjarahan dan pembunuhan tak terelakan. 

Konflik tak hanya terjadi pada kelompok yang berlainan, pihak satu kelompok yang sama juga turut mendapatkan perlakuan yang sama seperti yang diberikan kepada kelompok yang berbeda yang sedang berkonflik bila anggota kelompoknya terindikasi netral, tidak mendukung aksi kelompoknya, ataupun berpihak kepada kelompok lain.

Kekerasan kolektif yang terjadi di Indonesia memancing perhatian dunia. Berbagai kelompok etnis Cina di luar negeri dan kelompok orang-orang Kristen bersuara mengecam kekerasan yang terjadi pada orang Cina-Indonesia dan Kristen di Indonesia. 

Sebuah kasus pemerkosaan terhadap wanita Cina yang dilakukan oleh orang-orang yang berteriak "(seruan bernada agamis)" membuat trauma masyarakat Cina-Indonesia dan orang-orang Kristen terhadap agama dominan, sisa-sisa persitiwa ini meninggalkan kebencian antar kelompok horizontal.

Kelompok elit dicurigai sebagai aktor yang menunggangi peristiwa-peristiwa berdarah yang terjadi. Kelompok elit tidak tampak melakukan usaha mendukung keamanan. Indonesia tidak lagi dianggap aman oleh mereka yang mengalami kekerasan kolektif ini. 

Kebanyakan memilih langsung pergi meninggalkan harta benda, dan migrasi ke negara lain. Beberapa kembali untuk tetap menjaga harta benda, lalu mengasingkan diri. Beberapa kembali untuk mengambil harta benda lalu pergi. Kepercayaan terhadap suatu kelompok elit meluntur. 

Beberapa aktor penting disinyalir terlibat dan bermain dalam konflik-konflik tersebut. Ada asumsi bahwa terdapat satu aktor yang memanajemen kerusuhan 1998 untuk mengalihkan kemarahan rakyat terhadap Soeharto, dan kemarahan tersebut diarahkan kepada masyarakat Cina-Indonesia dengan membuat sensi terhadap orang Cina.

Refleksi

Agama dan etnis merupakan bagian yang sensitif yang bila dibenturkan dapat menyebabkan konflik horizontal. Paham terhadap sekitar dan skeptis menjadi pertahanan awal agar tidak ikut dalam arus permainan. 

Memudarkan trauma yang menyebabkan prasangka buruk terhadap kelompok yang pernah berkonflik dapat memperbaiki hubungan yang buruk untuk membaik. Indonesia merupakan negara yang majemuk. 

Keberagaman yang katanya merupakan membuat negara ini menjadi negara yang besar juga dapat menjadi bumerang karena keberagamannya itu.

Ada dua kelompok, yakni kelompok elit dan kelompok buta (kurang literasi, percaya dini) yang berpotensi membuat kekacauan. Kelompok jenius yang memiliki kepentingan khusus dapat memakai dan menciptakan konflik horizontal, yang kemudian disambut dengan berapi-api oleh kelompok buta. 

Bacaan ini secara tegas merepetisi bahwa konflik horizontal berbau SARA gampang tersulut, dan SARA ini yang terkadang dijadikan oleh sekelompok orang sebagai bahan rekayasa dan penciptaan konflik, baik itu untuk mengalihkan isu, ataupun memecahkan kelompok yang punya potensi menghalang tujuan dari kelompok elit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun