Mereka lebih mementingkan efisiensi dibandingkan sekadar mengejar kenyamanan atau tren. Halah, bilang aja ngirit! Wkwkwk.
Kelekatan
Akrab! Inilah yang terasa hilang saat saya berada di barbershop. Dibandingkan barbershop, tukang cukur tradisional terasa lebih “ngakrab” dan, tentu saja, lebih murah. Hal ini lah yang membuat tumbuhnya emotional attachment pada tukang cukur tradisional.
Wajar sih kalau tukang cukur tradisional lebih akrab. Keakraban ini adalah salah satu hal yang akan diingat oleh pelanggan. Bukan soal seberapa premium fitur pelayanan yang ditawarkan, tetapi saya dan banyak teman lain menganggap keakraban sebagai hal penting yang membuat kami terus kembali untuk mencukur rambut.
Ada rasa memiliki yang mendalam dari tukang cukur tradisional. Mereka bekerja dengan senang hati, bahagia, dan penuh keramahan, sehingga menciptakan suasana yang menyenangkan bagi pelanggan.
Selain itu, jasanya pun lebih murah karena mereka bekerja untuk diri mereka sendiri. Berbeda dengan barbershop yang harus menggaji karyawan, perbedaan ini tentu berimbas pada harga jasa pangkas rambutnya.
Sebenarnya, yang pertama kali merekomendasikan barbershop kepada saya adalah murid-murid di sekolah. Mereka bilang, “Mantap, Pak, potong di barbershop itu! Adem dan nyaman, Pak.”
Namun, tidak lama setelah itu, mereka juga yang merekomendasikan tukang cukur tradisional, yang akhirnya menjadi langganan saya.
Mereka bilang, “Lebih murah, Pak. Orangnya ramah, potongannya bagus.” Saya pun mencoba, dan ternyata benar sesuai dengan yang mereka katakan. Meski tukang cukur tradisional, hasil potongannya sama saja dengan barbershop.
Akhirnya, rekomendasi mereka membuat saya jadi pelanggan tetap tukang cukur tradisional. Selain hasil potongannya yang memuaskan, hal yang paling “menjual” adalah akrab atau kelekatan mereka terhadap pelanggan. Kelekatan inilah yang membuat saya terjebak dalam customer loyalty.
Tukang Cukur VS Barbershop