Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Angkot dan Dinosaurus

17 Januari 2025   11:30 Diperbarui: 17 Januari 2025   22:50 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Angkot (KOMPAS/RADITYA HELABUMI) 

Kota Metro, pernah bergantung pada angkot sebagai moda transportasi utama. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, angkot menjadi saksi bisu perjalanan warga, mulai dari anak sekolah hingga pekerja kantoran. Namun, seiring berjalannya waktu, angkot perlahan menghilang, meninggalkan ruang kosong yang kini diisi kendaraan pribadi.  

Metro, kota kecil di Lampung, dulunya bergantung pada angkot sebagai satu-satunya transportasi publik. Namun, nasib angkot kini bisa dibilang sama seperti dinosaurus, punah, hehe. Tidak ada lagi angkot yang berseliweran di jalan-jalan besar kota Metro.

Dulu, angkot menjadi satu-satunya moda transportasi publik yang setia mengantarkan penduduk kota Metro untuk beraktivitas setiap hari.

Saya pernah menulis tentang betapa lengkapnya kota Metro sehingga sangat cocok untuk slow living. Penduduk Metro, dari berbagai tingkatan usia, mayoritas menjalankan aktivitasnya hanya di dalam kota.

Baik bekerja maupun bersekolah, semuanya dilakukan di Metro. Dengan jarak tempuh yang relatif dekat, tidak lebih dari 15 kilometer dari ujung ke ujung transportasi publik yang tersedia saat itu ya hanya angkot.

Kalah dengan Kendaraan Pribadi

Di kota Metro, transportasi publik perlahan tapi pasti akhirnya punah. Saya masih ingat, sekitar tahun 2004, untuk menempuh jarak 3 kilometer saja bisa menghabiskan waktu hingga satu jam. 

Bukan karena macet, lo, tapi karena angkot yang sering ngetem atau parkir lama menunggu penumpang di terminal.

Kadang saya berpikir, "Ah, jalan kaki saja," toh jaraknya hanya 3 kilometer dari terminal ke rumah. Kalau memang sedang buru-buru, saya lebih memilih berjalan kaki daripada menunggu angkot yang tak kunjung jalan.

Pada era 90-an hingga awal 2000-an, angkot sempat menjadi primadona di kota Metro. Animo masyarakat untuk menggunakan angkot masih tinggi. Dulu, angkot bahkan menjadi simbol gaya hidup anak-anak sekolah. Naik angkot berarti anak gaul!

Pilihan transportasi saat itu hanya tiga, naik sepeda, jalan kaki, atau naik angkot. Naik motor? Mana ada. Karena itulah, angkot dianggap keren. Pemilik angkot bahkan memodifikasi kendaraan mereka agar menarik perhatian anak-anak muda.

Saya masih ingat bagaimana teman-teman saya dulu pilih-pilih angkot. Mereka menolak naik angkot yang tidak ada musiknya atau terlihat jelek. 

Akibatnya, angkot-angkot yang penuh variasi dengan stiker mencolok dan musik yang menggelegar selalu laris manis. Bahkan, anak-anak rela bergantungan di pintu angkot demi tampil keren.

Sayangnya, masa kejayaan angkot kini tinggal kenangan. Banyak angkot yang kini terparkir tanpa digunakan, karena sudah tidak beroperasi lagi. Trayek-trayek angkot tutup satu per satu, sebab jalur yang mereka lintasi sudah tidak seramai dulu.

Sejak awal 2000-an, angkot mulai tergeser oleh motor. Kehadiran motor-motor impor dari China pada akhir 90-an hingga awal 2000-an membawa perubahan besar. 

Motor-motor ini dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan motor Jepang. Dengan skema kredit dan uang muka rendah, motor-motor ini menjadi pilihan utama masyarakat, termasuk keluarga menengah ke bawah.

Kini, situasinya semakin jelas, hampir setiap keluarga memiliki motor atau bahkan mobil. Angkot, yang dulu menjadi satu-satunya transportasi publik andalan, akhirnya bernasib seperti dinosaurus, punah!

Gak Fleksibel, Gak Nyaman

Tulisan ini saya buat sebagai kenangan sekaligus evaluasi bersama untuk layanan transportasi publik yang ada saat ini.

Fleksibilitas dan kenyamanan adalah dua faktor utama yang akan membuat transportasi publik tetap diminati oleh masyarakat. Sayangnya, angkot di kota Metro meski pernah menjadi satu-satunya transportasi publik, akhirnya terdegradasi meskipun tanpa pesaing.

Menurut saya, punahnya angkot di kota Metro terjadi karena kurang fleksibel dan tidak memperhatikan kenyamanan penumpang. Akibatnya, seperti yang kita lihat sekarang, angkot benar-benar lenyap dari jalanan Metro.

Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, untuk perjalanan dari terminal ke rumah yang hanya berjarak 3 kilometer, kadang saya harus menghabiskan waktu satu jam. Penyebabnya? Sopir angkot lebih memilih menunggu kursi penumpang penuh dulu sebelum berangkat.

Selain itu, banyak penumpang harus menunggu berjam-jam di pinggir jalan tanpa kepastian kapan angkot akan lewat. Situasi ini tentu sangat tidak ideal.

Naik angkot dulu juga seperti masuk kamar sauna. Keringat bercucuran deras karena minimnya sirkulasi udara, ditambah sesaknya penumpang yang berdesak-desakan. Kombinasi ini benar-benar membuat pengalaman naik angkot jauh dari nyaman.

Sudah harus menghadapi bau keringat dari berbagai penumpang, panas, menunggu lama, masih ditambah lagi dengan “bonus” suara musik dari speaker angkot. 

Biasanya, speaker ini diletakkan di bawah kaki penumpang di samping sopir atau di kursi belakang. Sensasinya? Ketidaknyamanan yang luar biasa! Oh iya, ditambah lagi dengan pengharum ruangan yang menggantung di kokpit, membuat suasana jadi double tidak nyaman.

Melihat kondisi seperti ini, wajar jika masyarakat kemudian beralih ke kendaraan pribadi. Selain lebih fleksibel, kendaraan pribadi juga menawarkan kenyamanan dan rasa aman yang tidak bisa diberikan angkot.

Perbaikan Bersama

Sebenarnya, kota Metro memiliki potensi besar untuk menghidupkan kembali transportasi publik. Terlebih di era saat ini, ketika kita gencar mengampanyekan kehidupan berkelanjutan.

Hilangnya angkot sebagai transportasi publik di kota Metro tentu diimbangi dengan meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi. Jika dulu 16 orang cukup menumpang satu angkot, kini 16 orang menggunakan 16 motor atau bahkan 16 mobil.

Kondisi ini tidak hanya memicu kemacetan, tetapi juga meningkatkan emisi gas buang dari kendaraan bermotor yang mencemari lingkungan.

Penduduk kota Metro tidak serta-merta meninggalkan angkot tanpa alasan. Beberapa faktor seperti kurangnya fleksibilitas, kenyamanan, dan keamanan perlu menjadi perhatian bersama.

Jika pemerintah berniat menggalakkan kembali penggunaan transportasi publik di Metro, tentunya hal-hal tersebut harus menjadi prioritas utama.

Kota Metro, dengan trayek yang tidak terlalu panjang, sebenarnya memiliki keunggulan aksesibilitas. Berbagai jalur bisa dilalui dengan mudah dan waktu tempuh yang relatif singkat.

Namun, menghidupkan kembali transportasi publik bukanlah tugas yang mudah. Ada banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah jika ingin mewujudkan upaya ini sebagai langkah strategis untuk mengurangi pencemaran udara dan mendukung kehidupan berkelanjutan.

Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, termasuk di kota Metro, menjadi tantangan tersendiri. Bayangkan berapa banyak motor dan mobil yang akan memenuhi jalanan kota Metro di masa depan. Dampaknya tidak hanya terbatas pada kemacetan, tetapi juga lingkungan yang semakin tertekan.

Mungkin saat ini masyarakat dan pemerintah kota Metro belum menyadari urgensi ini. Namun, lambat laun, kemacetan dan polusi akibat hilangnya transportasi publik akan terasa semakin menyulitkan.

Sudah saatnya kita semua, termasuk pemerintah, berpikir jauh ke depan tentang masa depan anak-anak kita dan bumi yang kita huni. Jangan sampai anak-anak kita kelak menanggung akibat dari kelalaian yang tidak mereka lakukan.

Transportasi publik adalah langkah penting menuju kehidupan berkelanjutan. Namun, upaya ini harus dibangunkan kembali dari tidur panjangnya dengan perencanaan matang yang berbasis pada permasalahan nyata. Dengan begitu, transportasi publik tidak akan lagi punah seperti kisah dinosaurus, hehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun