Seperti yang pernah saya ceritakan sebelumnya, untuk perjalanan dari terminal ke rumah yang hanya berjarak 3 kilometer, kadang saya harus menghabiskan waktu satu jam. Penyebabnya? Sopir angkot lebih memilih menunggu kursi penumpang penuh dulu sebelum berangkat.
Selain itu, banyak penumpang harus menunggu berjam-jam di pinggir jalan tanpa kepastian kapan angkot akan lewat. Situasi ini tentu sangat tidak ideal.
Naik angkot dulu juga seperti masuk kamar sauna. Keringat bercucuran deras karena minimnya sirkulasi udara, ditambah sesaknya penumpang yang berdesak-desakan. Kombinasi ini benar-benar membuat pengalaman naik angkot jauh dari nyaman.
Sudah harus menghadapi bau keringat dari berbagai penumpang, panas, menunggu lama, masih ditambah lagi dengan “bonus” suara musik dari speaker angkot.
Biasanya, speaker ini diletakkan di bawah kaki penumpang di samping sopir atau di kursi belakang. Sensasinya? Ketidaknyamanan yang luar biasa! Oh iya, ditambah lagi dengan pengharum ruangan yang menggantung di kokpit, membuat suasana jadi double tidak nyaman.
Melihat kondisi seperti ini, wajar jika masyarakat kemudian beralih ke kendaraan pribadi. Selain lebih fleksibel, kendaraan pribadi juga menawarkan kenyamanan dan rasa aman yang tidak bisa diberikan angkot.
Perbaikan Bersama
Sebenarnya, kota Metro memiliki potensi besar untuk menghidupkan kembali transportasi publik. Terlebih di era saat ini, ketika kita gencar mengampanyekan kehidupan berkelanjutan.
Hilangnya angkot sebagai transportasi publik di kota Metro tentu diimbangi dengan meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi. Jika dulu 16 orang cukup menumpang satu angkot, kini 16 orang menggunakan 16 motor atau bahkan 16 mobil.
Kondisi ini tidak hanya memicu kemacetan, tetapi juga meningkatkan emisi gas buang dari kendaraan bermotor yang mencemari lingkungan.
Penduduk kota Metro tidak serta-merta meninggalkan angkot tanpa alasan. Beberapa faktor seperti kurangnya fleksibilitas, kenyamanan, dan keamanan perlu menjadi perhatian bersama.