Pilihan transportasi saat itu hanya tiga, naik sepeda, jalan kaki, atau naik angkot. Naik motor? Mana ada. Karena itulah, angkot dianggap keren. Pemilik angkot bahkan memodifikasi kendaraan mereka agar menarik perhatian anak-anak muda.
Saya masih ingat bagaimana teman-teman saya dulu pilih-pilih angkot. Mereka menolak naik angkot yang tidak ada musiknya atau terlihat jelek.Â
Akibatnya, angkot-angkot yang penuh variasi dengan stiker mencolok dan musik yang menggelegar selalu laris manis. Bahkan, anak-anak rela bergantungan di pintu angkot demi tampil keren.
Sayangnya, masa kejayaan angkot kini tinggal kenangan. Banyak angkot yang kini terparkir tanpa digunakan, karena sudah tidak beroperasi lagi. Trayek-trayek angkot tutup satu per satu, sebab jalur yang mereka lintasi sudah tidak seramai dulu.
Sejak awal 2000-an, angkot mulai tergeser oleh motor. Kehadiran motor-motor impor dari China pada akhir 90-an hingga awal 2000-an membawa perubahan besar.Â
Motor-motor ini dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan motor Jepang. Dengan skema kredit dan uang muka rendah, motor-motor ini menjadi pilihan utama masyarakat, termasuk keluarga menengah ke bawah.
Kini, situasinya semakin jelas, hampir setiap keluarga memiliki motor atau bahkan mobil. Angkot, yang dulu menjadi satu-satunya transportasi publik andalan, akhirnya bernasib seperti dinosaurus, punah!
Gak Fleksibel, Gak Nyaman
Tulisan ini saya buat sebagai kenangan sekaligus evaluasi bersama untuk layanan transportasi publik yang ada saat ini.
Fleksibilitas dan kenyamanan adalah dua faktor utama yang akan membuat transportasi publik tetap diminati oleh masyarakat. Sayangnya, angkot di kota Metro meski pernah menjadi satu-satunya transportasi publik, akhirnya terdegradasi meskipun tanpa pesaing.
Menurut saya, punahnya angkot di kota Metro terjadi karena kurang fleksibel dan tidak memperhatikan kenyamanan penumpang. Akibatnya, seperti yang kita lihat sekarang, angkot benar-benar lenyap dari jalanan Metro.