Seperti biasa, berdasarkan pengalaman, banyak masyarakat yang sebenarnya tidak benar-benar memahami peraturan yang akan diterapkan oleh pemerintah.
Ramai tentang kenaikan PPN 12% mengingatkan saya pada keramaian saat Permendikbud tentang penerimaan peserta didik baru diterbitkan.
Hal ini tentu menjadi celah bagi berbagai pihak untuk meraup keuntungan secara pribadi ataupun golongan. Artikel ini mencoba untuk mendudukkan persoalan kenaikan PPN 12% sesuai dengan perundangan yang berlaku.
Adanya pro dan kontra serta pemberitaan yang masif melalui media massa dikhawatirkan dapat membentuk opini publik yang, secara kolektif, justru membuat panik masyarakat. Dampaknya, harga berbagai kebutuhan pokok lainnya bisa ikut melambung.
Perlu Pengawasan Pemerintah
Percaya atau tidak, yang perlu kita bersama awasi pada kenaikan PPN 12% adalah latah para produsen/distributor yang memanfaatkan momen ini untuk menaikkan harga produk mereka.
Padahal, kenaikan PPN 12% ini hanya diperuntukkan bagi barang-barang tertentu, yakni barang mewah dan jasa premium.
Khusus untuk kebutuhan pokok dan jasa esensial, kenaikan PPN sebesar 12% tidak berlaku. Barang-barang seperti beras, jagung, sagu, sayur, buah, daging, gula, serta sektor pendidikan, kesehatan, dan angkutan umum konsumsi, dikecualikan dari PPN.
Sayangnya, kebiasaan masyarakat yang seringkali menerima informasi mentah-mentah tanpa melakukan literasi lebih lanjut sangat rentan dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk menjadikan momen kenaikan PPN 12% sebagai alasan untuk menaikkan harga barang dan jasa.
Maka, kewajiban pemerintah adalah untuk mengawasi para produsen/distributor agar harga tetap stabil pasca-kenaikan PPN 12%.
Apalagi dengan adanya pemberian stimulus daya beli masyarakat berupa fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1% untuk beberapa komoditas tertentu, konsumen hanya perlu membayar tarif PPN efektif sebesar 11% untuk barang-barang seperti minyak goreng kemasan, minyak kita, tepung terigu, dan gula.
Dengan demikian, seharusnya harga-harga di pasaran tidak naik, karena sebenarnya tidak ada kenaikan yang berdampak pada harga barang. Secara teoritis, untuk barang-barang DTP, tidak terjadi kenaikan PPN 12%. Dengan adanya fasilitas 1% ditanggung pemerintah, PPN tetap sebesar 11%, yakni sama dengan tarif PPN sebelum kenaikan.
Apalagi saat ini, sekitar 3,5 bulan lagi menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pemerintah perlu sangat ketat mengawasi rantai pasok barang-barang kebutuhan pokok bagi masyarakat.
Kenaikan PPN 12%, pergantian tahun, dan Hari Raya Idul Fitri, bisa saja dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk mengeruk keuntungan pribadi. Hal yang biasa terjadi adalah penimbunan barang, yang pada akhirnya mengakibatkan rantai pasok tersendat dan, ujung-ujungnya, membuat harga kebutuhan pokok meningkat.
Literasi Masyarakat
Kadang, saya melihat masyarakat kita terbiasa dengan hal-hal yang instan, yang tidak ribet, dan mudah dilakukan. Hal ini berdasarkan pengalaman saya selama beberapa tahun berkutat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas menjalankan peraturan sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Kebiasaan masyarakat kita adalah malas membaca, sehingga mereka berpotensi mudah dibodohi, bahkan juga mudah ditunggangi oleh berbagai kepentingan yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok.
Saran saya, sebelum kita ikut serta dalam aksi pro atau kontra terkait kenaikan PPN sebesar 12%, lebih baik kita melakukan literasi mendalam mengenai peraturan tersebut.
Jangan hanya bermodal "katanya-katanya". Narasi "katanya" ini bahkan baru saja saya dengar saat artikel ini sedang ditulis, ketika saya menonton sebuah wawancara di stasiun televisi swasta nasional di negeri kita.
Artinya, ada miskonsepsi antara pemerintah dan masyarakat. Gelombang pro dan kontra bisa saja berawal dari keresahan masyarakat yang menganggap kenaikan PPN 12% akan berdampak pada semua sektor, sehingga membuat masyarakat menengah ke bawah semakin terjepit. Padahal, kenaikan PPN sebesar 12% ini justru hanya menyasar kaum elit yang terbiasa menggunakan berbagai jasa dan produk premium.
Jadi, seharusnya masyarakat menengah ke bawah tidak perlu resah meskipun PPN naik sebesar 12%, karena kenaikan ini tidak menyasar pemenuhan kebutuhan mereka. Kaum menengah ke bawah, yang jumlahnya jauh lebih besar di negeri ini dibandingkan dengan kaum elit, seharusnya tidak terpengaruh.
Media Massa Mengawal
Media massa juga berkewajiban mengawal kebijakan pemerintah ini agar tepat sasaran dan tepat guna. Jangan sampai media-media kita justru "menggoreng" kenaikan PPN 12% ini menjadi konsumsi yang hanya mengejar rating tinggi.
Media massa memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai kenaikan PPN sebesar 12% ini, merujuk pada perundang-undangan yang berlaku.
Sebab, apa yang disampaikan oleh media massa dapat membentuk opini publik yang beredar di kalangan masyarakat. Tak heran jika pro dan kontra terhadap isu ini tetap ada, karena hingga saat ini, pemberitaan tentang berbagai kenaikan harga akibat kenaikan PPN 12% masih menjadi isu panas yang laris manis di mana-mana.
Tentunya, ini menjadi tanggung jawab moral bagi media massa untuk mencerdaskan masyarakat kita mengenai berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga tidak terjadi kegaduhan di masyarakat.
Harapan Besar
Sebagai masyarakat, saya berharap kenaikan PPN 12% ini dapat membawa kebaikan bagi bangsa kita. Semoga tidak berdampak buruk pada sektor manapun, dan tambahan pendapatan yang diperkirakan mencapai 70 triliun ini bisa dimanfaatkan pemerintah dengan efisien dan efektif.
Kenaikan PPN 12% juga harus diimbangi dengan semangat pemberantasan korupsi yang semakin menyala. Jangan sampai kenaikan PPN ini justru menambah penderitaan baru bagi bangsa kita akibat penyelewengan anggaran oleh oknum tertentu.
Pemerintah juga harus benar-benar menjaga stabilitas harga berbagai kebutuhan pokok masyarakat menengah ke bawah agar tetap stabil.
Memastikan tidak ada permainan harga pada berbagai level rantai pasok sehingga harga tetap stabil, seperti sebelum terjadi kenaikan PPN 12% ini.
Yang paling dikhawatirkan adalah reaksi psikologis masyarakat yang latah terhadap pemberitaan tentang kenaikan PPN 12% ini, sehingga secara kolektif mengerek harga berbagai kebutuhan pokok dengan alibi persiapan terhadap berbagai kenaikan harga.
Ini hampir sama dengan fenomena yang sering terjadi: "gaji pegawai naik, harga naik." Kadang, bahkan sebelum ada keputusan tentang kenaikan gaji, harga barang sudah naik terlebih dahulu.
Semoga kenaikan ini memberi manfaat lebih luas bagi bangsa dan negara kita, serta terlaksananya program pemerintah yang efisien dan efektif. Tentunya, pendapatan baru dari kenaikan PPN 12% ini tidak "bocor" seperti yang sudah biasa terjadi, baik karena penyelewengan maupun penggunaan anggaran yang kurang efektif dan efisien.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H