Apalagi dengan adanya pemberian stimulus daya beli masyarakat berupa fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1% untuk beberapa komoditas tertentu, konsumen hanya perlu membayar tarif PPN efektif sebesar 11% untuk barang-barang seperti minyak goreng kemasan, minyak kita, tepung terigu, dan gula.
Dengan demikian, seharusnya harga-harga di pasaran tidak naik, karena sebenarnya tidak ada kenaikan yang berdampak pada harga barang. Secara teoritis, untuk barang-barang DTP, tidak terjadi kenaikan PPN 12%. Dengan adanya fasilitas 1% ditanggung pemerintah, PPN tetap sebesar 11%, yakni sama dengan tarif PPN sebelum kenaikan.
Apalagi saat ini, sekitar 3,5 bulan lagi menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pemerintah perlu sangat ketat mengawasi rantai pasok barang-barang kebutuhan pokok bagi masyarakat.
Kenaikan PPN 12%, pergantian tahun, dan Hari Raya Idul Fitri, bisa saja dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk mengeruk keuntungan pribadi. Hal yang biasa terjadi adalah penimbunan barang, yang pada akhirnya mengakibatkan rantai pasok tersendat dan, ujung-ujungnya, membuat harga kebutuhan pokok meningkat.
Literasi Masyarakat
Kadang, saya melihat masyarakat kita terbiasa dengan hal-hal yang instan, yang tidak ribet, dan mudah dilakukan. Hal ini berdasarkan pengalaman saya selama beberapa tahun berkutat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas menjalankan peraturan sesuai dengan ketentuan pemerintah.
Kebiasaan masyarakat kita adalah malas membaca, sehingga mereka berpotensi mudah dibodohi, bahkan juga mudah ditunggangi oleh berbagai kepentingan yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok.
Saran saya, sebelum kita ikut serta dalam aksi pro atau kontra terkait kenaikan PPN sebesar 12%, lebih baik kita melakukan literasi mendalam mengenai peraturan tersebut.
Jangan hanya bermodal "katanya-katanya". Narasi "katanya" ini bahkan baru saja saya dengar saat artikel ini sedang ditulis, ketika saya menonton sebuah wawancara di stasiun televisi swasta nasional di negeri kita.
Artinya, ada miskonsepsi antara pemerintah dan masyarakat. Gelombang pro dan kontra bisa saja berawal dari keresahan masyarakat yang menganggap kenaikan PPN 12% akan berdampak pada semua sektor, sehingga membuat masyarakat menengah ke bawah semakin terjepit. Padahal, kenaikan PPN sebesar 12% ini justru hanya menyasar kaum elit yang terbiasa menggunakan berbagai jasa dan produk premium.
Jadi, seharusnya masyarakat menengah ke bawah tidak perlu resah meskipun PPN naik sebesar 12%, karena kenaikan ini tidak menyasar pemenuhan kebutuhan mereka. Kaum menengah ke bawah, yang jumlahnya jauh lebih besar di negeri ini dibandingkan dengan kaum elit, seharusnya tidak terpengaruh.