Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gagah

23 November 2024   10:20 Diperbarui: 23 November 2024   10:21 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gagah (Sumber Gambar: Dokumen Pribadi)

Hatiku seketika berubah. Ada rasa bangga mengalir begitu saja. Ternyata, hari ini Gagah bukanlah anak yang pengecut. Dia mampu melawan dengan caranya sendiri, meskipun tidak dengan kekuatan fisik yang besar. Dia mempertahankan harga dirinya, dan itulah yang penting.

Namun, sebelum aku bisa mengekspresikan kebanggaanku lebih lanjut, Gagah menatapku dengan tatapan yang lebih dalam dari biasanya. “Ayah,” kata Gagah dengan suara lirih namun jelas, “tadi bukan aku yang memukul mereka. Mereka yang memukulku dulu. Aku cuma... cuma melawan supaya mereka berhenti mengejek Ayah.”

Tangan ku terhenti di udara, kata-katanya menusuk jauh ke dalam hatiku. Selama ini, aku mengira Gagah adalah anak yang menyerah begitu saja, namun kenyataannya, dia sedang mencoba melindungi aku, ayahnya, dengan cara yang tidak pernah ku duga.

Dadaku terasa remuk, seolah seluruh tubuhku dihantam rasa sesal yang mendalam. Betapa bodohnya aku selama ini. Gagah bukan hanya melawan kekerasan fisik, dia berjuang untuk menjaga harga diri keluarganya.

Aku menganggapnya lemah, padahal dia sedang melindungi apa yang paling penting, aku, ayahnya, yang buta terhadap cara dia menunjukkan keberanian.  

Semua yang selama ini kuanggap sebagai kekurangan, ternyata adalah bentuk keberanian yang berbeda. Gagah memelukku erat, dan aku merasakan ada ikatan baru di antara kami. Tidak hanya sekedar ayah dan anak, tetapi dua orang yang akhirnya mengerti satu sama lain. 

Tanpa kata-kata, aku menarik Gagah ke pelukanku. Air mata mengalir tanpa bisa kubendung. Aku berbisik, "Maafkan Ayah, nak. Ayah salah. Kamu lebih gagah dari yang Ayah kira, terima kasih telah menjadi berani dan membela diri"

Di penghujung tahun, ketika segala kenangan dan perasaan melintas begitu cepat, aku teringat kembali pada hari itu, hari yang mengubah banyak hal antara aku dan Gagah. 

Seperti kebanyakan orang tua, aku sering terjebak dalam harapan yang berlebihan untuk anak-anak. Namun, pada titik tertentu, ketika waktu seakan melambat di akhir tahun, aku mulai menyadari bahwa keberanian bukan selalu tentang kekuatan fisik, melainkan tentang keberanian untuk menghadapi diri sendiri dan dunia dengan cara yang mungkin tak pernah ku pahami sebelumnya. 

Di penghujung tahun, aku baru menyadari bahwa Gagah, dengan segala ketangguhannya yang tersembunyi, telah mengajarkan aku tentang arti sejati dari menjadi seorang ayah, tentang memberi ruang bagi anak untuk tumbuh dan berkembang dengan cara mereka sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun