Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tirai Jingga

21 November 2024   20:45 Diperbarui: 21 November 2024   21:01 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perahu Ayah (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)

Debur ombak terdengar sayup-sayup, menghantam pantai dengan ritme yang entah kenapa terasa seirama dengan detak jantungku. Aku berlutut di atas pusara Ayah. Tanahnya masih basah dan dingin, seperti hatiku yang terbelah. Air mata jatuh begitu saja, mengalir tanpa henti. Aku meraung, memanggil nama Ayah. Namun hanya suara gemuruh laut yang menjawab, menghapus semua harapan untuk mendapatkan maafnya.

Kata-katanya kembali menggema di pikiranku, jelas seperti kemarin sore.

"Ya sudah, itu pilihanmu. Ayah tidak bisa melarangmu menikah dengan siapa pun. Tapi ingatlah, orang tuamu hanya satu. Jadilah anak yang saleh."

Bukan amarah yang terdengar, melainkan nada yang getir, seolah Ayah sudah lelah mengharapkan aku paham. Aku hanya mengangguk waktu itu, pura-pura percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

Kini, kalimat itu menghantam seperti gelombang pasang, meremukkan ketenangan yang kubangun dari janji-janji kosong.

Seperti dua dunia yang saling bertabrakan. Di satu sisi, ada Ayah yang membesarkanku dengan cinta tak terhingga, yang mendidikku dengan harapan agar aku menjadi anak yang berbakti. Di sisi lain, ada Tirai Jingga, wanita yang kucintai sepenuh hati, yang kuyakini dapat melengkapi hidupku. 

Lesung pipinya saat tersenyum, atau mungkin cara mengeja namanya terasa seperti puisi yang terbaca dalam senja.

Puncak jandanya yang anggun seakan menjadi tanda dari Tuhan, memahat kesempurnaan pada wajahnya yang telah memikat hatiku. Entah sejak kapan, dia juga menjadi doa yang kupanjatkan dalam sunyi.

Pernahkah kau merasa dunia berhenti sejenak hanya untuk satu orang? Begitulah perasaanku saat pertama kali melihatnya di TPA, Taman Pendidikan Al-Qur’an di surau kami.

Lantunan surah An-Naba yang dibacanya begitu lembut, mengalir indah seperti melodi yang menggetarkan hati. Sayangnya, dia masih terlalu muda bagiku saat itu.

Ada sesuatu tentang Tirai yang tak pernah bisa kujelaskan. 

Aku mencoba memahami alasan Ayah melarangku menikahi Tirai. Ayah yang penuh kasih, tidak mungkin menjadi penghalang kebahagiaanku tanpa alasan.

Wajar saja, meski anaknya seorang kiyai di desaku, Tirai justru jauh dari pola kehidupan beragama. 

Selepas tamat Madrasah Ibtidaiyah, ayahnya mencoba menyekolahkan Tirai ke Kota. Berharap dia akan menjadi pembaharu bagi keluarganya yang hanya mengenal pesantren sebagai pendidikan. 

Namun, kota justru menyeretnya ke dalam pergaulan bebas. Gemerlap kebebasan tanpa batas menenggelamkan akar agamanya.

Kedekatanku dengan Tirai baru terjalin setelah dia kembali dari kota, dengan kabar bahwa dia tidak lulus dari sekolahnya di kota. 

Dengan senyum yang sama dan aura baru yang lebih dewasa, aku jatuh cinta lagi dan lagi seolah dunia tak pernah berhenti mengulang keajaiban itu.

Padahal, aku bukanlah orang yang mudah jatuh cinta. Tapi Tirai adalah pengecualian, seakan semesta sengaja menciptanya untuk mematahkan prinsipku.

Setiap kali mata kami bertemu, hatiku bergetar, seolah ada simfoni tak kasatmata yang hanya kami berdua pahami. Rasanya seperti dunia berhenti sejenak, membiarkan kami tenggelam dalam harmoni yang indah dan memikat.

Aku ingin berbakti pada Ayah, tapi di sisi lain, aku juga mencintai Tirai dengan sepenuh hati. 

Berulang kali aku katakan kepada Tirai, ayahku adalah segalanya bagiku. Sebagai anak bungsu, tak mungkin aku pisah rumah dengan ayah setelah menikah, apalagi setelah kepergian ibu yang baru saja terjadi satu tahun lalu.

"Sudah Fidz, lebih baik kamu tinggalkan saja Tirai. Berbakti kepada kedua orang tua itu jauh lebih penting dibandingkan kamu menuruti keinginanmu," 

Hanif mencoba menasehatiku waktu itu selepas maghrib sesaat sebelum pernikahanku dilaksanakan, saat kami berjalan kaki pulang ke rumah. 

Suaranya serius, ada kehangatan yang mengingatkanku pada cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Ayah kepadaku.

Aku memang maruk, mencoba merengkuh dua kebahagiaan yang ternyata tidak sepakat untuk bersatu. Ayah yang telah mengalah untuk pernikahanku dengan Tirai, namun Tirai sama sekali tidak bergeming. 

Aku mencoba menenangkan Ayah dengan janji-janji yang sejujurnya tak pernah bisa kupenuhi.

"Ayah, aku tak mungkin meninggalkan Ayah. Setelah menikah, kami tetap akan tinggal di rumah ini. Aku hanya ingin Ayah memberikan restu."

Namun, Tirai tak mau mengalah. 

"Mas, aku ingin kita hidup mandiri. Aku ingin punya rumah sendiri, jauh dari aturan keluarga."

"Mas, kamu harus pilih. Aku atau Ayahmu?" suara Tirai tegas.

"Tirai, aku sudah bilang, Ayah adalah segalanya bagiku. Aku tidak mungkin meninggalkan beliau sendiri."

"Lalu aku apa? Hanya pelengkap? Aku calon istrimu, Mas, bukan orang asing yang harus mengalah terus!" 

Tirai meninggikan suara, membuat dadaku terasa seperti dicambuk.

"Aku tidak pernah bermaksud begitu," jawabku, mencoba tetap tenang. 

"Tapi bisakah kamu mencoba memahami, walaupun hanya sedikit saja?"

"Aku sudah cukup memahami, Mas. Tapi kalau kamu tidak bisa memilih, aku yang akan memilih pergi!"

Perdebatan itu berakhir setelah aku menggombal dengan janji-janji manis kepadanya.

"Iya, kita seminggu di rumah Ayah setelah menikah. Setelah itu, kita akan pisah dari rumah Ayah," jawabku dengan suara yang terpaksa. 

Aku tahu janji itu adalah satu-satunya jalan keluar yang bisa kuambil saat itu. Tapi hati kecilku berteriak, menyesali setiap kata yang baru saja keluar dari mulutku.

Tirai tersenyum puas, namun senyum itu terasa hampa di mataku. Aku tahu, janji ini hanyalah pemanis yang menutupi kenyataan yang lebih pahit, aku tidak bisa mempertahankan keduanya.

Pernikahan pun berlangsung. Walau sederhana, namun di hari itu aku merasa bahagia. Tirai menjelma bak bidadari yang turun dari langit. 

Saat bersanding di pelaminan, pikiranku melayang. Ada dorongan kecil dalam hati untuk mencuri momen, mengecup lesung pipinya yang begitu memikat, atau sekadar menyusuri garis lembut puncak jandanya dengan tatapan penuh kagum. 

Di tengah sorak-sorai tamu, aku menahan diri sambil membiarkan rasa bangga memenuhi sanubari, aku telah mempersunting wanita tercantik, putri seorang kiyai yang dihormati di desaku.

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya sesaat. Tepat satu minggu setelah menikah, Tirai menagih janjiku untuk pisah rumah.

"Mas, aku tagih janjimu sebagai suami dan seorang laki-laki."

"Ayo kita pergi dari rumah ini, hidup mandiri hanya berdua."

Aku mencoba mendebatnya dengan penggalan kitab suci kami.

"Arrijalu qawwamuna ‘alan nisa,  Tirai."

"Kamu sekarang istriku, Tirai. Sudah seharusnya untuk taat dan patuh kepadaku sebagai seorang suami."

Perdebatan itu berlarut-larut, panjang dan penuh emosi. Bahkan Tirai mengancam akan bunuh diri jika kemauannya tidak dituruti. 

Ayah akhirnya menyerah dengan keputusan kami.

Saat Tirai sudah berjalan lebih dulu, setengah terisak Ayah memelukku dengan erat, seakan tidak ingin melepaskanku. Seolah pelukan itu adalah pelukan terakhirnya untukku sebagai anak yang akan selalu ada di sisinya. 

Di pelukan itu, aku merasakan semua kasih sayang yang telah Ayah berikan sepanjang hidupku. 

Ayah menginginkan aku tetap tinggal, sementara Tirai menginginkan kebebasan untuk hidup bersama tanpa ikatan dengan keluargaku.  

Hatiku sudah mati terbutakan oleh cintanya Tirai. Aku segera saja bergegas mengakhiri pelukan ayah, ingin berbalik dan segera menyusul Tirai yang sudah berdiri, menunggu di depan pintu.

Entah berapa purnama setelah kami meninggalkan rumah ayah, lamat-lamat, bersautan dengan adzan subuh, tiba-tiba terdengar pintu rumahku diketuk tanpa henti. Hanif memanggil namaku.

"Hafidz, Hafidz, bangun Fidz."

Aku yang sedang terlelap dalam pelukan Tirai merasa sangat terganggu. Kami biasanya memang saling memanggil saat adzan tiba, berharap tak ada yang masbuq dalam sholat lima waktu berjamaah di surau. 

Namun, ketukan itu semakin keras. Hanif tak sabar lagi, berteriak seakan ingin memberitahuku sesuatu yang sangat penting.

"Fidz! Perahu Ayahmu tenggelam! Ayahmu... Ayahmu meninggal!"

Dunia di sekitarku seakan berhenti. Kata-kata itu menghantamku seperti gelombang pasang yang tak terhindarkan. Aku terjatuh, berlutut di depan pintu, dan menangis sejadi-jadinya.

Aku hanya bisa meratap, berharap waktu bisa diputar ulang. Tapi tak ada yang bisa mengembalikan Ayah, atau rasa bangga yang dulu terpancar di matanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun