"Sudah Fidz, lebih baik kamu tinggalkan saja Tirai. Berbakti kepada kedua orang tua itu jauh lebih penting dibandingkan kamu menuruti keinginanmu,"Â
Hanif mencoba menasehatiku waktu itu selepas maghrib sesaat sebelum pernikahanku dilaksanakan, saat kami berjalan kaki pulang ke rumah.Â
Suaranya serius, ada kehangatan yang mengingatkanku pada cinta dan kasih sayang yang diberikan oleh Ayah kepadaku.
Aku memang maruk, mencoba merengkuh dua kebahagiaan yang ternyata tidak sepakat untuk bersatu. Ayah yang telah mengalah untuk pernikahanku dengan Tirai, namun Tirai sama sekali tidak bergeming.Â
Aku mencoba menenangkan Ayah dengan janji-janji yang sejujurnya tak pernah bisa kupenuhi.
"Ayah, aku tak mungkin meninggalkan Ayah. Setelah menikah, kami tetap akan tinggal di rumah ini. Aku hanya ingin Ayah memberikan restu."
Namun, Tirai tak mau mengalah.Â
"Mas, aku ingin kita hidup mandiri. Aku ingin punya rumah sendiri, jauh dari aturan keluarga."
"Mas, kamu harus pilih. Aku atau Ayahmu?" suara Tirai tegas.
"Tirai, aku sudah bilang, Ayah adalah segalanya bagiku. Aku tidak mungkin meninggalkan beliau sendiri."
"Lalu aku apa? Hanya pelengkap? Aku calon istrimu, Mas, bukan orang asing yang harus mengalah terus!"Â