Sayangnya, kebahagiaan itu hanya sesaat. Tepat satu minggu setelah menikah, Tirai menagih janjiku untuk pisah rumah.
"Mas, aku tagih janjimu sebagai suami dan seorang laki-laki."
"Ayo kita pergi dari rumah ini, hidup mandiri hanya berdua."
Aku mencoba mendebatnya dengan penggalan kitab suci kami.
"Arrijalu qawwamuna ‘alan nisa,  Tirai."
"Kamu sekarang istriku, Tirai. Sudah seharusnya untuk taat dan patuh kepadaku sebagai seorang suami."
Perdebatan itu berlarut-larut, panjang dan penuh emosi. Bahkan Tirai mengancam akan bunuh diri jika kemauannya tidak dituruti.Â
Ayah akhirnya menyerah dengan keputusan kami.
Saat Tirai sudah berjalan lebih dulu, setengah terisak Ayah memelukku dengan erat, seakan tidak ingin melepaskanku. Seolah pelukan itu adalah pelukan terakhirnya untukku sebagai anak yang akan selalu ada di sisinya.Â
Di pelukan itu, aku merasakan semua kasih sayang yang telah Ayah berikan sepanjang hidupku.Â
Ayah menginginkan aku tetap tinggal, sementara Tirai menginginkan kebebasan untuk hidup bersama tanpa ikatan dengan keluargaku. Â