Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sesat Pikir

20 Oktober 2024   16:53 Diperbarui: 20 Oktober 2024   19:04 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesesatan berpikir yang dibiarkan akan merusak masa depan generasi muda dan bangsa ini, kita akan kehilangan kemampuan membedakan yang benar dan salah sehingga menghambat potensi Indonesia untuk mencapai kejayaan global.

Saya merasa geram melihat salah satu podcast yang tayang di YouTube kemarin. Dalam kisah yang sederhana; seorang menolong orang lain, tetapi bukannya mengucapkan terima kasih, justru si penolong dilaporkan ke pihak berwajib. 

Netizen ramai-ramai mencaci korban karena dianggap tidak tahu terima kasih. Yang membuat kesal adalah bagaimana korban dan keluarganya memutarbalikkan keadaan, menuduh si penolong memanfaatkan situasi. 

Ini contoh nyata kesesatan berpikir, di mana argumen yang diajukan tidak sesuai dengan fakta, dan pada akhirnya logika berpikir yang sehat dikorbankan.

Kejadian ini mengingatkan saya pada peristiwa di sekolah beberapa hari lalu. Seorang siswa laki-laki dengan rambut panjang melanggar peraturan sekolah tentang panjang rambut. 

Ketika ditegur, dia berdalih bahwa dia sudah memotong rambutnya, padahal jelas panjang rambutnya masih melampaui aturan. 

Siswa tersebut memainkan kata-kata, menggunakan logika yang cacat, seolah-olah dengan hanya "memotong" rambut, dia sudah mematuhi aturan, padahal syarat panjang maksimal tetap tidak dipenuhi. 

Ini adalah contoh kesesatan berpikir yang sering kali terjadi dalam keseharian kita, tidak hanya di media sosial, tetapi juga di ruang kelas.

Kesesatan Berpikir 

Pola pikir seperti ini, yang dalam istilah logika disebut logical fallacy atau kesesatan berpikir, bukan hanya terjadi di sekolah. 

Dalam dunia pendidikan, kesesatan berpikir bisa berdampak serius, terutama jika dibiarkan tumbuh subur tanpa disadari. 

Dari Kompas melansir dari buku Dasar-dasar Logika (2006) oleh Asnanto Surajiyo, penyebab kesesatan berpikir adalah pemaksaan prinsip logika tanpa memperhatikan relevansi. Seseorang cenderung melemahkan argumen dengan distorsi atau menarik kesimpulan yang salah. 

Dikutip dari situs Effectiviology, logical fallacy didefinisikan sebagai pola penalaran yang salah atau kekeliruan dalam pemikiran logis. Akibatnya, argumen yang disampaikan menjadi tidak valid dan tidak relevan .

Satu contoh sederhana dari kesesatan berpikir ini adalah kasus siswa yang berdalih "sudah memotong rambut" tapi tidak sesuai aturan panjang rambut. 

Dia mungkin merasa sudah melakukan tindakan yang benar berdasarkan faktanya, namun kenyataannya tidak sesuai dengan kebenaran aturan yang berlaku. 

Jika kesalahan penalaran ini tidak dikoreksi, siswa dapat tumbuh dengan kebiasaan membenarkan diri tanpa memahami esensi dari aturan itu sendiri.

Penting bagi kita sebagai guru untuk membimbing siswa agar tidak terjebak dalam kesesatan berpikir. Alissa Wahid dalam kompas.id pernah menyebut, "bener ra pener", sebuah tindakan yang memenuhi syarat formal, tetapi tidak tepat.

Kesesatan berpikir tidak hanya menyesatkan orang lain, tetapi juga dapat menyesatkan diri sendiri ketika kita mulai membenarkan yang salah dengan memutarbalikkan logika.

Pentingnya Berpikir Kritis

Keterampilan berpikir kritis (critical thinking skills) sangat penting untuk ditanamkan di ruang kelas. Kompas mengutip dalam makalah berjudul Encouraging Critical Thinking: But... What Does That Mean?, Hemming (2000) mendefinisikan berpikir kritis sebagai "kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menyintesis informasi untuk membuat penilaian dan keputusan yang beralasan." 

Hemming menegaskan bahwa berpikir kritis tidak hanya melibatkan keterampilan kognitif, tetapi juga sikap dan nilai seperti rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran, dan kerendahan hati intelektual . 

Ini merupakan aspek penting yang harus dimiliki oleh setiap siswa untuk membedakan antara fakta dan opini serta kebenaran dan kebohongan.

Sebagai contoh, kasus sederhana seperti insiden potong rambut di sekolah bisa dijadikan pelajaran. Guru harus mengajarkan kepada siswa bahwa aturan tidak hanya sebatas formalitas. 

Aturan adalah cerminan dari nilai-nilai yang perlu dipahami dan dihormati, bukan sekadar diikuti secara dangkal. Berpikir kritis membantu siswa memahami esensi dari aturan tersebut, bukan hanya menjalankannya dengan pendekatan minimal.

Permohonan uji materi yang diajukan ke MK terkait cara penghitungan syarat usia minimal calon kepala/wakil kepala daerah adalah contoh lain dari kesesatan berpikir dalam ranah yang lebih luas. 

Putusan Mahkamah Agung pada 29 Mei lalu menyatakan bahwa Pasal 4 Ayat (1) Huruf d PKPU No 9/2020 bertentangan dengan UU No 10/2016 tentang Pilkada, dengan mengubah cara penghitungan usia calon yang semula dihitung sejak penetapan pasangan calon menjadi sejak pelantikan . 

Perbedaan diksi antara "sejak penetapan" dan "sejak pelantikan" merupakan contoh bagaimana pilihan kata yang sekilas tampak sepele justru dapat memicu perdebatan besar dan menciptakan kekacauan dalam interpretasi hukum.

Misalnya, dalam kasus tersebut, aturan formal dipenuhi, tetapi substansinya justru mengabaikan rasa keadilan masyarakat. 

Pemilihan kata-kata seperti "sejak penetapan" dan "sejak pelantikan" tidak hanya memunculkan perdebatan, tetapi juga menyingkap bagaimana penggunaan bahasa yang keliru dapat mengaburkan realitas kebenaran, sehingga menciptakan kebingungan dalam interpretasi hukum yang seharusnya jelas dan tegas.

Panggilan untuk Guru

Sebagai guru, kita perlu memberikan teladan dan bimbingan kepada siswa agar mampu berpikir kritis dan tidak mudah terjerumus dalam kesesatan berpikir. 

Seperti yang dikatakan oleh Alissa Wahid dalam kompas.id, tindakan yang benar secara formal belum tentu benar secara substansial. 

Kita harus memastikan bahwa siswa kita memahami bahwa kebenaran bukan hanya soal mengikuti aturan, tetapi juga soal memahami makna di balik aturan tersebut. 

Sebagai pendidik, kita memiliki tanggung jawab besar untuk membekali mereka dengan keterampilan berpikir kritis yang kuat, sehingga mereka mampu membedakan antara fakta dan opini, antara kebenaran dan kesesatan.

Di akhir opini ini, saya mengajak seluruh rekan guru untuk lebih peduli terhadap kesesatan berpikir yang sering kali dianggap sepele. 

Kita harus menjaga agar siswa kita tidak tersesat dalam logika berpikir yang salah, karena ini bukan hanya soal potongan rambut atau ujian di sekolah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun