Sebagai contoh, kasus sederhana seperti insiden potong rambut di sekolah bisa dijadikan pelajaran. Guru harus mengajarkan kepada siswa bahwa aturan tidak hanya sebatas formalitas.Â
Aturan adalah cerminan dari nilai-nilai yang perlu dipahami dan dihormati, bukan sekadar diikuti secara dangkal. Berpikir kritis membantu siswa memahami esensi dari aturan tersebut, bukan hanya menjalankannya dengan pendekatan minimal.
Permohonan uji materi yang diajukan ke MK terkait cara penghitungan syarat usia minimal calon kepala/wakil kepala daerah adalah contoh lain dari kesesatan berpikir dalam ranah yang lebih luas.Â
Putusan Mahkamah Agung pada 29 Mei lalu menyatakan bahwa Pasal 4 Ayat (1) Huruf d PKPU No 9/2020 bertentangan dengan UU No 10/2016 tentang Pilkada, dengan mengubah cara penghitungan usia calon yang semula dihitung sejak penetapan pasangan calon menjadi sejak pelantikan .Â
Perbedaan diksi antara "sejak penetapan" dan "sejak pelantikan" merupakan contoh bagaimana pilihan kata yang sekilas tampak sepele justru dapat memicu perdebatan besar dan menciptakan kekacauan dalam interpretasi hukum.
Misalnya, dalam kasus tersebut, aturan formal dipenuhi, tetapi substansinya justru mengabaikan rasa keadilan masyarakat.Â
Pemilihan kata-kata seperti "sejak penetapan" dan "sejak pelantikan" tidak hanya memunculkan perdebatan, tetapi juga menyingkap bagaimana penggunaan bahasa yang keliru dapat mengaburkan realitas kebenaran, sehingga menciptakan kebingungan dalam interpretasi hukum yang seharusnya jelas dan tegas.
Panggilan untuk Guru
Sebagai guru, kita perlu memberikan teladan dan bimbingan kepada siswa agar mampu berpikir kritis dan tidak mudah terjerumus dalam kesesatan berpikir.Â
Seperti yang dikatakan oleh Alissa Wahid dalam kompas.id, tindakan yang benar secara formal belum tentu benar secara substansial.Â
Kita harus memastikan bahwa siswa kita memahami bahwa kebenaran bukan hanya soal mengikuti aturan, tetapi juga soal memahami makna di balik aturan tersebut.Â