Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan di Ujung Tanduk

12 Oktober 2024   09:57 Diperbarui: 13 Oktober 2024   13:31 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alasan-alasan logis ini, meskipun tampak masuk akal, sayangnya tidak etis. Sampai kapan kita akan terjebak dalam paradigma bahwa nilai siswa harus selalu besar?

Bukankah yang paling penting dari proses belajar adalah proses itu sendiri, pemahaman yang diperoleh, serta perubahan perilaku? Kita terlalu berlebihan hingga akhirnya mengorbankan integritas sebagai guru dalam memberikan penilaian yang jujur, serta mengabaikan peningkatan kompetensi siswa.

Rangking Itu Diskrimininasi

Apakah mungkin dunia ini tanpa perangkingan? Segala sesuatu di dunia ini secara otomatis terperingkat. Ada yang kaya, ada yang miskin; ada yang profesional, ada yang pemula; ada yang lama, ada yang baru. Coba sebutkan satu hal di dunia ini yang tanpa pemeringkatan.

Lalu, apakah dengan pemeringkatan otomatis ini dunia menjadi tidak baik-baik saja? Tentu saja tidak. Justru, pemeringkatan menjadi alat evaluasi untuk terus meningkatkan kualitas.

Mari kita kembali ke dunia pendidikan. Mengapa perangkingan tidak diperbolehkan jika masuk perguruan tinggi saja tetap menggunakan perangkingan? Lihatlah SNBP, Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi; bukankah ini juga menggunakan pemeringkatan untuk memilih 40 persen siswa terbaik?

Kemudian, ada akreditasi; akreditasi A, B, dan C juga merupakan bentuk pemeringkatan. Jadi, di mana salahnya pemeringkatan? Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) juga menerapkan pemeringkatan, baik pemeringkatan jarak untuk zonasi maupun pemeringkatan skor atau nilai untuk prestasi.

Sudahlah, cukup sudah kita menghentikan sikap anti-perangkingan. Tanpa perangkingan, bagaimana kita bisa melakukan evaluasi untuk menjadi lebih baik? Perangkingan juga menjadi motivasi bagi siswa untuk terus berusaha keras, baik dalam mempertahankan prestasi maupun meningkatkan ke level tertinggi.

Absennya perangkingan kelas di dunia pendidikan merupakan salah satu sebab siswa abai terhadap kompetensi yang dimiliki, karena mereka tidak bisa membandingkan diri dengan teman-temannya yang lain.

Jangan Sampai Tidak Naik Kelas

Wajar jika anak zaman sekarang tetap percaya diri di kelas meskipun nilai mereka kurang memuaskan. Pasalnya, hampir tidak ada lagi siswa yang tidak naik kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun