Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Yuk, Peluk Mereka!

21 September 2024   10:40 Diperbarui: 21 September 2024   15:30 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memutus Mata Rantai Fatherless
Ada berbagai peran yang dibutuhkan dalam aksi ini, terutama peran orang tua dan pendidik. Orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam membangun ikatan emosional yang kuat dengan anak-anak mereka. 

Saya ingat betul bagaimana ayah saya bercerita tentang betapa takutnya beliau terhadap ayahnya saat masih anak-anak. Ayah saya menjadi pribadi yang keras, namun beruntung ketika kakak-kakak saya dan saya lahir, beliau menyadari bahwa tidak nyaman menjadi anak-anak yang jauh dari kehadiran emosional orang tua. 

Pengalaman ini membuat ayah bertekad agar anak-anaknya tidak mengalami luka yang sama. Ayah memutus mata rantai fatherless dengan membangun ikatan emosional yang kuat dengan saya dan kakak-kakak saya.

Mengutip dari Kompas.id, menurut Ike Anggraika, psikolog dan staf pengajar di Laboratorium Life-span Development Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), anak-anak yang tumbuh tanpa ayah memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami ketidakstabilan emosi, kesulitan mengelola emosi, hingga mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku.

Selain orang tua, pendidik juga memiliki peran penting dalam memutus mata rantai fatherless. Dengan media ruang dan waktu yang dimilikinya, pendidik memiliki potensi besar untuk membantu anak-anak mengembangkan karakter dan prinsip-prinsip moral yang kuat. 

Terutama bagi pendidik di jenjang SMA, penanaman karakter dan prinsip-prinsip moral akan lebih efektif, karena usia anak-anak SMA adalah usia dewasa awal di mana kemampuan nalar dan analisis mereka mulai berkembang. 

Jean Piaget dari socialsci.libretexts.org menggambarkan masa remaja sebagai tahap kehidupan di mana pikiran individu mulai mengambil bentuk yang lebih abstrak dan pikiran egosentris berkurang. 

Hal ini memungkinkan individu untuk berpikir dan bernalar dengan perspektif yang lebih luas. Di fase inilah kita bisa menginisiasi penanaman proyeksi menjadi orang tua yang baik melalui berbagai konseling yang kita lakukan.

Harapannya, ketika mereka kelak menjadi orang tua, mereka akan mengingat prinsip-prinsip menjadi orang tua yang baik yang pernah mereka dapatkan saat konseling di bangku SMA. 

Bukan tidak mungkin hal ini bisa terjadi, karena masa SMA sering dianggap sebagai masa yang paling indah. Otak kita cenderung mengingat sesuatu yang sangat indah atau sebaliknya, sehingga wajar jika kita berharap masa SMA menjadi masa yang paling mudah untuk menanamkan prinsip-prinsip moral yang baik.

Ini Juga Kewajiban Pemerintah
Pemerintah seharusnya menjadikan keluarga sebagai objek perhatian yang serius. Berkaca pada negara lain yang pemerintahnya sampai campur tangan dalam masalah perceraian, pasangan yang hendak bercerai diminta untuk tinggal bersama terlebih dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun