Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Frugal Living: Meniti Bahagia Tanpa Beban Finansial

27 Januari 2024   13:25 Diperbarui: 28 Januari 2024   12:45 1269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uang, menabung. (SHUTTERSTOCK)

Bahkan sebelum munculnya fakta bahwa profesi guru menduduki posisi paling banyak yang terjerat oleh pinjaman online (pinjol), saya selalu memberikan peringatan kepada diri sendiri dan istri agar bijaksana dalam pengelolaan keuangan. 

Kami berusaha untuk tidak tergoda oleh keinginan untuk membeli barang-barang yang pada akhirnya tidak terlalu esensial dan mendesak.

Peringatan tersebut bukan tanpa alasan. Di lingkungan sekolah, tempat di mana kami bekerja sebagai guru, seringkali muncul berbagai penawaran pembelian barang dengan sistem kredit. 

Seringkali, saya menggoda istri dengan berkata, 'Itu kan produk yang ditawarkan di sekolah tadi, dek,' dengan maksud mengajukan pertanyaan mengapa kita perlu membeli barang tersebut, terutama jika barang tersebut bukan kebutuhan mendesak. 

Bagi kami, dan mungkin saya sendiri, tawaran pembelian barang secara kredit ini terasa menggoda, terutama karena gaji guru cenderung berada pada tingkat yang cukup standar. 

Meskipun cukup, namun tidak berlebihan, terutama jika dibandingkan dengan profesi lain yang juga mendapat gaji dari pemerintah. 

Apalagi bagi rekan-rekan guru yang belum bersertifikasi, gaji hanya sebatas gaji pokok, ditambah tunjangan kinerja yang belum sepenuhnya mencukupi mengingat berbagai tanggung jawab tugas yang harus diemban.

Fakta menarik yang tidak dapat disangkal, dan mungkin menjadi indikator bahwa gaji guru masih belum memadai, adalah bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling banyak terjerat oleh pinjol. 

Pada November 2023, berdasarkan data dari OJK, Kompas melaporkan bahwa sebanyak 42 persen dari mereka yang terjerat pinjol adalah guru. 

Indikator ini seharusnya menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah untuk meninjau kembali besaran gaji guru, mungkin sebagai bahan kajian untuk perubahan ke depannya.

Tidak hanya terjerat oleh pinjol, realitas di lapangan menunjukkan bahwa 98 persen pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah menggadaikan SK mereka ke bank, alias mengajukan pinjaman. 

Bahkan ada yang sampai mengajukan pinjaman ke 2-3 bank, dengan jaminan hanya SK. Beberapa rekan bahkan menghadapi masalah serius hingga gagal bayar dan kehilangan harta benda mereka yang disita.

Awalnya, saya kagum saat melihat rekan yang baru saja membeli rumah dan mobil baru. Namun, kesan itu sirna ketika dia datang meminjam uang kepada saya, bahkan hanya sejumlah 50 ribu rupiah. 

Kejadian ini menggambarkan kondisi yang sudah sangat kritis, di mana seseorang harus meminjam uang sedikit pun, dan itu pun kepada saya yang bukanlah orang dekatnya. 

Ini menunjukkan bahwa rekan ini sudah benar-benar kesulitan dan habis duitnya. Padahal, seharusnya sebagai seorang guru PNS senior, dia seharusnya memiliki tabungan yang cukup. Namun, kenyataannya tidak demikian.

Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa letak kesalahan tidak hanya pada besaran gaji, melainkan pada gaya hidup mereka yang semakin mempersempit diri. 

Banyak rekan guru dan TU di sekolah yang melakukan pembelanjaan tanpa memikirkan keuangan mereka. 

Pengeluaran sederhana seperti jajan, makan di luar, pembelian barang-barang kecil, jika dilakukan setiap hari, akhirnya berakumulasi dan mengurangi kemampuan mereka untuk membayar kewajiban bulanan, seperti listrik, SPP anak, jasa internet, dan lainnya. Belum lagi jika ada biaya tak terduga karena keadaan darurat.

Pada akhirnya, banyak dari mereka terjebak dalam jerat utang, menambah utang di tempat lain, dan seterusnya. Akhirnya, gaji hanya menjadi angka nominal yang tertera, habis untuk membayar berbagai utang akibat pengeluaran yang tidak terkontrol.

Semua pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bagi saya dan istri. Kami merasakan bagaimana sulitnya mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, hidup tanpa ketenangan karena setiap bulan harus menunggu pembayaran berbagai cicilan. 

Ini menjadi motivasi bagi kami untuk tidak mengalami nasib yang sama. Sebagai kepala keluarga, saya merasa tanggung jawab penuh terhadap kondisi keuangan di rumah tangga kami.

Dibutuhkan waktu beberapa saat bagi saya dan istri memahami konsep hidup sederhana yang terencana, frugal living. 

Akhirnya, kami mencapai kesepakatan untuk sepenuhnya mengadopsi konsep ini dalam kehidupan sehari-hari kami. Proses penyesuaian ini mengharuskan kami berdua untuk merenung dan memahami pentingnya kebijakan hidup hemat yang terstruktur. 

Setelah melalui berbagai diskusi, kami menyadari bahwa frugal living bukan hanya sekedar gaya hidup, melainkan filosofi yang melibatkan kesadaran penuh terhadap pengeluaran, prioritas, dan nilai-nilai yang kami anut.

Frugal living bagi kami bukanlah sekadar menghemat uang, melainkan juga tentang membuat pilihan bijaksana dalam segala aspek kehidupan. 

Kami kini lebih cermat dalam merencanakan anggaran, mengurangi pemborosan, dan menghargai nilai-nilai esensial yang membentuk fondasi kehidupan kami. 

Memahami bahwa kepuasan hidup tidak selalu terkait dengan keberlimpahan materi, kami berdua merasa lebih bahagia dan lebih berdaya dengan menerapkan prinsip-prinsip frugal living ini.

Menolak Hutang

Saya percaya bahwa langkah yang kami ambil untuk menolak berhutang merupakan pilihan ekstrim dan anti mainstream, terutama di tengah maraknya penawaran pinjaman baik dari bank maupun penyedia pinjaman lainnya. 

Pada awalnya, kami mencoba metode "pinjam tabung", yaitu mengambil pinjaman dari bank untuk beberapa waktu tertentu, kemudian menabungkannya. 

Alasan kami saat itu sederhana, yaitu agar bisa memiliki tabungan. Dalam pikiran kami, membayar cicilan bulanan sebagai akibat dari hutang ini seakan menjadi bentuk menabung setiap bulannya. 

Meskipun konsep ini sedikit berbeda dari cara tradisional menabung, di mana orang biasanya menabung sedikit-sedikit setiap hari, namun kami merasa ini adalah cara yang efektif bagi kami.

Namun, terkadang motif kami untuk berhutang tidak semata-mata karena menabung. Sebagai PNS, baik saya maupun istri, terkadang kami tergoda untuk berhutang untuk pembelian yang bersifat konsumtif. 

Dengan pikiran sederhana bahwa masih ada sisa gaji yang bisa dipakai untuk membayar, kami melakukan hutang tanpa mempertimbangkan dampaknya. 

Akibatnya, dengan mindset yang terlalu mempermudah, gaji kami menjadi semakin terkikis setiap bulan hanya untuk membayar cicilan hutang.

Konsekuensinya tidak hanya terbatas pada masalah finansial, tapi juga merasuki aspek keseharian kami. Saat itu, segala pengeluaran harus dipertimbangkan secara matang, bahkan untuk hal sekecil mengganti ban motor pun harus dipikirkan dengan cermat karena ada cicilan yang harus dibayar. 

Hidup menjadi terasa sempit, harga diri terasa rapuh, dan kebebasan finansial terasa terbatas. Bahkan sekadar mengajak teman untuk traktiran pun menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan secara serius.

Setelah melakukan refleksi, kami menyadari bahwa secara finansial, melakukan pinjaman ternyata tidak menguntungkan. Biaya administrasi bulanan yang harus kami bayarkan, ketika diakumulasikan dengan jumlah pinjaman awal, ternyata melebihi jumlah pinjaman yang kami ambil. 

Namun, yang lebih penting dari itu adalah dampak pada kesehatan mental kami. Hidup terasa tidak tenang karena selalu terbayang oleh pembayaran cicilan hutang setiap bulan.

Maka dari itu, prinsip utama kami menjadi "jangan berhutang." Keputusan ini bukanlah tanpa perjuangan, tetapi dengan tekad kuat, kami berhasil menjalani hidup tanpa jerat hutang. 

Kini kami dapat merasakan keindahan dan kenikmatan hidup tanpa beban hutang, di mana setiap hari dapat kami nikmati dengan tenang dan damai.

Jangan Kredit

Prinsip kedua yang telah kami pegang teguh, saya bersama istri, dalam mengelola keuangan adalah menolak untuk membeli barang secara kredit. 

Memang, terkadang kita terjebak dalam jebakan psikologis saat tergoda untuk membeli barang dengan sistem kredit. 

Rasa enteng dan kemudahan bayar cicilan seringkali membuat kita terjerumus pada kebiasaan menambahkan barang-barang kecil lainnya untuk dihutangkan. Tanpa disadari, gaji sebulan dapat habis hanya untuk membayar cicilan kredit barang.

Jika dihitung-hitung, kita sebenarnya rugi ketika membeli barang dengan sistem kredit. Daripada membayar cicilan setiap bulan, kami memilih untuk menyisihkan sebagian uang dari gaji setiap bulan untuk membeli barang yang diinginkan. 

Secara matematis, keputusan ini terbukti lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan membeli barang dengan cara kredit.

Ambil contoh pembelian motor. Harga motor secara tunai mungkin sekitar 12 juta rupiah, namun jika dibeli dengan kredit, harganya bisa melambung tinggi, bahkan mencapai 17 jutaan, tergantung durasi kreditnya. 

Dengan menabung setiap bulan sejumlah tertentu, dalam waktu satu tahun kami bisa membawa pulang motor tersebut tanpa harus terjebak dalam sistem kredit. Ini bukan hanya pilihan yang bijak secara finansial, tetapi juga menjadi sesuatu yang membanggakan.

Selain itu, membeli barang secara kredit juga memiliki risiko pada penurunan nilai ekonomi barang tersebut. Setelah lunas membayar cicilan, harga jual kembali barang cenderung turun drastis. 

Oleh karena itu, prinsip ini menjadi pegangan kami untuk menghindari pembelian barang secara kredit. Kami yakin bahwa membeli dengan menabung tidak hanya lebih efisien secara keuangan, tetapi juga menghasilkan hidup yang lebih tenang karena tidak terbebani oleh pembayaran cicilan setiap bulan.

Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap kondisi keuangan keluarga. Meskipun kami bersyukur tidak pernah mengalami kejadian darurat yang memaksa berhutang, namun dengan menolak kredit, kami dapat memastikan bahwa keuangan keluarga tetap terjaga dan tidak terpengaruh oleh kondisi yang tidak terduga.

Cashless

Prinsip cashless atau non-tunai menjadi landasan yang kami terapkan dalam pengelolaan keuangan keluarga. Kepercayaan pada metode ini ternyata memberikan keuntungan signifikan dalam memangkas pengeluaran, karena membawa uang tunai sering kali mengakibatkan kecenderungan untuk berbelanja impulsif.

Dalam pengalaman pribadi, perbandingan antara membawa uang tunai dan menggunakan cashless, terutama melalui e-wallet, memberikan hasil yang cukup mencolok. 

Psikologi manusia yang cenderung konsumtif seringkali mendorong untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan saat membawa uang tunai. Kemudahan transaksi dengan uang tunai seringkali menjadi pemicu pengeluaran yang tidak terencana.

Berbeda dengan transaksi tunai, tidak semua tempat penjualan dapat menerima pembayaran non-tunai. Hal ini secara otomatis membuat kami lebih selektif dalam berbelanja, karena keterbatasan penggunaan cashless, sehingga mau tidak mau akan menjadikan kami lebih hemat. 

Meskipun terdapat beberapa kendala, metode ini memberikan keuntungan tambahan, seperti potongan harga, cashback, atau bonus lainnya. Faktor-faktor ini menjadi alasan tambahan untuk memilih metode cashless yang lebih efisien dan hemat.

Kami menerapkan cashless dalam berbagai aspek keseharian, mulai dari mengisi bahan bakar di Pertamina, berbelanja barang keperluan sehari-hari, hingga pembayaran SPP anak. 

Salah satu keunggulan utama dari metode ini adalah kemampuan untuk mengontrol pengeluaran dan mengevaluasi secara akurat seberapa banyak uang yang telah dihabiskan. 

Rekam jejak transaksi cashless yang tercatat memungkinkan kami untuk memahami arus keuangan, sehingga dapat diambil keputusan yang lebih bijak dan tepat dalam mengelola keuangan keluarga.

Dengan penerapan metode cashless, kami tidak hanya mencapai efisiensi dan hemat, tetapi juga mendapatkan keuntungan tambahan yang berkontribusi pada keseimbangan keuangan keluarga.

Menolak Ikut-Ikutan 

Prinsip sederhana namun kuat yang kami pegang teguh adalah menolak untuk membeli barang hanya karena mengikuti trend atau karena banyak teman yang juga membelinya. 

Sebagai seorang guru, kami seringkali dihadapkan pada situasi di mana penjual barang mempromosikan dagangannya di sekolah, dan seringkali dorongan untuk ikut serta dalam pembelian tersebut muncul akibat tekanan sosial atau hasrat untuk tidak ketinggalan tren.

Pengalaman ini tidak jarang membuat kami tergoda untuk ikut-ikutan membeli, terutama saat melihat banyak rekan yang turut serta. 

Koperasi sekolah juga sering menyediakan kemudahan pembelian barang dengan cara mencicil melalui koperasi, yang pada akhirnya dapat menjadi jebakan keuangan bagi banyak rekan guru dan TU di sekolah.

Setelah beberapa kali mengalami pembelian barang impulsif di sekolah, kami menyadari bahwa sebagian besar barang tersebut sebenarnya tidak menjadi prioritas utama dan hanya menghiasi lemari di rumah tanpa memberikan manfaat yang signifikan.

Beberapa barang bahkan hanya beberapa kali digunakan sebelum rusak, dan sulit untuk melakukan komplain karena tidak memiliki informasi kontak penjual.

Kami memahami bahwa ikut-ikutan hanya akan menumpuk utang dan berdampak negatif pada kesehatan keuangan kami. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan keuangan dan menghindari pemborosan yang tidak perlu, kami dengan tegas menerapkan prinsip untuk tidak ikut-ikutan dalam pembelian barang. 

Prinsip ini membantu kami untuk lebih fokus pada kebutuhan utama dan mendorong pertimbangan yang lebih matang dalam setiap pengeluaran. Dengan begitu, kami dapat menjaga kestabilan keuangan keluarga dan menghindari beban finansial yang tidak perlu.

Tidak Takut Terlihat Miskin

Berbicara sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), saya dan istri kadang merasa tekanan ekspektasi dari lingkungan karena anggapan bahwa PNS memiliki kehidupan yang berlebihan, seperti rumah mewah dan mobil yang mewah pula. 

Pada kenyataannya, harapan semacam ini sering kali menjadi jebakan bagi keuangan keluarga, karena takut terlihat "miskin" sering kali menghasilkan keputusan finansial yang tidak sehat.

Awalnya, menjadi terlihat kaya di mata orang lain menjadi faktor penting, terutama saat baru menikah. Pada masa-masa tersebut, kami terpengaruh oleh opini sosial dan merasa perlu untuk menunjukkan kesuksesan finansial melalui kepemilikan barang-barang mewah, yang akhirnya memicu pembelian dengan kredit berulang kali.

Namun, pada suatu titik, kami menyadari bahwa terus menerus berusaha terlihat kaya dengan berhutang hanya memberikan ketidaknyamanan dan kegelisahan. 

Keuangan keluarga menjadi semakin rumit dan terbebani oleh ambisi untuk menciptakan citra yang sebenarnya tidak begitu penting. 

Kini, kebahagiaan bukan lagi terletak pada kepemilikan barang-barang mewah atau citra kesuksesan finansial, melainkan pada keseimbangan dan perencanaan keuangan yang baik.

Menjaga keuangan yang terencana dengan baik dan hidup sesuai dengan kemampuan menjadi prioritas utama. Meskipun mungkin terlihat sederhana, kebahagiaan yang kami rasakan dari kestabilan keuangan jauh lebih berharga daripada tekanan untuk terlihat kaya di mata orang lain. 

Pilihan ini membawa kedamaian pikiran dan memberikan kebebasan untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar berarti dalam kehidupan, menjauhkan diri dari tekanan yang tidak perlu dan menciptakan kebahagiaan yang sejati.

Tanpa Arisan

Salah satu prinsip utama dalam pengelolaan keuangan bagi saya dan istri adalah menghindari keterlibatan dalam arisan. Meskipun tidak ada yang salah dengan arisan itu sendiri, namun bagi kami, arisan seringkali terasa seperti membawa beban hutang. 

Hal ini karena pada dasarnya, dalam arisan, kita menerima sejumlah uang atau barang sesuai dengan kesepakatan awal yang ditentukan melalui undian.

Apabila kita mempertimbangkan hal ini dengan prinsip tabungan, seringkali kami merasa bahwa mendapatkan jumlah uang atau barang secara penuh pada awal arisan tidak selaras dengan siklus tabungan kami yang mungkin baru mencapai tahap satu atau dua kali menabung. 

Dalam arisan, pada kocokan pertama saja, kami bisa mendapatkan uang atau barang secara penuh, bahkan jika belum sepenuhnya melunasi kewajiban tabungan bulanan. 

Ini menimbulkan rasa seperti memiliki tagihan yang harus dicicil dalam jangka waktu tertentu, dengan batas waktu yang telah ditentukan.

Salah satu aspek yang membuat keputusan untuk hidup tanpa arisan menjadi lebih bermakna bagi kami adalah terciptanya kehidupan tanpa tekanan yang berlebihan dan perasaan bahagia yang lebih nyata. 

Tanpa arisan, kami merasa lebih leluasa dan bebas dari kewajiban untuk membayar tagihan dalam jangka waktu tertentu, seolah-olah menghilangkan beban hutang yang harus dicicil.

Keputusan ini membawa dampak positif pada kesejahteraan emosional dan mental kami. Tanpa keterlibatan dalam arisan, hidup menjadi lebih santai dan tidak dikejar-kejar oleh tenggat waktu pembayaran yang kadang memicu stres. 

Kami tidak merasa seperti ada tekanan atau kewajiban yang mengikat, sehingga kebahagiaan hidup kami menjadi lebih nyata.

Selain itu, hidup tanpa arisan juga memberikan kami kebebasan untuk mengelola keuangan dengan lebih fleksibel dan sesuai dengan rencana serta prioritas yang telah kami tetapkan. 

Tanpa adanya beban hutang dari arisan, kami dapat menabung dan menggunakan dana tersebut sesuai dengan kebutuhan atau impian kami tanpa merasa terikat pada suatu kewajiban tertentu.

Dengan demikian, hidup tanpa arisan bukan hanya sekadar keputusan finansial, tetapi juga sebuah pilihan untuk menjalani kehidupan dengan lebih ringan, tanpa tekanan, dan penuh kebahagiaan.

Frugal Living: Hidup Sederhana Terencana dan Bahagia

Hidup adalah perjalanan terbatas, dan mempertimbangkan keterbatasan waktu ini menginspirasi kami untuk menjalani kehidupan yang sederhana namun terencana. 

Kami menyadari bahwa kebahagiaan tidak dapat tercipta jika kondisi keuangan keluarga kami hancur karena pengelolaan yang tidak bijaksana. 

Oleh karena itu, ada kebanggaan yang mendalam di dalam hati kami karena saat ini kami berhasil menjalani kehidupan tanpa adanya hutang, tanpa keterikatan oleh cicilan kredit, sehingga gaji saya dan istri dapat dinikmati sepenuhnya tanpa potongan untuk pembayaran cicilan.

Kondisi ini memberikan kami kebebasan untuk merencanakan masa depan dengan lebih baik, karena tidak lagi dipusingkan oleh berbagai kewajiban pembayaran bulanan. 

Keadaan ini tidak hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga memperkuat hubungan di antara kami berdua. Tidak lagi harus merisaukan berbagai tagihan yang datang setiap bulan, membuat suasana hati kami lebih cerah dan stabil.

Meskipun mungkin terlihat bahwa kehidupan kami berjalan lambat karena rumah kami masih standar dan kendaraan yang kami miliki tetap sederhana, namun bagi kami, inilah kehidupan yang membahagiakan. 

Hidup tanpa ketakutan dikejar oleh deadline pembayaran pinjaman dan beban keuangan lainnya memberikan kedamaian yang tak ternilai. 

Meskipun kita tidak berhenti di titik ini, hidup sederhana yang terencana adalah pilihan kami, untuk mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. 

Bagi kami, kebahagiaan sejati tidak terletak pada kepemilikan barang-barang mahal, melainkan pada kedamaian pikiran dan kebebasan dari beban finansial yang berlebihan.

Semoga pengalaman dan pembelajaran dari kisah ini dapat memberikan inspirasi dan motivasi bagi rekan-rekan sekalian dalam mengelola keuangan keluarga dengan lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun